Maura berjalan cepat. Menghindari mendung yang mengeram hujan. Cewek itu khawatir jika hujan turun tiba-tiba.
Di seberang jalan, sebuah Honda Brio metalik sedang menunggunya. Jendela di bangku kemudi terbuka sebagian. Membuat seorang cowok yang berada di belakang kemudi melambaikan tangan.
Cewek itu membalas lambaian tangan si pemuda dan bergegas menyebrang jalan. Sebelum mendung benar-benar menjadi hujan.
"Gimana kelas Noah, aman?" tanya lelaki itu saat Maura membuka pintu penumpang dan duduk di samping si lelaki.
Maura menoleh. Menatap si pemuda yang mengulum senyuman.
"Kacau!" Gadis itu menjawab singkat. Lantas memasang seatbelt.
Raut mukanya semendung awan kelabu yang menggantung di angkasa.
Cowok di sampingnya tampak tertarik.
"Kenapa emang?"
"Abang tahu kalau Mizar ambil kelas Bang Noah?" desak Maura pada pemuda yang duduk di sampingnya.
Kini mereka tampak saling berhadapan sebelum laki-laki itu menarik tuas gas dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
"Nggak. Abang nggak tahu apa-apa soal itu. Emang Mizar ambil kelas Bang Noah juga?"
"Ck, Bang Agil nggak usah bohong deh. Nggak mungkin Bang Noah nggak ada cerita sama Abang." Maura mendengus kesal.
Gadis itu menatap lekat sang kakak sulung yang fokus menyetir.
Ya, Abigail Sirius Alger. Merupakan kakak sulung Maura. Beda usia mereka lima tahun. Berbeda dengan Noah yang hanya selisih dua tahun. Sementara Noah dan Agil berbeda tiga tahun.
Jika Noah fokus mengembangkan karier di dunia pendidikan dengan menjadi asdos begitu lanjut S2, maka berbeda dengan Agil yang dituntun untuk meneruskan tahta keluarga. Cowok itu melanjutkan tongkat estafet sang ayah dengan menjadi pengacara.
Maura sendiri, yang tak mau terkekang oleh aturan keluarga, memilih studi kesusastraan sebagai jalan ninjanya.
"Abang beneran nggak tahu apa-apa, Ra."
"Bohong dosa, Bang. Apalagi Abang pengacara. Nggak malu sama sumpah profesi, Abang?" Serangan gadis itu telak. Abigail tak bisa menghindar lagi kali ini.
"Iya, iya. Abang ngaku. Bang Noah cerita kalau dia sengaja bujuk kamu ikut kelasnya gara-gara ada Mizar."
Maura mendengus kesal sebagai jawaban. Ia benar-benar geram. Entah mengapa kedua kakak lelakinya itu gencar sekali memintanya berbaikan dengan Mizar.
"Kalian tuh aslinya kenapa sih pengen banget Ara baikan sama cowok berengsek itu?"
Abigail menyerah. Ia melirik sang adik yang kini cemberut akibat persekongkolannya dengan Noah.
"Abang cuma nggak mau Ara, menyesal kemudian. Apa yang kita dengar, belum tentu itu yang terjadi sebenarnya, Ra.
Lagipula, kamu beneran nggak ingat Mizar itu siapa?"
"Cih, Abang serius tanya Ara gitu?"
"Ya, iya."
"Mana mungkin Ara bisa lupa, Bang. Dia adalah orang yang bikin Raisa mati! Emang Ara bisa lupa gitu aja?" tukas Maura dengan nada tajam.
Setelahnya gadis itu menghela napas panjang. Tak ingin lagi memperpanjang perdebatannya dengan sang kakak sulung.
"Dahlah, udah terlanjur juga. Percuma aja Ara, kesel. Kelas udah nggak bisa dibatalkan. Lagipula, kelas Bang Noah berguna juga buat kejuaran Ara.
Tapi, tetap aja. Ara bakal kasih pelajaran buat kalian. Ini namanya penjebakan yang direncanakan.
Salah satu modus penipuan. Ara pasti bakal bilang sama, Papa." Gadis itu mengancam dengan raut muka serius yang membuat sang kakak sulung menatapnya was-was.
Maura benar-benar jelmaan ibu suri. Satu-satunya perempuan dalam keluarga yang terdiri dari tiga orang pria dan satu wanita, membuat adik bungsunya itu memiliki kekuasaan penuh sebagai orang yang berpengaruh.
"Duh, Ra. Jangan bilang Papa, dong. Ara mau apa? Abang beliin ya, tapi jangan bilang Papa!" Abigail berusaha membujuk sang adik agar mengurungkan niatnya.
"Nggak ada. Ara bakal tetap bilang sama, Papa!" penegasan perempuan itu menjadikan sang kakak kian gelisah.
"Ra, duh. Jangan dong! Bisa kena marah Abang sama Bang Noah."
"Biarin aja weh. Siapa suruh Abang sengaja bikin Ara, kesel."
"Ck, nggak bisa nih. Bang Agil nggak bisa diem aja."
"Terus, Bang Agil, mau apa?"
Tanpa aba-aba, pemuda yang hampir memasuki masa quarter life itu membelokkan mobil ke sebuah restoran franchise yang menjadi tempat favorit sang adik bungsu.
"Abang ngapain ke sini?"
"Usaha, biar kamu nggak laporan sama Papa," ucap sang kakak cukup singkat. Namun, demi apa pun, Maura tersenyum puas dengan keputusan sang kakak.
"Turun nggak? Anginnya kenceng banget nih!" Abigail berseru dengan menahan pintu mobil agar tetap terbuka sebagian.
Gadis itu bergegas. Menyusul sang kakak yang lebih dulu turun. Berlari kecil menuju bangunan bernuansa merah dan putih yang menjadi tempat favorit Maura. Tepat sebelum hujan turun dengan deras.
***
"Kak, Ara mau Winger Bucket, Spicy Chili Don Putih, Cream Soup, Colonel Burger, French Fries Large, sama Fish Burger. Masing-masing satu ya."
Akan terdengar aneh jika gadis menjelang dua puluh tahun itu masih menyebutkan nama diri sebagai kata ganti orang pertama yang merujuk pada aku atau saya. Terlebih ketika berbicara dengan orang lain.
Namun, tak jadi aneh jika yang melakukan hal itu adalah Maura. Bahkan sang penjaga counter sampai hafal dan memaklumi perbuatan Maura. Begitu juga dengan sang kakak yang berdiri di samping gadis itu.
Berbeda dengan orang lain saat mendengar cara gadis itu menggunakan kata ganti orang pertama dengan menyebutkan nama diri.
Aneh. Kekanak-kanakan. Sok centil. Itulah yang ada dalam pikiran orang lain ketika mendengar Maura menyebutkan nama dirinya saat memesan makanan.
Beberapa bahkan menahan senyum dan menunjuk si gadis dengan tatapan heran. Juga sedikit meremehkan.
Termasuk dua orang cewek yang mengantre di belakang Maura. Mereka jelas-jelas menjadikan Maura sebagai bahan obrolan.
"Dih, sok imut banget sih. Udah gede juga, sok-sokan panggil pakai nama sendiri."
"Ck, kasihan sih gue. Haus kasih sayang kayaknya."
Mereka tertawa cekikikan. Sementara Maura yang mendengar dengan jelas obrolan kedua cewek itu, mengepalkan tangan. Ia hendak berbalik ketika sang kakak menahan bahunya. Lantas membawa gadis itu dalam rangkulannya.
"Nggak usah diladenin. Bakal riweh urusannya." Sang kakak memperingatkan.
Gadis itu mendengus.
"Orang kayak mereka mesti dikasih pelajaran, Bang. Ngelamak jadinya kalau dibiarkan!" sungut Maura bersikukuh untuk melabrak kedua cewek di belakang mereka.
"Ra, Abang nggak mau bela kamu kalau sampai kejadian hal-hal yang nggak diinginkan."
"Ih, kok gitu. Kan mereka duluan yang cari gara-gara, Bang."
"Oke, tapi siapa yang mau ngasih pelajaran? Kamu kan? Kalau kamu balas ulah mereka, sementara mereka nggak melakukan apa pun, bakal jadi rumit urusannya, Ra."
"Ish, Abang mah. Nggak seru!" tukas Maura dengan wajah cemberut.
Mereka hendak menjauh dari counter tempat pemesanan makanan ketika sebuah suara lain mengalihkan fokus keduanya.
"Udah pesen?" tanya lelaki itu kepada temannya. Namun, cukup membuat Maura dan Abigail menoleh bersamaan.
"Mizar?" sapa Abigail saat mendapati pemuda seusia adiknya itu berdiri dengan kedua teman ceweknya yang sedang antre memesan makanan.
"Bang Agil?"
"Zar, lo kenal?" tanya salah satu cewek yang tampak terkejut. Riandra.
"Iya." Cowok itu menjawab singkat. Sorot matanya tak lepas dari Maura dan sang kakak.
Sementara Maura hanya tersenyum sinis saat menyadari gerombolan yang baru saja ia temui.
"Cih, jadi mereka temen lo? Pantes minim akhlak."
"Ra," tegur Abigial mengingatkan sang adik.
"Emang iya kok, Bang. Apa sebutan yang pantas buat mereka kalau bukan minim akhlak? Sukanya cuma julidin orang lain."
Mizar menatap kedua temannya bergantian. Riandra tampak gusar. Cewek itu menggigit bibir bawahnya. Begitu juga dengan Kikan.
"Kalian ngomong apa?" ucap cowok itu dengan nada tegas.
Abigail yang menyadari suasana tegang di antara mereka, cepat-cepat mengalihkan perhatian dengan berpamitan kepada Mizar. Terlebih saat menyadari sang adik yang tampak ingin menelan mereka bulat-bulat.
"Kami duluan ya. Kita sambung lagi kalau ketemu," ucap Agil buru-buru sambil mendorong bahu sang adik agar segera menjauh.
Perempuan itu lagi-lagi menghela napas panjang.
"Jakarta sempit ya, Bang. Di antara semua orang, bisa-bisanya kita ketemu sama pembunuh itu!"
"Sstt ... Ra, udah ya. Makan yang banyak biar energi kamu cepet pulih. Serah deh kalau abis itu mau marah-marah lagi!"
Maura tak membantah. Hanya saja, wajahnya kian cemberut setelah insiden di depan counter pemesanan makanan tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Himawari
😅😅 jalan ninjanya Ara jd sastrawan ya thor?
2023-05-15
1