Wajah Maura masih cemberut meski di hadapannya melimpah makanan. Bahkan ia sudah menghabiskan sebuah burger, separuh kentang goreng, tiga potong ayam, dan menghabiskan dua gelas cola. Namun, tetap saja mood perempuan itu tak juga kembali seperti semula.
Padahal, makanan selalu berhasil mengembalikan mood buruk perempuan itu. Tapi hal berbeda terjadi kali ini.
Gadis itu bahkan tak jarang melirik sebal ke arah tiga orang cowok yang sialnya selalu tertangkap retinanya. Padahal jarak mereka cukup jauh untuk dapat saling melihat, apalagi bertatapan.
Meski begitu, tetap saja arah pandang Maura selalu tertuju kepada ketiga cowok itu. Yang sesekali juga melirik ke arahnya. Terlebih setelah kehadiran lelaki lain yang kini bergabung di meja Maura.
"Lo yakin nggak papa, Ra?"
Sagara - lelaki seusia Maura - yang baru saja bergabung di meja mereka beberapa saat lalu, kembali bertanya untuk kedua kali. Setelah sebelumnya menanyakan mengapa wajah perempuan itu terlihat kesal dan tak mendapatkan jawaban.
"Iya, Ga. Gue nggak papa." Maura masih terlihat tak minat. Sebagaimana ketika cowok itu mengajukan pertanyaan saat ia datang.
Sagara menghela napas panjang. Diam-diam melirik perempuan yang tampak menahan kesal. Padahal bukan ini tujuannya bertemu Maura.
"Serius? Muka lo keliatan pucet. Iya nggak sih, Bang?" Sagara berusaha terlihat perhatian. Bahkan meminta persetujuan Abigail kali ini.
Meski begitu, tetap saja tak mengubah sikap Maura kepadanya. Perempuan itu justru melirik ke arah lain dan sama sekali tak fokus dengan kedua orang yang berada di depannya.
Ya, lagi-lagi perhatian Maura teralihkan kepada ketiga orang cowok yang kini ditemani oleh dua perempuan yang sempat menghinanya di counter pemesanan makanan.
Maura kenal mereka bertiga. Dua di antaranya teman SMA cewek itu.
Sebenarnya, mereka semua teman SMA Maura. Tapi, setelah insiden yang menghilangkan nyawa Raisa - sahabat baik gadis itu sejak masih balita - salah satu di antara mereka harus meninggalkan SMA Bina Nusantara saat kelas dua.
Tidak ada alasan khusus mengapa cowok itu meninggalkan Binus dan berpindah ke SMA Cakrawala. Lebih tepatnya tak ada yang tahu pasti alasan di balik kepindahan cowok itu.
Saat kasus yang menimpa Raisa pun terjadi, cowok itu sama sekali tak ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan pihak sekolah sama sekali tak menjatuhi hukuman. Namun, tiba-tiba saja ia menghilang.
"Huft!" Maura mendengus pelan.
'Ngapain gue tiba-tiba peduli sama cowok berengsek itu!' batin cewek itu dalam hati.
Lantas mengaduk Avocado Float yang sudah bercampur menjadi satu hingga tak lagi berbentuk.
"Nah, kan. Itu yang lo bilang nggak papa? Dari tadi kamu menghela napas entah udah ke berapa kali loh, Ra." Sagara lagi-lagi mendominasi perbincangan. Sekalipun kedua orang di depannya tak banyak memberikan tanggapan.
Maura bahkan sudah lelah menghadapi lelaki yang dikenalnya sejak dua tahun lalu. Mereka dekat, tapi tak pernah jadian. Namun, sesekali sikap mereka seperti halnya orang pacaran.
Jalan bareng, nonton, skinship, pelukan, bahkan hampir ciuman. Namun, Maura berhasil menahannya sebelum Sagara benar-benar mendaratkan bibirnya di bibir perempuan itu.
Entah apa istilah yang tepat untuk menggambarkan hubungan mereka. Sagara tak pernah menjelaskan dan Maura tak pernah mau terlibat dalam sebuah hubungan.
"Ngalir gitu aja," jawab Maura setiap kali ada yang bertanya,"Bagaimana hubunganmu dengan Sagara?"
Hanya saja, Maura mengakui jika merasa nyaman berada di samping cowok itu. Sagara cerdas. Dan Maura selalu kagum dengan sosok yang memiliki kecerdasan.
Terlihat keren dan dewasa. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Maura. Selain itu, ia juga mendapatkan teman diskusi yang tepat apabila bersama Sagara.
Tidak hanya itu, Muara juga sering kali merasa kehilangan jika dalam beberapa hari tak bertemu cowok itu. Seperti ada hal yang seakan diambil paksa dalam hidupnya. Tiba-tiba saja merasa hampa.
Abigail bilang, itu cinta. Sang kakak sulung bahkan sering kali menasihati Maura tentang hubungannya dengan Sagara. Mereka terlalu berlebihan apabila dianggap bersahabat. Tapi juga kelewatan jika dianggap pacaran, padahal faktanya bukan.
Begitu juga Noah yang lebih sering mengingatkan Maura tentang hubungannya dengan Sagara.
"Lo nggak bakal bisa berbuat apa-apa kalau ternyata dia cuma main-main, Dek," ucap Noah pada saat itu.
"Biarin lah, Bang. Gue juga nggak mau pacaran kalau seandainya dia nembak dan nyatain perasaan."
"Astaga, Ara! Bang Agil, adik lo kenapa jadi bego gini sih kalau urusan Sagara?"
"Gue nggak ikutan! Jangan bawa-bawa gue ngomongin Ara soal Sagara. Kapok sumpah. Demi apa pun!" Abigail menyerah dan memilih tak memihak siapa pun.
"Ya gimana, gue nyaman-nyaman aja deket sama dia. Terlepas kalian mandangnya aneh, HTS, TTM, atau apalah itu.
Toh gue juga bisa jaga diri. Selama ini nggak pernah sampai kelewatan batas. Paling juga cuma pelukan. Itu pun kalau lagi naik motor."
"Ah udahlah. Ikutan gila gue kalau ingetin lo tentang Sagara. Dasar batu!"
Begitulah perdebatan di antara kedua bersaudara itu berakhir. Tak ada di antara kedua kakak lelakinya yang sanggup menasihati Maura perihal Sagara.
"Ra, are you okay? Wajah lo makin pucet, Ra."
Suara Sagara kembali menyusup ke dalam gendang telinga Maura. Tapi perempuan itu terlalu tak acuh untuk menanggapi si cowok saat ini.
"Nggak tahulah. Gue ke toilet dulu," ucap Maura sambil mengacak rambutnya hingga berantakan.
Perempuan itu tak benar-benar tahu apa yang sedang ia pikiran. Maura hanya merasa jika benaknya benar-benar penuh sesak kali ini.
***
Cukup lama Maura termangu di depan kaca wastafel. Air mengalir di bawahnya. Namun, perempuan itu tak menggunakannya untuk mencuci tangan ataupun muka.
Sorot mata Maura tampak kosong. Bayangan yang memantul dalam kaca pun tak membuat gadis itu bercermin.
Hanya bengong saja di depan kaca. Tanpa melakukan apa-apa.
"Ini yang lo bilang nggak papa?" Sebuah suara tiba-tiba mengagetkan Muara.
Perempuan itu tersadar dari lamunan dan menoleh ke arah sumber suara. Sagara sedang berdiri di sampingnya sambil mematikan kran air yang masih mengalir.
"Eh, sorry," ucap Maura singkat, lalu mengalihkan pandangan dari Sagara yang menatapnya dengan raut muka khawatir.
Perempuan itu bahkan menepis tangan Sagara saat berusaha menyentuh keningnya. Hal yang baru pertama kali dilakukan perempuan itu sejak ia mengenal si cowok.
"Ra, lo kenapa sih sebenernya? Lo hari ini aneh banget tahu nggak." Nada bicara Sagara sedikit meninggi. Namun, tak cukup keras hingga mengalihkan perhatian orang-orang.
"Gue capek." Kalimat singkat itulah yang terucap dari bibir Maura. Ingin menghindari perdebatan di antara mereka kian panjang.
"Cih, gue kenal banget sama lo ya, Ra. Ini sih bukan karena lo capek. Tapi ada hal lain yang nggak lo ceritain ke gue."
Maura tak keberatan jika Sagara menuntut cewek itu melaporkan jadwal kegiatannya setiap hari. Atau masalah apa yang sedang dihadapi Maura. Tapi kali ini, Maura sangat kesal ketika mendengar ucapan Sagara.
"Emang harus ya, gue cerita semua masalah gue ke lo?"
"Iya dong. Bukannya biasanya juga gitu?"
"Itu karena lo yang minta. Asli, gue nggak butuh konseling tiap hari sama lo."
"Heran, lo kenapa sih, Ra? Ada yang tanya lagi, apa hubungan kita sebenarnya?"
Perempuan itu tersenyum kecut. Sungguh, baru kali ini Maura merasa keberadaan Sagara benar-benar memuakkan.
"Nggak semua hal harus berhubungan sama kita, Ga. Gitu juga yang terjadi hari ini."
"Ya kalau gitu bilang dong. Apa yang bikin lo kayak gini?"
Maura menghela napas panjang. Ia menatap lekat lelaki muda di hadapannya.
"Gue capek. Bisa nggak lo nggak usah temuin gue dulu dalam beberapa hari ke depan?"
"Oh, jadi gitu. Lo mau buang gue setelah semua waktu yang gue berikan buat lo selama ini?!" Nada bicara Sagara kian tajam.
Di depannya, senyum Maura kian sinis. Baru kali ini Sagara menunjukkan sifat aslinya.
"Oh, bagus deh kalau lo bilang gitu. Gue nggak perlu ngucapin kalimat sampah seperti yang lo bilang barusan.
Kalau gitu, kita nggak perlu ketemu lagi," tandas Maura dengan nada tegas.
Perempuan itu berbalik meninggalkan area wastafel yang juga merupakan tempat cuci tangan. Beberapa orang sedang mengantre dan sudah waktunya pergi dari sana.
"Ara!"
Maura sama sekali tak peduli dengan teriakan Sagara yang memanggil namanya. Perempuan itu berjalan lurus. Entah mengapa, kali ini bebannya terasa berkurang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Nanonano 🌱
hemm Ara dan Sagara adalah defenisi hubungan yg aku pahami bnget. aku tau bnget.
kondisi hubungan dimana bikin org kesel, gemess, dan gak abis pikir sama cara yg kamu ambil. kamu akan di cap sbg cewek egois yg mementingkan perasaan kamu sendiri. 😔
2023-06-22
1
Himawari
Bang Agil idaman bgt sih jadi kakak
2023-05-16
0