Monica Frances menuruni satu persatu anak tangga di rumahnya. Monica memang merasa sedikit pusing, tapi ia memaksakan diri untuk beraktivitas. Monica berpikir, kalau ia masih berbaring di tempat tidur, pasti sakitnya akan jadi manja. Lagipula, semalam dia sudah mendapat istirahat yang cukup, bahkan lebih. Seingat Monica, sejak Joshua meninggalkan kamarnya kemarin, ia langsung terlelap. Omong-omong soal Joshua, Monica ingin bertemu langsung dengan Joshua dan meminta maaf, karenanya laki-laki itu merasa bersalah atas apa yang terjadi. Padahal itu bukan kesalahannya.
Jujur saja, Monica khawatir kalau laki-laki itu memikirkan kesalahannya dan berakhir membuat insomnia Joshua kambuh lagi, padahal belakangan ini kelihatannya insomnia Joshua mulai berkurang. Monica benar-benar khawatir akan hal itu.
"Ibu?" orang pertama yang ditemui Monica pagi ini ialah ibunya. Ia lihat ibunya sedang sibuk mengurus dapur. Aroma masakan mulai mengoar saat Nyonya Frances membuka penutup panci.
"Monica? Kenapa bangun? Kau harus banyak istirahat." kemudian Nyonya Frances menghampiri Monica dan menariknya untuk duduk di meja makan.
"Aku baik-baik saja ibu. Lagipula aku tidak mau berdiam diri terus di kamar, aku butuh refreshing juga." sahut Monica tanpa tahu seberapa besar kekhawatiran sang ibu.
"Tapi kau sedang sakit, sayang."
Monica menggeleng, lantas mengambil tangan sang ibu dan mengusapnya. "Aku baik-baik saja, percayalah." setelahnya Monica memberikan senyum kecil pada wajahnya yang agak pucat.
Nyonya Frances tak punya pilihan lagi, kalau Monica sudah mengatakannya, mau tidak mau ia harus mempercayakan anaknya. Wanita paruh baya itu pun menghela napas, "baiklah, ibu tidak akan memaksa. Tapi kau duduk diam disini saja, ya? Untuk saat ini jangan dulu membantu ayah dan ibu."
"Hm-mm." jawab Monica dengan anggukan. Kemudian Nyonya Frances bangkit dari duduknya dan kembali melanjutkan kegiatannya di dapur.
Monica melihat ibunya memasak dari meja makan, ia memperhatikan bagaimana ibunya mengolah daging yang dicampur bumbu begitu pula dengan sayuran. Rasanya perut Monica tidak sabar untuk segera diisi. Monica harus akui kalau masakan ibunya sangat, sangat lezat. Dan gadis itu perlu belajar banyak dari sang ibu mengenai masalah dapur.
Setelah semuanya beres, Nyonya Frances menyuguhi Monica dengan makanan yang tadi ia masak. Monica bahkan sampai tidak sadar kalau ibunya sudah selesai memasak, ia masih menyandarkan wajah diatas meja makan.
"Kau harus makan lalu minum obat." kata sang ibu.
Monica pun menurut.
"Kau tahu, ibu pikir Joshua mengkhawatirkan mu setelah kejadian kemarin."
"Iya, kemarin dia sudah bilang."
"Kemarin?"
"Saat dia datang, aku baru saja bangun dan dia mengatakan seluruh kekhawatirannya. Dia juga menyalahkan dirinya sendiri karena membuatku pingsan. Dia pikir aku pingsan karena kelelahan. Padahal aku tidak pingsan karena itu. Sebelum aku pingsan, aku seperti mendapat sesuatu dalam pikiran ku, seperti sengatan listrik dan aku dapat melihat seorang anak perempuan kecil."
Ucapan Monica barusan membuat Nyonya Frances sadar, bahwa ada sesuatu yang membuat Joshua Spencer bersikap seperti itu pada Monica. Mungkinkah Joshua menyukai Monica? Tapi masih terlalu awal bagi Nyonya Frances untuk menduganya.
"Dia orang yang sangat baik, padahal kalian baru bertemu." sahut Nyonya Frances mengalihkan.
"Ya, dia orang yang baik. Dia juga orang yang sangat terbuka, dia menceritakan semua yang dia alami padaku. Dia bahkan menceritakan kalau akhir-akhir ini dia sering insomnia karena mengerjakan pekerjaannya. Apa bekerja di kota itu penuh tekanan sampai-sampai jadi insomnia begitu?" tanya Monica pada ibunya.
"Entahlah. Aku harap kau tidak pergi kesana, disana berbahaya."
"Begitukah?" lantas Monica lanjut menyantap makanannya.
Nyonya Frances terdiam sesaat. Dia tidak menanggapi pertanyaan terakhir anaknya. Ada suatu alasan yang menyebabkan wanita paruh baya itu tak mau menjawab. Ia takut bila menanggapi pertanyaan itu, membuatnya kembali mengusik kenangan lama yang telah dipendam. Nyonya Frances hanya tak ingin kejadian masa lalu membayangi Monica.
Lebih-lebih, Nyonya Frances tak ingin Monica berakhir sama seperti Alex.
...-οΟο-...
Pagi ini Joshua Spencer dikejutkan oleh suara ponselnya yang berdering. Waktu yang seharusnya ia gunakan untuk tidur, seketika lenyap lantaran suara nyaring yang begitu menggangu. Laki-laki itu meraba meja disebelah tempat tidur, mencari keberadaan ponselnya. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Joshua langsung menerima panggilan itu.
"Halo?" sapa Joshua dengan suara serak, khas orang baru bangun.
"Josh, kau baru bangun?" sahut suara diujung sana.
Joshua tidak langsung menjawab, lelaki itu mengerutkan dahinya sembari menggaruk-garuk kepala belakangnya. "Ini siapa?"
"Ya, Tuhan! Ini aku Ferdinand!"
"Ferdinand?" Joshua makin bingung, sedetik kemudian lelaki itu terlonjak, "O, Ferdinand!" seru laki-laki itu.
"Josh, sebaiknya kau pergi ke kamar mandi dan basuh wajah mu, sepertinya nyawa mu belum kembali."
"Ah, kenapa menelepon pagi-pagi begini?" tanya Joshua langsung mengalihkan.
"Pagi katamu!? Ini sudah jam 11!" terdengar suara helaan nafas diujung sana. "Jelaskan padaku, kenapa kau bisa separah ini?"
"Sepertinya insomnia ku kambuh lagi." sahut Joshua lemah, "selama liburan ini aku terlalu banyak pikiran."
"Joshua kupikir liburan tidak dapat membantu mu bekerja dengan baik."
"Hm... entahlah." kemudian Joshua melanjutkan, "apa ada sesuatu yang penting sampai menelepon ku?"
"Ya, sepertinya Adrian memintamu cepat kembali, karena beberapa hal yang perlu disampaikan. Liburan mu mungkin akan menjadi dua minggu dari sebulan yang kau minta."
"Padahal aku berniat ingin meminta libur lebih lama lagi." seloroh Joshua.
"Jangan bercanda! Kalau kau pergi liburan, tugasku akan semakin menumpuk. Jujur saja, aku tidak bisa bekerja tanpa bantuanmu."
"Kurasa menyuruhku kembali dengan cepat bukan hal yang baik. Aku bahkan masih tidak bisa memikirkan apapun selama berada di Gibbston Valley ini." sahut Joshua sedikit kecewa.
"Josh, kupikir kau tidak perlu memikirkan pekerjaan selama liburan. Gunakan waktu mu untuk jalan-jalan. Aku khawatir pada kondisi kesehatanmu kalau kau terus memaksakannya."
Joshua pun menghela napas, berat. Semua yang dikatakan Ferdinand benar, tetapi entah mengapa pikiran Joshua selalu saja teralihkan oleh pekerjaan. Dia selalu memikirkan seluruh deadline yang atasan berikan padanya, padahal Ferdinand sendiri yang berprofesi sebagai editor tidak mempermasalahkannya.
Setidaknya selama liburan ini, Ferdinand bisa menghandle atasannya yang super perfeksionis itu. Tapi belakangan ini ada satu alasan yang membuat Joshua Spencer kepikiran hingga tak bisa tidur. Monica Frances. Gadis itu membuat Joshua berpikir mengenai keadaan si gadis. Apakah dia baik-baik saja? Apakah keluarga Frances akan marah karena kejadian kemarin?
Sepertinya setelah ini Joshua harus pergi ke rumah Monica.
"Josh, kau masih disana?"
Joshua baru menyadari kalau ternyata ponselnya masih terhubung pada Ferdinand. Jadi Joshua baru saja melamun, memikirkan Monica.
"Ya. Sepertinya kau benar. Omong-omong aku mau menemui seseorang dulu. Nanti aku akan menghubungi mu lagi." setelahnya Joshua memutuskan sambungan dengan Ferdinand, kemudian meletakkan ponselnya kembali di tempat semula.
Hari ini tidak ada waktu santai. Joshua harus pergi ke tempat Monica.
...-οΟο-...
Saat ini Monica Frances hanya berada dalam kamar. Ibunya sama sekali tidak mengijinkan gadis itu keluar, walaupun hanya untuk jalan-jalan saja. Kekhawatiran Nyonya Frances pada anaknya tidak lepas dari trauma lama yang kini masih singgah di benaknya.
Sebagai anak yang baik, Monica pun menuruti perintah ibunya. Toh, di rumah, ibunya telah menyiapkan semua yang Monica butuhkan.
Kalau boleh jujur sebenarnya Monica ingin bertemu dengan Joshua. Laki-laki itu pasti mengkhawatirkannya, padahal keadaan Joshua bisa dikatakan lebih mengkhawatirkan. Jika insomnia dibiarkan terus menerus tentunya akan menumbuhkan penyakit. Apa sebaiknya dia minta ijin ke ibunya kalau ingin pergi ke tempat Joshua? Tapi melihat Nyonya Frances yang begitu sensitif pagi ini, membuat Monica mesti berpikir dua kali untuk pergi keluar rumah.
Baru saja Monica akan berbaring diatas kasur, tiba-tiba suara ketukan pintu diikuti suara decitan gagang pintu, membuat pandangan Monica tertuju pada pintu kamarnya yang kini mulai terbuka.
"Joshua?"
Ternyata Joshua. Baru saja dipikirkan. Batin Monica.
"Hai!" sapa laki-laki itu dari balik pintu. "Boleh masuk?"
"Tentu saja."
Lantas laki-laki itu pun masuk ke kamar Monica dan duduk dikursi dekat tempat tidur Monica. "Bagaimana keadaanmu?"
Monica Frances tersenyum menanggapi pertanyaan Joshua, sedetik kemudian ia membalas, "aku baik-baik saja. Hanya butuh istirahat." gadis itu mengubah posisi duduknya, yang semula merentangkan kaki kini duduk bersila, tujuannya agar lebih enak mengobrol dengan Joshua. "Omong-omong, kenapa kau bisa masuk kesini? Apa ibu tidak bertanya macam-macam padamu?"
"Tidak." sahut Joshua sambil menggelengkan kepalanya. "Malah ibumu menyuruhku mampir untuk menemanimu."
"Apa!?" Monica sedikit terkejut, "padahal tadi pagi setelah sarapan, ibuku terus menyuruh ku berada di dalam kamar."
Joshua pun tertawa. "Itu wajar, karena ibumu khawatir padamu."
Monica mengangkat kedua bahunya. "Ibuku akhir-akhir ini sedikit sensitif." Katanya. "Oh iya, kemarin kau bawa buku, tapi aku belum baca satupun."
"Sebenarnya Monica..." kalimat itu langsung mengisi rungu Monica dan membuat gadis itu menatap Joshua. "Aku minta maaf karena membuatmu jatuh sakit. Aku tidak tahu kalau kemarin kau sedang tidak enak badan."
Monica mengerjapkan mata. "Siapa? Aku?" tunjuknya pada diri sendiri, kemudian gadis itu tertawa. "Ya, ampun... Joshua. Yang terjadi kemarin bukan kesalahanmu, kemarin itu aku..." tiba-tiba Monica memegangi pelipisnya, merasa sedikit pusing.
"Kau tidak apa-apa?" Joshua mendekat guna memastikan keadaan Monica.
Monica mengangguk dan memberi isyarat pada Joshua kalau dia baik-baik saja. "Ini efek kembalinya ingatanku." sebelum Joshua melanjutkan, Monica kembali berbicara. "Tapi masih samar-samar. Didalam ingatanku hanya melihat anak laki-laki memberikanku sebuah buku."
Buku? Joshua mulai ingat kalau dia juga pernah memberikan sebuah buku kepada seorang anak perempuan yang dibully di sekolah. Hanya saja Joshua lupa nama anak perempuan itu.
"Aku juga ingat anak itu memberikan buku itu di taman."
Joshua semakin penasaran dengan cerita Monica. Pasalnya ceritanya mirip dengan kejadian yang dia alami di masa lalu. Apa ini hanya kebetulan saja? Sepertinya Joshua perlu mencari tahu jawabannya. Jiwa Joshua seakan terpanggil untuk membantu gadis itu mengembalikan ingatannya yang hilang.
"Monica, apa kau benar-benar ingin ingatan mu kembali?"
"Tentu saja. Aku ingin tahu siapa anak laki-laki itu dan alasan mengapa keluarga ku menyembunyikan kematian kakak."
...-οΟο-...
Setelah berbicara dengan Monica siang tadi, Joshua mulai berpikir, sepertinya dia tidak bisa kembali cepat ke kota lantaran ada yang harus diurusnya. Yeah, apalagi kalau bukan membantu Monica Frances. Entah apa yang membuat Joshua begitu peduli dengan gadis itu.
Sepulangnya dari rumah Monica, Joshua terlihat mondar mandir didalam kamar, sembari memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. Joshua mulai memikirkan mengenai alasan yang dia berikan pada Ferdinand saat lelaki itu bertanya. Yeah, Joshua berencana untuk menelepon Ferdinand lagi untuk minta ijin beberapa hari tinggal di Gibbston Valley. Oh! Ayolah, saat ini Joshua benar-benar pusing. Pekerjaannya terlalu menuntut banyak waktu, ia tidak bisa direcoki seperti ini.
Perlahan lelaki itu mulai menghela napas dan akhirnya duduk dipinggir tempat tidur. Joshua mulai menggaruk kepalanya asal, kemudian berbaring. Pikirannya terlalu kalut untuk memikirkan mengenai alasan kemunduran perginya.
Jujur saja, pikiran Joshua saat ini masih terpacu pada Monica. Yeah, gadis itu berhasil mendapat prioritas dalam pikiran Joshua Spencer.
Joshua rasa, Monica Frances memiliki hubungan dengan masa lalu Joshua Spencer. Hanya saja Joshua belum bisa mengingat apapun mengenai masa lalunya. Terkadang Joshua heran mengapa ingatan manusia begitu pendek sampai tidak mengingat kejadian barang sejengkal saja. Terlalu rumit untuk dipikirkan, tetapi pikirannya tidak bisa menepis semuanya.
Entah kebetulan atau apa, ponsel Joshua tiba-tiba berbunyi. Lelaki itu sedikit terperanjat, namun setelah menyadarinya, Joshua langsung meraih ponselnya dan menerima panggilan tersebut.
"Ya, Ferdinand?" ujar Joshua. "Baru saja aku mau meneleponmu lagi."
"Aku sengaja meneleponmu duluan. Kebiasaanmu itu kalau bilang 'sebentar aku akan telepon lagi' pasti tidak akan menelepon." cibir Ferdinand.
Joshua tertawa, "jadi apa yang mau kau bicarakan?"
"Ada yang bisa ku bantu tidak? Sepertinya kau sedang stress saat ini."
"Bantu? Bantu apa?"
"Soal pekerjaanmu atau kau mungkin punya masalah. Jujur saja, insomnia mu itu tidak baik untuk jangka panjang."
Joshua menghela napas, "entahlah. Aku bahkan belum membuat satupun hasil selama liburan ini. Oh, ayolah aku baru tiga hari berada disini bagaimana mungkin..." kembali Joshua menghela napasnya kasar. "Sebenarnya aku punya masalah, tidak, ini bukan masalah ku hanya saja... aku tidak tahu bagaimana memulainya sehingga sekarang bisa berurusan dengannya."
"Maksudmu?"
"Ini tentang seseorang." sahut Joshua. Kemudian laki-laki itu pun menceritakan semuanya. Mulai dari awal dia ada di Gibbston Valley, tentang Monica Frances dan keluarganya, juga mengenai ingatan Monica Frances dan ingatan Joshua yang samar-samar mengenai kejadian masa kecil. Disitu pula Joshua menyatakan alasan sebenarnya mengapa ia mau membantu Monica Frances hingga sejauh ini.
Joshua pikir mungkin Ferdinand akan mengerti mengenai keadaannya saat ini dan dia pasti mau membantu Joshua.
Sementara Ferdinand diujung sana berusaha menjadi pendengar yang baik untuk temannya yang saat ini dalam kesulitan. Disela-sela pembicaraan mereka, Ferdinand selalu memberikan tanggapan berupa 'hm' sebagai tanda kalau ia masih mendengarkan Joshua bercerita.
"Jadi karena alasan itu kau mau membantunya?" Ferdinand pun menyimpulkan cerita Joshua barusan.
"Ya." sahut Joshua dengan cepat, kemudian lelaki itu melanjutkan, "aku sudah memutuskan. Maka dari itu aku benar-benar butuh bantuanmu, Ferdinand."
"Apa yang bisa ku bantu?" pertanyaan tersebut membuat Joshua bangkit dari rebahannya, dan duduk bersila diatas tempat tidur.
"Bisa bilang pada Adrian supaya memberikan kelonggaran untuk liburanku? Aku janji akan menyetujui permintaannya."
...---...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments