"Minggir, minggir, Putri drakula mau lewat!"
Ujar seorang anak kecil, kala melintasi lorong lobi menuju kelas. Beberapa anak yang mendengarnya langsung menghentikan aktivitas bercengkerama mereka dengan teman-temannya. Mereka langsung pergi ke sisi tembok, membentuk barisan ditengah kerumunan penonton, seolah menyambut tuan putri dari kerajaan. Tepat pada saat itu, seorang gadis kecil muncul dari ujung lobi dan berjalan dengan pelan. Tatapan demi tatapan terus diedarkan seluruh penghuni sekolah kepada gadis kecil itu. Sementara si gadis hanya menunduk, tak berniat membalas tatapan teman-temannya. Ini pemandangan yang sudah biasa bagi gadis itu. Tatapan yang mereka berikan bukanlah tatapan kagum, tapi tatapan jijik.
"Itu Monica Frances. Lihat kulitnya! Pucat seperti drakula." bisik seorang gadis kecil pada temannya. Sementara gadis kecil yang bernama Monica itu terus berjalan tanpa mempedulikan temannya.
"Apa dia minum darah juga? Selamatkan aku!" ujar salah seorang anak. Monica hanya bisa menghela napasnya, pasrah. Orang-orang di sekolah ini terlalu melebih-lebihkan. Usia mereka tentunya tak jauh berbeda dari Monica. Seorang anak berusia dua belas tahun, mungkin tidak mengerti kalau drakula itu hanyalah fiksi karangan Bram Stoker. Mereka itu terlalu hiperbolis.
Monica memang berbeda dari kebanyakan anak-anak yang hidup di negara ini, tapi dia bisa beradaptasi dengan semua itu. Teman-temannya saja yang masih kolot karena tidak bisa menerima perbedaan.
"Kalau ayah ibunya bukan orang tua kandung, lalu dia anak siapa? Apa mungkin dia dibuang?"
Mendengar kata itu, membuat Monica mengepalkan tangannya, setelahnya terdengar bisikan mereka yang mengatakan 'lihat dia marah!', 'jangan bicara sembarangan kalau tidak mau mati'. Percayalah, meski hanya sebuah perkataan, itu sangat menyakiti hati Monica. Ini baru sebuah kalimat, mungkin nanti Monica akan menerima yang lebih dari ini. Setidaknya begitulah yang terjadi pada orang-orang yang dibully.
Meski harus melewati tatapan mengerikan itu, pada akhirnya Monica berhasil sampai di kelasnya. Dia mulai mengeluarkan buku pelajarannya dan menyiapkan alat tulis diatas meja. Tepat setelah itu, bel tanda masuk pun berbunyi. Semua anak pun masuk ke dalam kelas masing-masing.
Jujur saja, setiap bel berbunyi, Monica merasa lega, karena hanya pada saat itu dia bisa aman dari cengkraman teman-temannya yang gila.
...-οΟο-...
Yang Monica dengar tadi malam ialah, Joshua ingin diantarkan pergi berkeliling Gibbston Valley. Namun sampai matahari berada di atas kepala, lelaki itu tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Monica saat ini berada di kebun. Ia sedang memberi pupuk pada tanaman anggur-sembari menunggu kedatangan Joshua Spencer. Sejak tadi, Monica memperhatikan penginapan yang dihuni oleh Joshua, berharap lelaki itu keluar dari tempatnya.
Monica awalnya senang, ketika pintu pagar ada yang terbuka, namun perasaan senang itu tidak bertahan lama. Bukan Joshua yang keluar dari tempat tersebut, melainkan satu keluarga dengan dua anak mereka yang masih kecil. Oh, padahal Monica sangat berharap lelaki itu keluar. Dalam pikir, Monica bertanya, apa yang dilakukan Joshua didalam? Apa mungkin lelaki itu terkena insomnia, sehingga belum bangun sampai sekarang?
Kalau itu terjadi, Monica rasa dia harus bertindak untuk membuat Joshua sembuh dari insomnianya.
"Monica, bisa minta tolong sebentar?"
Panggilan sang ayah akhirnya menyadarkan Monica dari lamunannya. Dia bahkan baru sadar kalau dirinya ternyata melamun. Monica pun berbalik menghadap sang ayah. "Ya, tentu." ujar Monica pada Joan Frances.
"Bawa semua ini ke gudang. Oh, iya jangan lupa periksa kembali tong sebulan yang lalu. Besok ayah mau kirim ke kota."
Monica pun menuruti perintah sang ayah. Dia membawa gerobak yang berisi dua buah tong anggur yang siap di fermentasi ke gudang penyimpanan. Selain buah anggur, keluarga Frances juga membuat wine. Ayah Monica memang sejak dulu gemar membuat wine untuk dijual ke kota. Tak heran bila wine buatan keluarga Frances ini sangat digemari di kota.
Gadis itu meletakkan tong-tong tadi di dalam gudang untuk didiamkan selama beberapa hari. Dia juga memeriksa anggur yang akan dibawa ayahnya besok. Kalau dicium dari baunya, memang sangat wangi dan aromanya kuat. Warnanya juga cantik, perpaduan ungu dan merah. Terakhir, Monica mencicipinya. Begitu dirasa cukup, Monica segera keluar dari gudang dan memberitahu sang ayah kalau anggurnya sudah siap dijual.
Setelah memberitahu sang ayah, Monica kembali ke kebun untuk melanjutkan aktivitasnya. Matanya kembali menatap bangunan sederhana didekat kebun. Joshua Spencer tak kunjung menunjukkan diri. Sedari Monica berdiri di kebun, hingga sempat ke gudang, dan kembali lagi ke kebun. Tetap, lelaki itu tidak keluar menepati janjinya. Padahal Monica sudah siap menjadi pemandu wisata untuk Joshua. Monica sempat berpikir, apakah sesuatu yang buruk terjadi pada Joshua? Oh, ya ampun. Monica baru sadar kalau dirinya sekarang mengkhawatirkan Joshua Spencer.
Sejak kejadian malam tadi, Monica terus memikirkan Joshua mulai dari bangun tidur sampai sekarang. Monica rasa dirinya terlalu berlebihan memikirkan tamu di kota yang jelas-jelas bukan siapa-siapanya. Tapi... ini adalah bentuk kepedulian Monica pada seorang tamu yang menjadi penghuni penginapan. Monica akan pastikan kalau lelaki itu baik-baik saja. Mungkin saat ini Joshua sedang tertidur akibat insomnia yang dideritanya. Sebaiknya Monica mengunjungi Joshua nanti malam, siapa tahu ia bisa membantu lelaki itu.
...-οΟο-...
"Hoi, Josh!"
Joshua Spencer menoleh ketika mendengar panggilan khas dari temannya. Anak laki-laki berusia dua belas tahun itu mengambil tempat tepat di depan Joshua. Saat ini jam istirahat sedang berlangsung. Para murid mulai menghabiskan waktu mereka di kantin sekolah, mengambil makanan yang telah disediakan.
"Dimana yang lainnya?" tanya Anak lelaki itu pada Joshua.
Joshua tidak langsung menjawab, ia mengunyah makanan dimulutnya terlebih dahulu. "Jason sedang kumpul klub basket dan Andrew dipanggil ke ruang guru."
Anak itu mengerutkan dahi, "apa yang dilakukannya?"
"Seperti biasa, dia ketahuan membuat ulah. Aku yakin dia tidak akan selamat dari Miss Sanders." sahut Joshua sembari bergidik ngeri.
"Wah, Andrew memang mau cari mati." Kevin Stewart Jo-si anak lelaki dihadapan Joshua juga bergidik. Siapa yang tidak tahu Miss Sanders, guru bahasa asing yang terkenal dengan ketegasan dan kedisplinannya. Sekali melakukan kesalahan disaat jamnya mengajar, dia akan menandai siswa itu dan nilai mereka akan jadi taruhannya.
Joshua dan ketiga temannya sudah berteman sejak awal memasuki sekolah dasar. Awalnya mereka satu kelas, namun karena ada sistem rolling, keempatnya jadi tidak berada dalam satu kelas lagi. Meski begitu, tiap jam istirahat atau tiap pulang sekolah, mereka selalu bertemu dan berkumpul sembari membahas apa yang mereka lalui saat di sekolah. Terkadang mereka main ke rumah Joshua atau Kevin untuk bermain game. Dan kalau dilihat-lihat, saat ini yang lebih kelihatan sibuk mungkin Jason, karena sebentar lagi akan ada perlombaan basket antar sekolah.
Ketika tengah asyik mengobrol, tiba-tiba seseorang menghampiri Joshua dan Kevin dengan wajah kesalnya. "Sial! Gara-gara anak buangan itu aku jadi dapat masalah." well, dia Andrew yang disebut-sebut memiliki masalah dengan Miss Sanders. Joshua sedikit kaget melihat wajah temannya yang memerah, seolah akan meledak sebentar lagi. "Semua ini gara-gara anak buangan itu. Kalian tahu kan? Si putri drakula itu?"
"Putri Drakula?" ulang Joshua yang tidak paham siapa yang dimaksud oleh temannya ini.
Andrew mengambil gelas berisi jus jeruk milik Kevin dan menegukknya. Sedetik kemudian ia berkata, "Monica Frances. Tidak, namanya Monica. Dia yang membuat nilai ujianku dipertaruhkan."
"Apa yang dilakukannya?" tanya Kevin.
Andrew menghela napas, "dia membuatku ketahuan melempar kertas. Awalnya aku mau melemparkan ke arahnya, tapi malah meleset ke Miss Sanders."
"Pantas saja kau dimarahi. Lagipula itu kesalahanmu, kenapa kau melakukannya pada orang yang tidak bersalah." sahut Joshua, mewajarkan hukuman yang didapat Andrew.
"Kau tidak tahu, Josh? Monica itu sudah jadi bahan bullyan di kelasku. Bahkan mungkin oleh satu sekolah." ujar Andrew.
"Apa?" Joshua terkejut. "Kenapa begitu?"
"Dia itu anak pungut. Kau tahu Alex Frances, kan? Si atlet renang dan senior sebelah gedung sekolah kita itu, dia kakaknya Monica. Awalnya kami kira mereka saudara sepupu, tapi ada salah satu anak yang mengatakan kalau Monica itu bukan adik kandung Alex. Kau lihat saja perbedaan mereka."
Joshua terkesiap mendengar pengakuan temannya. Alexander Frances memang terkenal di sekolah. Seluruh sekolah dari SD, SMP, dan SMA tahu siapa Alex itu. Dengan popularitasnya yang tinggi, tentu ada saja mata-mata yang ingin mengetahui seorang Alexander Frances lebih dalam, apalagi musuh-musuh yang berada di luar sekolah. Pasti kabar tersebut disebarkan oleh musuh-musuh Alex yang tidak suka padanya.
"Tapi itu kan baru sepihak. Lagipula kalian tidak bisa melakukan hal buruk padanya." timpal Joshua.
"Sebaiknya kita tidak usah ikut campur dalam masalah ini." ujar Kevin akhirnya. Dia sejak tadi diam dan hanya mendengarkan Andrew mengoceh mengenai Monica Frances.
"Sstt.... diam. Dia datang!" Andrew memberi isyarat dengan mengangkat telunjuknya di bibir, untuk memberitahu temannya diam. Padahal dia sendiri yang ribut sejak tadi.
Tepat pada saat itu, Joshua Spencer menatap gadis keturunan Asia itu. Tubuhnya kurus, kulitnya putih, rambutnya hitam, panjang dan lurus. Wajahnya tidak menggambarkan keceriaan sama sekali. Matanya sembab. Dan.... sepertinya gadis itu baru habis menangis. Dia terlihat tidak baik-baik saja. Meskipun mungkin dia menutupinya, namun tetap saja terlihat. Gadis itu membawa nampan berisi makanan, sembari mencari tempat kosong untuk dia duduki. Ketika akan berjalan, tiba-tiba gadis itu terjatuh. Semua orang yang berada di kantin tertawa. Oh, ya ampun, gadis yang malang. Batin Joshua. Gadis itu terjatuh akibat tersandung kaki temannya. Semua yang ada di nampan itu terjatuh dan membasahi seragamnya.
Gadis itu pada akhirnya menangis lagi, kemudian pergi meninggalkan kantin. Ingin rasanya Joshua mengikuti langkah gadis kecil itu. Tapi dia tak bisa. Mungkin Joshua masuk sebagai satu dari beberapa orang yang hanya bisa menyaksikan kejadian mengerikan itu, tanpa ada niatan membantu. Bisa dikatakan Joshua masuk ke dalam kategori pembully, karena tidak ada niatan menolong si korban.
Dalam hati, Joshua menyesal tak bisa berbuat apa-apa disaat Monica Frances mengalami kesulitan.
...-οΟο-...
Sejak baru bangun hingga petang ini, Joshua Spencer sama sekali tidak bergerak dari kamarnya. Yang dia lakukan hanya berada di depan laptop seharian dan memikirkan mengenai pekerjaannya. Entah mengapa disaat liburan seperti ini pikirannya selalu diisi oleh pekerjaan. Tanpa sadar, dia juga melupakan janjinya dengan Monica untuk pergi menjelajah Gibbston Valley. Bisa dikatakan, Joshua Spencer adalah si pekerja keras yang tak pernah mengenal waktu.
Untuk sesaat dia mulai mengingat kejadian masa lalunya ketika dia berumur dua belas tahun. Sudah tiga belas tahun berlalu. Dan ia masih mengingat beberapa kenangan, termasuk kebersamaan dirinya bersama tiga sahabatnya. Tapi ada satu ingatan yang agak buram mengenai seorang gadis yang menjadi bahan bully-an saat itu. Gadis malang itu akhirnya meninggalkan sekolah tepat setelah kejadian buruk menimpa keluarganya. Setidaknya itulah yang Joshua ingat. Nama Monica Frances kini menghinggapi pikirannya. Nama itu seolah tidak asing bagi Joshua.
Lamunan Joshua terbuyar setelah mendengar suara ketukan pintu. Ia langsung bangkit dari tempatnya, menuju ke arah pintu. Didapatinya Monica Frances sudah berdiri di depan pintu, memperlihatkan tas jinjing kecil yang dibawanya dan sebuah botol minuman.
"Monica?"
"Hai, Joshua!" sapanya riang, kemudian tatapan matanya sekilas jatuh pada tas jinjing kecil yang ia bawa, "ini aku membawa manisan labu, pancake sirup anggur dan susu. Kupikir kau akan lebih baik setelah memakannya."
Joshua terlihat menanap, sedetik kemudian dia mulai tersadar untuk mengambil tas dan botol minuman ditangan Monica, tanpa bicara apapun. Dia masih sedikit shock melihat kedatangan gadis itu.
"Semoga insomnia mu bisa hilang, Josh." lanjut Monica dengan malu-malu.
"Eh?" Joshua mengernyit seketika. "Insomnia?"
"Iya. Kau tadi pasti bangun siang kan karena semalam begadang? Padahal aku menunggumu di kebun."
"Menunggu? Memangnya... Oh, Demi Tuhan. Aku baru ingat, seharusnya kita berkeliling Gibbston Valley tadi. Maafkan aku, Monica."
Monica menarik senyum sekilas diwajahnya. "Tidak masalah."
Joshua pun meletakkan tas dan botol minuman ditangannya, di meja yang berdekatan dengan laptop. Sedetik kemudian dia menutup laptopnya dan mengemasi barang-barang yang ada di mejanya. "Masuklah! Maaf kalau berantakan."
Monica masih berusaha mencerna kata-kata Joshua barusan yang mempersilakannya masuk. Sebelumnya dia belum pernah masuk ke kamar laki-laki, selain kamar sang kakak. Gadis itu masih berdiri diambang pintu, melihat Joshua membersihkan tempatnya yang sedikit berantakan. Joshua yang menyadari hal tersebut pun langsung menghentikan aktivitasnya kemudian beralih menatap Monica.
"Monica?" panggil Joshua dengan alis yang sedikit mengernyit, bingung.
"Ya?" Monica balas menatap Joshua. Tatapannya seolah bertanya, apa aku boleh masuk.
"Ada apa? Kenapa tidak masuk?"
"Ah... itu... aku..."
Joshua pun mengerti kenapa Monica tidak mau masuk. Mungkin dia pikir kalau lelaki dan wanita ada dalam satu kamar itu... yah... begitu.
"Tenang saja. Aku bukan orang yang seperti itu. Kalau aku melakukan kesalahan, kau bisa laporkan pada kedua orang tuamu." ujar Joshua, seolah membaca pikiran Monica.
Mendengar hal tersebut, keraguan Monica pun mendadak hilang. Ucapan Joshua itu terkesan sangat meyakinkan. Ia pun memasuki kamar Joshua perlahan dan menatap sekeliling ruangan.
"Pintunya biarkan saja terbuka." lanjut Joshua, sembari duduk di dekat meja kerja. Monica pun mengangguk dan memilih duduk diatas tempat tidur. Gadis itu tersenyum pada Joshua.
"Kau tahu? Aku sebelumnya tak pernah masuk kamar laki-laki selain kamar kakakku." aku Monica, mengenai keraguannya tadi.
Joshua tersenyum sekilas. "Aku mengerti." kemudian lelaki itu mengalihkan tatapannya pada kotak disebelahnya. "Omong-omong, terima kasih banyak atas makanannya. Kau jadi repot begini." sambung Joshua mengalihkan pembicaraan.
"Tidak masalah. Lagipula sebagai tuan rumah yang baik aku akan memastikan tamuku baik-baik saja selama liburan." kemudian tatapan Monica jatuh pada tumpukan buku yang berada tidak jauh dari Joshua. Gadis itu pun bangkit untuk melihat buku-buku tersebut. "Eh? Kau suka baca novel karya J.Dawn juga?"
"Ah. Itu... itu... yah... aku suka membacanya." ujar Joshua sembari tersenyum kikuk, guna menutupi kegugupan.
"Wow, aku tidak menyangka kau ternyata penggemarnya juga." Monica pun tersenyum riang. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan seorang yang sama-sama suka dengan penulis favoritnya. Rasanya seperti bertemu sesama saudara.
Melihat senyum gadis itu, Joshua merasa ikut senang. Baru kemarin Monica membicarakan si penulis favoritnya dan sekarang Joshua benar-benar senang melihat gadis itu tersenyum selebar ini.
"Mana novel favorit mu? Kalau aku Sunday After Saturday."
Joshua tampak kebingungan. Ia tidak pandai berbohong. Tapi, dia tidak bermaksud untuk melakukan hal tersebut. "Ah... aku tidak yakin. Tapi kurasa aku menyukai semuanya."
"Kau benar. Semua karyanya sangat bagus." sahut Monica. "Aku heran kenapa dia tidak pernah memunculkan wajahnya didepan para penggemar. Padahal aku ingin tahu siapa J.Dawn itu."
Joshua tanpa sadar tersneyum kecil, lalu berkata, "entahlah." setelahnya dia memalingkan wajahnya ke arah jendela. "Kurasa aku mau mencoba makanannya." katanya mengalihkan pembicaraan.
"Ah, iya coba saja. Maaf aku mengajakmu bicara tadi." ucap Monica sambil meletakkan kembali novel yang ia ambil pada tempatnya.
Lelaki itu mulai membuka tas jinjing, dan mengambil kotak berisi manisan labu. "Hm. Rasanya manis." sahut Joshua setelah mencoba manisan labu tersebut.
Monica Frances tersenyum kecil menanggapi Joshua. Gadis itu cukup senang melihat Joshua menikmati hidangan kecil yang ia siapkan. Tanpa sadar, Monica memperhatikan Joshua ketika makan dan ia mulai menyadari kalau ternyata Joshua terlihat manis. Gadis itu pun tersenyum tipis.
Joshua rasa, setelah ini dia akan mulai melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda, karena tenaganya sudah terisi dan pikirannya pasti lancar. Apalagi setelah mendengar apa yang dikatakan Monica Frances tadi... semangat Joshua langsung menggebu.
Dari malam ini, Joshua Spencer mulai memutuskan untuk membuat Monica Frances bahagia. Walaupun gadis itu tak bisa melihat pengorbanan Joshua, tapi Joshua akan buktikan kalau dia bisa membuat Monica Frances tersenyum.
...---...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
gaia kinanti
relate banget sih sama josh, masih kepikiran kerjaan pas lagi liburan 😭
2023-05-15
0
Liu Zhi
huhuhu kasihan
2023-05-14
0
Allein Gios
jangan-jangan J Dawn itu... 🤔
2023-05-09
0