Aku memutuskan untuk menonton film di bioskop pribadinya. Sungguh, ruangan bioskop ini luar biasa. Interiornya didesain sedemikian rupa, sangat indah seperti bioskop yang ada di mall. Kursinya seperti kursi tipe Premiere di bioskop XXI. Bahkan, di ruangan ini disediakan bantal dan selimut di setiap kursinya.
Film yang kutonton kali ini adalah ‘Titanic’ karena memang aku menyukai alur ceritanya. Film itu mampu membuatku terharu atas pengorbanan yang Jack lakukan terhadap Rose.
Andai saja ada cowo yang mau berkorban juga demi aku, batinku dalam hati.
Setelah menonton film, aku memilih untuk melihat ruangan di sebelah lift di lantai 2. Aku masuk ke dalamnya dan terkejut melihat betapa luasnya ruangan itu. Aku pun mengelilingi ruangan itu, mulai dari bingkai-bingkai yang berisi kalimat motivasi yang dipajang di tembok ruangannya sampai akhirnya mataku terpaku kepada foto-foto Satya sewaktu masih balita.
“Waktu kecil dia lucu banget, putih terus matanya belo. Tapi kenapa dari dulu mukanya datar, ya?”
Kemudian, aku mulai melihat-lihat satu per satu foto yang dipajang di dalam lemari kaca. Ada foto keluarganya yang tampak harmonis. Ada juga foto-foto saat ia lulus SD, SMP, SMA, bahkan sampai kuliah.
Namun, saat aku menatap ke arah nakas yang sepertinya merupakan meja kerjanya. Di sana, hanya ada satu bingkai kecil berwarna putih. Seorang wanita cantik yang memakai gaun berwarna putih dan tersenyum bahagia yang berada di dalam gambar di bingkai itu.
Mungkin wanita ini adalah pacarnya? batinku penasaran. Namun, aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya.
“Udah jam 11, aku harus bawain makan siangnya Satya ke kantor. Tapi dia suka makan apa?” tanyaku heran. Aku meneleponnya supaya aku tahu harus membawakan makan siang apa untuknya.
”Halo, Sayang. Kenapa?” tanya Satya yang mengangkat telepon sambil menandatangani berkas-berkas penting di perusahaannya.
”Kamu suka makan apa?” sahutku yang langsung menanyakan intinya.
”Mie goreng,” jawab Satya datar.
“Mau aku bawain itu ke kantor?” tanyaku untuk memastikan jawabannya.
“Iya, Sayang. Kamu yang masakkin buat aku, ya,” jawab Satya sambil menghela napasnya.
“Ok, aku tutup teleponnya, ya,” kataku yang segera mengakhiri panggilan telepon itu.
“Ya Tuhan, kenapa laki-laki ini begitu merepotkan? Padahal aku bisa beli di restoran, tapi dia maunya aku yang masakkin. Nanti kalau dia ga doyan gimana?” tanyaku cemas.
Aku tidak peduli lagi, yang penting aku sudah berusaha memasak mie goreng untuknya. Setelah selesai memasak, aku segera membungkusnya dan berangkat ke kantornya bersama supirnya Satya.
“Kamu di mana? Kenapa masih belum dateng ke sini?” tanya Satya khawatir.
”Sabar, aku masih di jalan. Tinggal lewatin lampu merah sekali lagi kok,” jawabku dengan nada tenang.
“Ok, cepetan ya Sayang,” sahut Satya dengan lembut.
“Iya, bye.” Aku langsung menutup panggilan telepon itu. Tidak terasa, aku sudah sampai di depan kantornya. Begitu aku masuk ke dalam gedung yang megah ini, tiba-tiba seorang perempuan yang bekerja sebagai customer service menghampiriku.
“Bu Ananda, tolong ikut saya. Pak Satya sudah menunggu Anda di ruangannya.”
“Makasih, ya,” kataku sambil tersenyum.
“Sama-sama, Bu.” Perempuan itu ikut tersenyum lalu melangkah pergi dari tempatnya berdiri barusan.
Tok… tok… tok…
”Masuk,” kata Satya. Aku langsung masuk ke dalam dan menutup pintu. Satya sedang merapikan beberapa dokumen yang ada di atas meja kerjanya.
”Ini makan siang kamu,” kataku sembari memberikan sekotak tupperware dan alat makan kepadanya. Begitu Satya mengambilnya, aku langsung membalikkan badanku.
”Kamu mau pergi ke mana?” tanya Satya bingung.
“Duduk di sofa.”
Aku segera melangkah ke arah sofa yang berada di depan meja kerjanya lalu duduk di situ.
“Selamat ya pasutri baru. Sekarang Istrinya juga diajak ke kantor?” tanya wanita itu.
“Makasih.”
Hanya itu saja respon yang Satya berikan. Kemudian, Satya membuka kotak tupperware yang kuberikan padanya dan menyantap mie goreng buatanku.
“Hai, siapa nama lengkap kamu?” tanya wanita itu yang langsung duduk di sebelah kananku.
”Halo, nama aku Ananda. Kalau kamu?” sahutku sambil tersenyum.
“Oh, aku Clare. Clare Venecia Adiratma,” jawab Clare sambil tersenyum ramah kepadaku.
“Clare, kalau ga ada urusan lain, tolong keluar.”
“Kenapa? Mentang-mentang Koko udah nikah jadi aku ga boleh datang lagi ke sini?” tanya Clare tidak terima.
“Ananda, kamu tau gak, koko aku itu orangnya-”
“Clare, cukup”
“Koko lagi makan apa?” tanya Clare penasaran.
“Mie goreng,” kata Satya datar.
”Aku laper, aku juga mau cobain.”
“Ehem.”
Satya berdehem untuk memberi kode kepada adiknya supaya tidak menyantap makan siangnya yang masih tersisa setengah.
“Clare, kenapa kamu ga pergi ke tempat les piano?” tanya Satya yang langsung membuka topik pembicaraan.
“Aku ga ada jadwal les piano kok hari ini,” jawab Clare dengan santai.
“Jangan bohong atau Koko bakal aduin ke Papa supaya uang jajan kamu bulan ini ditahan,” ancam Satya dengan kedua matanya yang menatap tajam ke wajah Clare.
“Iya, aku bolos les piano. Aku ga suka les piano. Main lagu-lagu klasik yang terkenal itu susah banget, aku gagal terus waktu latihan. Hari ini jadwalnya ambil nilai, aku ga mau dapat nilai jelek makanya aku bolos,” kata Clare menjelaskan alasannya bolos les piano hari ini.
“Clare, Koko ngerti perasaan kamu, tapi di dunia ini semuanya butuh perjuangan. Kamu pasti bisa kalau kamu mau terus berjuang, terus berlatih meski gagal berkali-kali.”
“Tapi aku cape, Ko. Aku mau berhenti aja,” keluh Clare dengan wajahnya yang murung.
“Kalau kamu berhenti sekarang, nanti kamu pasti nyesel karena ga bisa buktiin ke semua orang bahwa kamu bisa main piano,” kata Satya sambil mengelus rambut adik perempuannya itu.
“Iya juga, kalau gitu sekarang aku berangkat ke tempat les deh. Bye, Ko.”
“Bye, Clare.”
Satya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum senang. Lalu, ia kembali menyantap makan siangnya.
“Enak ga mie gorengnya?” tanyaku penasaran. Satya langsung menatap kedua mataku dan terdiam beberapa detik.
“Hmm, lumayan. Makasih, Sayang,” jawab Satya sembari menarik kedua tanganku sampai aku terduduk di pangkuannya. Ia langsung memelukku dengan erat.
“Kamu mau apa?” tanyaku bingung.
“Memangnya Suami ga boleh peluk Istrinya sendiri?” jawab Satya sambil mengeratkan pelukannya. Aku terdiam, tidak bisa menjawab pertanyaan darinya.
“Tumben kamu dandan, badan kamu juga wangi,” kata Satya sambil mencium lembut leherku.
“Cewe memang dandan kalau harus keluar rumah.”
“Ahhhh, kamu ngapain?” tanyaku lirih. Aku tidak tahu apa yang Satya lakukan, tapi leherku terasa perih sekali.
“Sorry, Sayang. Satu aja udah cukup.”
Satya segera menjauhkan bibirnya dari leherku. Kemudian, ia memakaikan jasnya ke tubuhku.
”Apa maksud kamu?” sahutku tidak mengerti.
“Nanti sore kita harus mampir ke rumah orang tua aku. Semalem kita ga ngapa-ngapain, aku takutnya kamu ditanya macem-macem sama mereka. Jadi aku tinggalin bekas ciuman di leher kamu supaya kamu ga perlu jelasin apa-apa lagi ke mereka,” jawab Satya sambil tersenyum.
Bersambung……
Halo readers, pertama-tama Author mau bilang terima kasih udah mampir ke novel ini. Jangan lupa beri dukungan untuk novel ini melalui comment, like, dan tambahkan buku ini ke rak buku kalian ya kalau suka! Thank you ❤
Kedua, jika kalian mau memberikan kritik & saran bisa langsung comment aja bagian mana yang masih perlu author perbaiki lagi.
Terakhir, buat kalian yang tertarik dengan tulisan Author, boleh banget follow IG Author @bellakristyc_ yaa. Di sana Author bakal bagi-bagi tips menulis juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments