"Ya, tentu aja. Lagian juga pernikahan kita ini kan dadakan. Gue juga shock karena kejadian ini."
Dinda tersenyum senang. Ya, entah apa yang akan mereka lakukan jika dari teman-temannya tahu bahwa mereka berdua sudah menikah. Lagi pula, pernikahan ini hanya sementara. Akan ada banyak drama yang mereka lakukan demi bisa bersama dengan orang yang mereka cintai.
"Yuk, ke rumah sakit. Atau, elo mau istirahat aja?" tanya Yoga. Dinda menggelengkan kepalanya.
"Ikut. Lagian, di rumah juga sepi. Elo kan tau gue nggak suka tempat sepi," ujar Dinda.
"Huh, sama laki-laki aja berani ngelawan, masa sama rumah sepi takut."
Dinda melotot, bersiap untuk menimpuk suaminya ini dengan bantal, tapi Yoga sudah menghalangi wajahnya dengan lengan.
"Jangan bar-bar. Cepet mandi. Nanti di jalan gue beliin es krim sebagai tanda terima kasih gue karena elo mau nikah sama gue," ujar Yoga.
"Dih, cuma es krim aja!" ujar Dinda, tapi kemudian dia juga bangkit dan pergi untuk mengambil handuknya. "Elo keluar. Gue mau mandi!" usir Dinda.
"Loh, kenapa aku harus keluar, Sayang? Aku kan suami kamu." Bukannya bangkit dan pergi, Yoga malah berbaring di atas kasur Dinda yang berantakan.
"Yoga! Keluar!" tunjuk Dinda ke arah pintu kamarnya. Tak cukup hanya itu saja, dia menarik tangan Yoga dan menyeretnya ke luar dari sana. "Awas lo ya. Berani elo masuk ke dalam kamar gue, lihat aja!" tunjuk Dinda tepat di depan wajah Yoga. Pintu dia tutup dengan keras sehingga rambut poni Yoga terbang ke atas.
...*...
"Yuk, udah siap nih gue. Elo nggak mandi?" tanya Dinda saat melihat Yoga masih memakai pakaian yang tadi.
"Udah lah. Ini kan baru gue ganti tadi pagi setelah pulang dari rumah sakit. Elo aja yang pulang langsung tidur," jawab Yoga, kemudian merangkul Dinda untuk pergi dengan motornya.
"Eh, gue nggak mau naik motor. Panas," ujar Dinda menatap motor besar milik Yoga. Yoga hanya menghela napasnya sedikit kesal.
"Mobil mogok, tadi udah gue cobain. Nggak mau nyala dia," terangnya. Terpaksa, Dinda mau tak mau harus pergi dengan Yoga menggunakan motor. "Sini, pasang helm dulu." Yoga memasangkan helm di kepala Dinda dan menguncinya agar aman.
"Gue tuh nggak suka pake helm. Bikin rambut gue berantakan, bau kena keringet."
"Udah, cuma sekali ini aja. Nanti kalau Mama dah mendingan gue bakalan benerin mobil." Tak lupa Yoga juga merapikan rambut Dinda yang menutupi matanya.
"Eh, Din. Kayaknya kita sweet banget ya kalau bisa kayak gini terus, kayak suami istri beneran," ujar Yoga sambil tersenyum malu.
"Lah, kan bener kita suami istri sekarang ini."
"Iya, maksudnya kan kita mah nggak bener-bener cinta. Suami istri cuma dalam perjanjian aja," ujar Yoga. Dinda terkekeh pelan.
"Iya, sih. Sweet banget kalau bener kita bisa kayak pasutri yang lainnya."
"Eh, Din. Kira-kira, kita bisa nggak ya saling cinta?"
Dinda menatap Yoga dengan malas. "Kayaknya nggak bisa sih. Kan elo nggak cinta sama gue, elo dah punya pacar, gue juga punya orang yang gue suka. Apa mungkin kita bisa bareng tanpa adanya cinta?" tanya Dinda. "Udah ah, malah ngomongin ini. Ayo berangkat. Kita telat nanti. Mama dan papa belum pulang," ucap gadis itu.
"Iya."
Di rumah sakit. Yoga dan Dinda telah sampai di dalam ruangan Mama Puspa.
"Eh, anak dan menantu Mama sudah datang. Kalian pasti capek ya? Harusnya kalian nggak usah dulu datang ke sini. Istirahat aja berdua, kalian pasti capek. Sudah buat cucu belum buat Mama?" tanya Puspa tanpa berbasa basi. Dinda yang tengah minum karena kehausan tersedak hingga Yoga yang ada di depannya basah kena semburan.
"Din. Jorok!" Yoga mengusap wajahnya yang basah. "Lagian Mama juga nanya begituan. Kita aja nikahnya dadakan, mana bisa di kondisi yang seperti ini bikin anak, Ma. Sembuh dulu, baru nanti tanya lagi soal itu!" ujar Yoga kesal.
"Eh, itu berati belum, ya?" tanya Puspa dengan tertawa kecil. Dia melirik besannya dan berkata, "Yaaah, Besan. Padahal tadi kita sudah bahas nama kalau cucu kita perempuan atau laki-laki. Kita harus sabar nih, padahal kalau mau ngegas cepet-cepet bikin baby juga kita nggak masalah banget, ya?" ujar Puspa sambil tersenyum kecil.
Irma yang duduk di samping Puspa tersenyum geli. "Ya, bener apa kata Yoga, Mbak Besan. Mbak Besan sembuh aja dulu. Kan kalau sembuh juga kita enak ngurusin Dinda kalau nanti sudah hamil."
Puspa dan Irma tertawa kecil, sementara kedua suami mereka hanya menggelengkan kepala saja dari tempatnya duduk. Memang para istri sangat heboh sekali jika sudah membahas masalah yang seperti ini.
"Ma, sebutannya biasa aja kali. Biasanya juga Jeng Puspa dan Mbak Irma. Kenapa sekarang jadi Mbak Besan?" tanya Yoga dengan geli, menirukan suara panggilan kedua wanita itu seperti biasa. Gatal rasanya telinganya mendengar sebutan itu. Dinda tidak mau berkomentar, hanya membuang pandangannya ke tempat lain.
"Eh, kebetulan kalian ada di sini, Papa mau pulang dulu sebentar, mau bawa baju ganti buat mama. Kalian bisa kan nanti tolong jagain dulu? Papa akan balik lagi nanti malam nunggu mama di sini," ucap Heru pada anak dan menantunya.
"Iya, nih. Mama juga belum ganti baju dari kemarin. Kalian bisa kan jagain Mama Puspa dulu? Sekalian Mama mau masak, Mbak Besan mau dimasakin sayur sop jagung sama kolak pisang," ucap Irma.
Yoga melongo mendengar jenis makanan terakhir. "Nggak salah kolak pisang?" tanya pemuda itu.
"Nggak lah, orang sakit tuh harus diturutin apa maunya, biar cepet sembuh. Apalagi kalau kalian juga mau turutin apa yang dimau sama Mama Puspa, bikin anak, biar cepet sembuh detik ini juga!" ujar Irma sambil tertawa cukup keras tanpa peduli dengan anak dan menantunya yang kini sudah memerah di wajahnya.
"Ya sudah, Mbak Besan. Aku pulang dulu, mau bikin apa yang Mbak Besan mau. Jangan lupa, terus desak anak-anak biar kita bisa cepat punya cucu," bisik wanita itu, tapi masih terdengar dengan sangat jelas di telinga Dinda dan Yoga.
"Iya, sipp!" Mama Puspa mengangkat jempolnya.
"Mama!" seru Dinda malu.
"Hehe, kan kita sedang berusaha keras. Sudah ya. Yuk, Pa. Mas Besan, kita pulang bersama. Biar nih pengantin baru yang nunggu di sini. Kali aja ada wangsit biar nanti malam mereka terbuka mata batin, mata hati, dan terbuka yang lainnya," goda Irma. Dinda malu bukan kepalang. Dia ingin berteriak, tapi Irma sudah mengambil tasnya dan menjauh dari sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments