"Saya terima nikah dan kawinnya Dinda Natasya binti Wildan Ramadhan, dengan mas kawin seperangkat alat solat dan uang tunai sebesar dua ratus tiga puluh ribu rupiah dibayar tunai."
Terdengar sebuah ijab dari dalam sebuah ruangan di rumah sakit besar tersebut. Yoga berjabat tangan dengan ayah Dinda disaksikan oleh kerabat terdekat keluarga mereka, maupun dokter yang mengobati Mama Puspa.
Beberapa orang itu duduk di lantai beralaskan karpet seadanya dan melaksanakan ijab pernikahan dadakan yang hanya direncanakan kurang dari dua puluh empat jam tersebut dengan mas kawin uang yang dia punya di dalam dompetnya dan juga alat solat yang dibawakan oleh papanya. Pakaian yang keduanya kenakan pun hanya seadanya, yang bisa dibawakan oleh kedua ayah mempelai beberapa jam yang lalu, Yoga hanya memakai celana jeans dan kemeja putih, sedangkan Dinda memakai baju kebaya berwarna putih milik ibunya, tanpa riasan sama sekali.
Hari ini, hari yang tidak disangka telah menjadikan Dinda seorang istri dari Yoga, sahabatnya sendiri. Dinda hanya bisa terdiam, menatap cincin yang baru saja disematkan oleh Yoga pada jari manisnya, juga selembaran kertas yang masih ada di atas meja sebagai bukti bahwa pernikahan mereka telah sah secara agama.
"Silakan, Nak Dinda. Cium tangan suaminya," ucap pak penghulu memberi instruksi. Dengan ragu Dinda duduk menghadap Yoga dan mengulurkan tangannya. Yoga yang sedari tadi terdiam setelah mendengar kata sah dari saksi yang ada, tersentak dan lantas membalas uluran tangan istrinya. Segera Dinda mendekatkan punggung tangan Yoga ke ujung hidungnya begitu pun dengan Juna yang mendekat untuk mencium kening Dinda.
Puspa yang melihat anak semata wayangnya menikah kini menangis haru, akhirnya dia bisa menyaksikan pernikahan putranya meski hanya dilakukan sederhana di rumah sakit ini. Heru Pramuja, ayah dari Yoga tersenyum dan menyambut Dinda ke dalam pelukannya.
"Selamat datang di keluarga kami, Dinda," ucap Heru dengan terharu. Dinda hanya bisa diam, tidak tahu harus berbicara apa, hanya senyum tipis yang dia perlihatkan pada laki-laki tersebut.
Irma dan Wildan tak kalah terharunya, anak gadis satu-satunya ini telah resmi menjadi seorang istri dari laki-laki lain tanpa diduga. Tak menyangka jika jodoh putrinya ternyata ada di hadapan mereka selama ini.
"Dinda." Irma datang mendekat dan memeluk putrinya sambil menangis. Suasana tercipta di sana sampai Dinda pun kini ikut menitikkan air mata.
"Mama senang kamu sudah menemukan jodohmu, Nak. Jadilah istri yang baik yang bisa mengurus suami kamu, hormati dia, patuhi ucapannya, dan sayangi orang tua kamu yang lain. Anggap Mama Puspa dan ayah jadi bagian hidup kamu juga," bisik Irma di dekat telinga Dinda.
Dinda menganggukkan kepalanya. Ucapan ibunya ini terlalu menyakitkan meski mereka masih tinggal berdekatan, tapi rasanya masih tidak rela tidak lagi tinggal satu atap dengan orang tuanya.
Dinda kali ini mendekat ke arah Puspa berada, mencium punggung tangan wanita itu dengan khidmat. Puspa sampai menangis bahagia mendapatkan Dinda sebagai menantunya, wanita yang akan membuatnya merasa tenang jika Yoga bersamanya.
"Mama senang punya menantu kamu, Dinda," ujar Puspa menarik Dinda dan mencium keningnya dengan lembut. "Kamu gak terpaksa melakukan ini karena Mama yang sedang sakit kan?" tanya Puspa dengan menatap mata Dinda.
Dinda menggelengkan kepalanya. "Enggak, Ma. Dinda gak terpaksa, kok. Dinda ...." Dinda terdiam sebentar, memalingkan wajahnya ke arah lain dengan muka yang bersemu merah. "Dinda juga sebenarnya su-suka sama Yoga dari lama," ujar Dinda dengan terbata.
"Beneran?" tanya Puspa. Dinda menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Syukurlah, Mama sudah yakin kalau kalian adalah jodoh. Dari dulu Mama yakin, Dinda," ujar Puspa tersenyum senang. Dinda pun ikut tersenyum melihat wajah bahagia wanita yang baru saja jadi mertuanya ini. Wajah yang semakin tirus itu tersenyum, dengan tangan yang semakin kurus mengusap pipi Dinda.
"Semoga kalian bahagia dengan kehidupan pernikahan ini," ucap Puspa.
***
Yoga membawa Dinda pulang ke rumah, sang ibu yang menyuruh Juna untuk membawa Dinda pulang untuk beristirahat karena semalaman ikut menunggu di rumah sakit dan hampir tidak bisa tidur, apa lagi memikirkan keputusan yang telah diambil secara mendadak.
"Maaf ya. Kamu sudah aku bawa ke dalam permasalahan ini. Aku janji kalau mama sembuh aku akan bilang jujur sama mama dan semuanya," ucap Yoga dengan menyesal. Mobil yang Yoga bawa melaju dengan kecepatan yang sedang di siang itu membelah jalanan yang sudah mulai ramai. Dinda hanya terdiam menatap cincin yang ada di jari manisnya.
"Ga, apa semuanya gak akan marah kalau kita bilang yang sejujurnya? Kita menikah hanya sementara," ujar Dinda dengan pelan.
Yoga melirik ke arah Dinda yang masih terpaku melihat jemarinya. Sebuah helaan napas sedikit kasar terdengar dari mulut Yoga.
"Aku tau, mereka pasti marah, tapi aku takut kalau sampai terjadi sesuatu sama mama. Aku janji, aku bakalan bilang kalau aku yang paksa kamu dengan pernikahan ini. Aku yang akan tanggung semuanya kalau sampai Mama Irma dan Papa Wildan marah," ucap Yoga dengan cepat sambil melirik sahabatnya. Dinda masih terdiam, memikirkan apa yang telah terjadi.
'Apakah semua orang akan bisa menerima alasan dan penjelasan Yoga tentang pernikahan kami?' batin Dinda.
Yoga memegang tangan Dinda yang ada di pangkuan, sehingga Dinda kini mengangkat kepalanya dan menatap Yoga.
"Aku janji. Aku yang akan tanggung semua ini. Kalau pun Mama Irma dan Papa Wildan mau gantung aku karena telah mempermainkan pernikahan ini. Aku terima," ucap Yoga lagi, berbicara dengan bahasa sopan tanpa ada 'gue-elo' seperti biasanya.
Dinda terdiam, dia merasa bingung dengan apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Hanya bisa menerima apa yang telah digariskan oleh takdir hidup bersama dengan Yoga.
Bukan tanpa sebab Dinda menerima permintaan dari Yoga. Hal yang sama pun Dinda rasakan semalam, apa lagi saat mendengar jika kanker yang menyerang di bagian hati Mama Puspa telah memasuki stadium dua. Ada dua kemungkinan, sembuh atau semakin parah. Rasa takut yang Yoga dan Dinda rasakan membuat keduanya tidak bisa berpikir dengan benar, takut jika Mama Puspa akan meninggalkan mereka, mengingat apa yang Yoga katakan jika Mama Puspa menolak untuk dirawat di rumah sakit.
Mobil telah sampai di rumah keluarga Pramuja, tampak sepi karena memang semua orang masih berada di rumah sakit. Irma turut menjaga besannya sedangkan para suami tengah memutuskan untuk mengurusi Puspa ke depannya, mereka akan membawa Puspa ke rumah sakit terbaik yang ada di kota ini demi kesembuhan keluarga tercinta.
"Aku pulang dulu, ya," ucap Dinda sambil membuka sabuk pengaman yang ada di depan tubuhnya.
"Pulang kemana?" tanya Yoga sambil tersenyum menggoda.
"Pulang ke rumah, lah," ujar Dinda sambil menatap malas Yoga.
"Rumah yang mana? Mulai sekarang rumah kamu di sini loh," ucap Yoga sekali lagi sambil menunjuk rumah yang ada di depannya.
Dinda yang akan membuka pintu terhenti sebentar dan menatap Yoga. Seketika pintu yang baru saja dia buka sedikit lantas dia tutup kembali.
"Aku lupa. Aku dah nikah," ucap Dinda sambil kembali menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Kita belum putuskan akan tinggal di mana," ujar Dinda melanjutkan.
Yoga menghela napasnya sekali lagi. Hal yang selanjutnya harus dia pikirkan karena sekarang dia adalah kepala keluarga.
"Kita harus perjelas hubungan ini. Kita harus bahas apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan," ujar Dinda sambil menatap Yoga.
"Iya, aku paham."
Dinda membuka pintu mobil.
"Din," panggil Yoga saat Dinda hendak turun dari mobil.
"Iya?" tanya Dinda.
"Kamu cantik pakai kebaya putih kayak gitu," ujar Yoga sambil tersenyum. Dinda merasa malu mendengar ucapan Yoga barusan, hal yang tidak pernah dikatakan oleh laki-laki itu selama ini.
"Aku pulang dulu," ucap Dinda, lalu dengan cepat turun dari mobil tersebut dan segera berjalan menuju ke arah rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments