Dinda berjalan dengan cepat ke rumahnya, tangannya bergetar saat memasukkan anak kunci ke dalam lubang kunci tersebut. Apa yang telah terjadi hari ini dan juga pernyataan Yoga barusan membuatnya salah tingkah. Bahkan membuat dia sedikit melamun dan juga hampir terjatuh karena tersandung pada batu.
"Ya ampun, Yoga ...." Dinda menyandarkan dirinya pada pintu yang telah dia tutup kembali, dadanya berdebar dengan kencang saat dia menempelkan telapak tangannya di sana. Tidak menyangka jika ucapan Yoga bisa membuat dirinya lemas.
Dinda menggelengkan kepalanya dengan cepat, menepis bayangan wajah Yoga saat mengatakan hal tersebut tadi. "Akh! Apa yang aku pikirin, sih! Gak bener ini. Gak bener!" ucap Dinda dengan kesal. Ikat rambut dia lepaskan dengan kasar sehingga rambutnya yang panjang tergerai, sedikit kusut karena dia belum mandi pagi ini. Bahkan semalam pergi ke rumah sakit pun hanya mengenakan pakaian tidurnya. Dengan langkah yang cepat dia menaiki tangga menuju ke kamarnya.
Ranjang besar empuk menjadi tempat berbaringnya, sedikit sesak kebaya yang dia kenakan. Kancing kebaya itu dia buka satu persatu sambil menatap langit-langit kamar yang putih.
"Aku udah nikah," ucap Dinda dengan bergumam. Tangan yang terdapat cincin dia angkat, seakan menjadi bukti dengan adanya cincin tersebut jika statusnya telah berubah menjadi istri seorang Yoga Pramuja, yang berarti bahwa ....
Seketika Dinda mengingat sesuatu, segera dia menarik tangan tersebut dan menyimpannya di dada, menutupi dengan pakaiannya yang lain. Matanya membulat sempurna saat mengingat sosok seorang laki-laki yang dia kagumi di kampusnya. "Ya ampun. Gimana sama Kak Gilang?" gumam Dinda lagi.
Gilang, seorang laki-laki tampan kakak kelasnya, dengan wajah kalem dan juga pembawaan yang tenang, terlihat sangat bersahaja dan juga tidak petakilan seperti Yoga. Senyumnya yang meneduhkan seringkali membuat Dinda meleleh dan ingin rasanya dihalalkan oleh laki-laki itu. Tatapan matanya yang sayu, lembut, membuat Dinda seringkali membayangkan jika Gilang akan membawanya menuju masa depan yang bahagia. Apalagi dengan kedekatan mereka yang semenjak tiga bulan terakhir ini, membuat Dinda bersemangat untuk menjalani harinya yang sedikit membosankan di kampus.
"Aaahhh! Aku lupa sama Kak Gilang!" teriak Dinda. Keningnya menjadi sasaran telapak tangannya, tak peduli dengan rasa sakit yang kemudian dia rasakan di sana.
"Astaga, bagaimana ini?" Dinda bangun dan menjadi bingung sendiri. Apa yang harus dia katakan kepada laki-laki itu bahwa dirinya kini telah menikah dengan Yoga.
"Kenapa aku sampai lupa dengan Kak Gilang. Ya ampun, bagaimana besok aku akan bertemu dengan dia?" gumam Dinda lagi. Dia merasa bersalah karena sudah mengkhianati laki-laki itu, meskipun memang di antara mereka tidak ada hubungan sama sekali, belum.
Akhirnya karena terlalu lelah berpikir dan juga sangat mengantuk Dinda tertidur di ranjangnya.
***
"Din, Dinda!"
Dinda membuka matanya, melihat seseorang yang tak asing di sana. Akan tetapi, untuk kali ini dia terkejut karena Yoga yang membangunkan.
"Yoga, apa yang kamu lakukan di kamarku?" tanya Dinda terkejut dan langsung duduk, refleks dia menutup tubuhnya dengan selimut. Dia tidak lupa dengan apa yang telah terjadi kepada dirinya tadi pagi.
"Eh, napa juga kaget? Kayak nggak biasanya aja kita ada di dalam satu kamar," ujar Yoga kesal. Ya, memang mereka sering berada di dalam satu kamar, baik untuk belajar mau pun untuk saling curhat.
"Ya, gimana nggak kaget lah. Kan tiba-tiba aja elo ada di sini. Lagian juga mama dan papa kan nggak ada," ujar Dinda.
"Ckckck. Elo nih. Pasti pikiran elo ngeres ya? Gue nggak akan minta kok, gue masih ingat perjanjian kita. Lagian juga kan gue tau kalau elo tuh suka sama si cupu, elo kan pengen pacaran sama dia. Ya, meski sebenarnya gue juga nggak tau nih bisa tahan apa enggak sebagai seorang cowok," ujar Yoga sambil terkekeh. Untuk selanjutnya sebuah bantal melayang ke kepalanya. "Sakit, cuy!" seru Yoga mengusap kepalanya.
"Ngeres otak lo!"
"Gue ke sini karena ingat elo tadi pagi kan nggak makan. Gue bawain makanan buat elo. Masak tadi. Makan gih, nanti sore kita ke rumah sakit lagi soalnya," titah Yoga. Dinda melirik makanan yang ada di meja riasnya, wanginya sangat menggoda sekali dan membuat perutnya meronta-ronta. Seketika suara perutnya terdengar dengan cukup nyaring.
"Eh, iya. Gue lapar. Sini, gue pengen makan," ucap Dinda. Yoga segera mengambilkan nampan yang terdapat di sana dan menyodorkannya kepada Dinda.
"Banyak amat? Lo masak di sini?" tanya Dinda menatap piring milik sang ibu.
"Iya, lah. Di rumah soalnya cuma ada telur aja buat dimasak, gue tadi lihat di kulkas sini banyak stok sayur, jadi masak deh." Yoga tertawa malu. Dinda hanya menggelengkan kepalanya.
"Dasar!" Dinda kemudian menyuapkan makanan tersebut ke dalam mulutnya. "Eh, tapi gue nggak tau elo masak di dapur, nggak kedengeran suaranya," ujar Dinda dengan mulut yang menggembung karena makanan.
"Iya lah, nggak denger. Orang elu tidur kayak orang mati."
Dinda hanya tersenyum meringis. "Ngantuk. Enak." Makanan itu dia masukkan ke dalam mulutnya lagi dan lagi, sampai Dinda kemudian berkata, "Elo dah makan?" tanya Dinda. Yoga menggelengkan kepala.
"Lagi nggak nafsu makan gue." Tatapan Yoga sayu. Dinda menghentikan makannya dan menatap pemuda yang beberapa jam lalu menjadi suaminya. Dia tahu jika Yoga pasti tengah memikirkan ibunya.
"Nih, elo juga harus makan. Kalau elo sakit siapa nanti yang mau gantiin jagain Mama Puspa?" ujar Dinda menyodorkan sendok di depan mulut Yoga. "Tiga suap aja."
Yoga akhirnya membuka mulut, menerima makanan tersebut dari Dinda. "Meski nggak enak makan, elo tuh harus tetep ada asupan gizi. Gue tau, kok. Elo laki-laki yang kuat, tiga hari aja nggak makan juga nggak masalah, tapi untuk sekarang ini elo jangan gitu deh. Gue ...." Dinda terdiam sebentar. "Gue ... sebagai seorang istri kan jadi gimana ya, kalau nanti elo sakit gue juga yang bakalan repot," ucap Dinda.
Yoga yang sudah terlanjur senang mendengar kekhawatiran Dinda tadi mengubah wajahnya menjadi datar, merasa kecewa. "Ish, elo nih. Gue kira elo bakalan khawatir, ternyata elo nggak mau ribet." Yoga menatap Dinda dengan lirikan matanya. Dinda hanya terkekeh pelan.
"Ya, elo kan jarang sakit, sekalinya sakit elo tuh rewel banget. Kayak anak bayi yang selalu pengen digendong!" ujar Dinda kesal.
Mereka makan satu piring berdua, semua itu memang sudah biasa juga mereka lakukan sedari kecil. Tak ada kecanggungan lagi dari keduanya, saling berbagi makanan dalam satu tempat.
"Din, elo sudah pikirin ke depannya gimana?" tanya Yoga yang membuat Dinda mengalihkan tatapannya dari piring. Dia hanya menggelengkan kepalanya.
"Bisa kan kalau kita rahasiakan dulu pernikahan ini dari yang lainnya?" tanya Dinda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Fitri Saniah
lanjut❤❤❤
2023-07-25
0