Hujan sangat deras di luaran sana, petir saling bersahutan, angin berhembus sangat besar sekali sehingga membuat jendela kamar Dinda basah oleh air hujan yang terbawa angin. Sesekali terdengar gemuruh dari langit membuat suasana malam itu menjadi menakutkan.
Dinda menyibak tirai, menatap ke arah rumah Yoga yang ada di sebelahnya. Tampak rumah tersebut gelap dan tidak nampak satu lampu pun yang menyala, membuat Dinda merasa khawatir.
"Pada kemana ya? Tumben lampu belum nyala?" gumam Dinda pada dirinya sendiri, masih memperhatikan bilamana ada gerakan di dalam rumah tersebut. Tiba-tiba saja hatinya merasa tidak tenang. Dia mengambil hp-nya mengirimkan pesan kepada Yoga.
"Belum tidur, Din?" tanya seorang wanita yang melongokkan kepalanya dari ambang pintu kamar Dinda. Dinda menolehkan kepalanya dan tersenyum.
"Belum, Ma." Hp yang ada di tangan dia simpan kembali di atas bantalnya.
"Sudah malam, loh. Mau jam sepuluh, besok ada kuliah pagi, kan?" tanya Irma pada sang putri. Dinda hanya menganggukkan kepalanya, lalu sekali lagi menatap ke luar jendela.
"Ma, rumah Yoga kok gelap ya? Apa gak ada orang di sana?" tanya Dinda pada sang ibu. Irma mendekat ke arah jendela dan melihat ke tempat yang sama.
"Iya, ya. Gak biasanya Mbak Puspa gak nyalain lampu. Apa pada pergi? Biasanya kalau pergi juga selalu pamit sama Mama," ujar Irma, sama seperti Dinda, dia juga tiba-tiba merasa khawatir dengan keadaan tetangganya itu.
"Kamu sudah telepon Yoga?" tanya Irma.
"Belum sih, baru chat aja. Tapi belum di balas."
"Ya sudah. Kamu tidur dulu, nanti Mama yang hubungi mamanya Juna," ujar Irma lagi. Dinda kali ini menganggukkan kepalanya dan bersiap untuk tidur, sedangkan Irma keluar dari dalam kamar tersebut.
Dinda tidak bisa tidur, hanya menatap langit-langit kamarnya yang putih. Sesekali dia melihat hpnya dan mengecek apakah Yoga sudah membaca pesannya atau belum.
"Ada apa ya?" tanya Dinda bergumam. Dia memutuskan untuk menghubungi Yoga. Akan tetapi, tidak ada tanggapan dari sahabatnya itu.
"Semoga gak terjadi apa-apa," ujarnya lagi, lalu berusaha untuk menutup matanya.
Baru saja sepuluh menit Dinda menutup mata, terdengar suara gedoran dari pintu bawah. Dinda yang mendengar suara gaduh terbangun dan turun ke lantai bawah, terlihat Yoga dengan pakaian yang basah tengah berbicara dengan ibu dan ayahnya. Dengan cepat Dinda berlari ke arah mereka.
"Ga, kenapa kamu basah?" tanya Dinda bingung sekaligus khawatir.
"Ikut aku, Din," ucap Yoga dengan nada suara yang bergetar. Yoga menarik tangan Dinda keluar dari rumahnya dan menuju ke mobil yang ada di luar pagar. Terkejut Dinda dengan perlakuan Yoga yang memaksanya pergi.
"Eh, ada apa ini?" tanya Dinda dengan bingung. Dia tidak bisa mengelak dari tarikan tangan laki-laki itu, menatap ibu dan ayahnya yang ada di belakang.
"Kami akan menyusul!" Hanya teriakan papa Dinda yang terdengar sebelum Yoga membawa gadis itu membelah hujan.
Yoga meminta Dinda masuk ke dalam mobil dan segera kendaraan itu melaju di tengah jalanan yang mulai sepi.
"Ga, ada apa ini?" tanya Dinda dengan bingung, pasalnya Yoga membawa mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi.
"Mama, di rumah sakit," jawab Yoga tanpa menolehkan kepalanya.
"Ha? Mama Puspa di rumah sakit? Kok bisa?" tanya Dinda terkejut. Yoga menggelengkan kepalanya dan menekan pedal gas semakin dalam.
"Aku gak tau, tadi waktu pulang dari kampus Mama pingsan," ucap Yoga menjawab. Dinda merasa khawatir seketika mendengar keterangan dari Juna. Tidak biasanya Mama Puspa sampai pingsan seperti itu.
Tak lama, mobil yang Yoga kendarai telah sampai di parkiran rumah sakit, mereka berdua segera melajukan langkah kakinya dengan cepat menuju ruangan di mana Puspa berada.
Yoga membukakan pintu, membiarkan Dinda masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan tersebut. Terlihat di dalam sana Puspa tengah berbaring lemas di atas brankar.
Melihat kedatangan Yoga dan Dinda membuat Puspa tersenyum senang, dia hanya bisa mengulurkan tangannya, membuat Dinda berlari dengan cepat ke arahnya.
"Mama kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Dinda dengan khawatir, ingin menangis karena tak tega melihat wanita yang sudah ikut menjaganya semenjak kecil kini tergolek lemah tak berdaya.
"Gak apa-apa, cuma sedikit pusing aja, kok. Yoga aja tuh yang lebai, pake bawa ke sini segala," ujar Puspa lemah sambil tersenyum senang. Hangat sekali rasanya telapak tangan Dinda.
"Mama sakit? Kok gak bilang sih sama Dinda, biar Dinda yang rawat di rumah," ujar Dinda lagi, tak terasa air matanya kini mengalir dari mata cantiknya.
"Gak sakit, cuma agak lemes aja. Mungkin karena seharian tadi gak makan," ujar Puspa lagi mencoba menenangkan Dinda.
Yoga melihat kepedulian Dinda terhadap ibunya, begitu pun sang ibu yang tampak sangat sayang sekali dengan gadis itu.
Tak berapa lama, ibu dan ayah Dinda datang dan masuk ke dalam ruangan tersebut. Mereka berdua tampak sangat khawatir melihat keadaan Puspa yang kini terbaring sakit.
"Din, ikut gue!" ujar Yoga berbisik sambil menarik tangan Dinda untuk keluar dari ruangan tersebut. Dinda tidak bertanya, hanya menuruti apa yang Yogakatakan. Yoga menutup pintu ruangan ibunya dan membawa Dinda sedikit lebih jauh dari ruangan tersebut.
"Mama ...." Yoga berhenti melanjutkan ucapannya, Dinda menatap Yoga dan menunggu apa yang ingin Yogakatakan. "Nikah sama aku. Please!" ujar Yoga yang membuat Dinda menatap tak percaya, lagi-lagi permintaan tersebut dengan Yoga yang menatap Dinda dengan memohon.
"Jangan gila ya lo. Gue gak bisa, kita ini sahabatan dari kecil. Masa mau nikah?" tanya Dinda sedikit sewot.
"Emangnya kenapa sih, Din, kalau kita sahabatan? Salah kalau sahabat nikah?" tanya Yoga dengan kesal, tapi masih menjaga nada suaranya agar tidak berbicara dengan keras.
"Ya, gak salah. Tapi bagi gue sahabat tetap sahabat, gue gak mau hubungan kita jadi gak baik kalau kita punya hubungan yang lebih dari itu," ucap Dinda lagi menatap Yoga dengan tajam.
"Mama sakit kanker. Kata dokter lumayan parah, apa elo tega lihat Mama sakit kayak begitu? Please. Kalau memang itu yang elo pikirin, setidaknya bantu gue buat bahagiakan mama sampai sembuh nanti," ujar Yoga dengan lirih. Mendengar hal tersebut membuat Dinda terkejut dan semakin sedih.
"Kanker? Gimana bisa ...." Dinda menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, tidak menyangka dengan apa yang dia dengar barusan. Seketika matanya terasa panas sehingga meluncurkan air hangat dari sudut matanya.
Yoga duduk di kursi tunggu yang ada di dekat sana, mengusap wajahnya dengan kasar. "Gue juga baru tau, Din. Mama sembunyikan sakitnya selama ini dari gue dan juga papa. Gue gak tau lagi harus gimana biar mama mau terapi," ujar Yoga dengan sedih.
Dinda mengingat bagaimana dulu dia diurus dengan baik oleh Puspa saat sang ibu terpaksa harus pergi bekerja. Dia mendapatkan kasih sayang yang sama seperti Yoga dan tidak membedakan mereka berdua. Hingga sampai saat ini pun seringkali Mama Puspa lebih membelanya daripada anaknya sendiri.
Dinda mendekat dan duduk di samping Yoga. Terdiam sebentar, hingga akhirnya ....
"Gue mau. Gue setuju. Kita menikah!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
we
penasaran dengan rumah tangga Dinda yoga
2023-04-22
1
Aulia Finza
jangan ada orang ketiga y thor
2023-04-22
1