Chapter 1. Tidak Sengaja Bertemu

Ini adalah hari ketiga bagi Asya bekerja paruh waktu di sebuah restoran menjadi pramusaji. Dia kini sudah lulus dari Sekolah Menengah Atas. Usianya sudah genap delapan belas tahun.

Dilapnya meja-meja yang habis digunakan para pelanggan dengan teliti, tidak mengizinkan sebercak noda pun ada di atasnya. Setelahnya dia membantu pekerja lain menyapu atau mengepel lantai.

“Huff, cape juga ya hari ini,” ujarnya pada diri sendiri sembari tangannya mengelap peluh di dahi. Tiba-tiba tanpa dia sadari, bosnya sudah ada tepat di belakangnya dan menegur sapa dirinya.

“Wah, Asya, kamu memang anak yang rajin. Saya sangat suka dengan hasil pekerjaanmu,” ujar bosnya pada Asya dengan senyum mengembang di bibir.

“Ah, iya, Pak, terima kasih banyak.” Asya yang memang tipe anak pendiam, begitu mendengar pujian dia langsung menunduk malu. Dia belum terbiasa dipuji orang lain. Keluarganya bahkan sama sekali tidak pernah mengapresiasi jerih payahnya.

“Sudah, kalau begitu silahkan dilanjut kerjanya, ya. Saya mau melihat yang lain dulu,” kata bosnya pamit pada Asya.

Asya hanya mengangguk dan sedikit tersenyum kikuk. Lalu melanjutkan pekerjaannya lagi.

Sementara di tempat lain, Mandala beserta Vania sedang berunding akan makan siang di mana di dalam mobilnya yang mewah.

“Sayang, hari ini kamu mau makan apa? Steak? Spaghetti? Atau bubur ayam?” tanya Vania genit pada Mandala.

Vania yang kesal karena Mandala tidak merespon pun memukul pundak Mandala.

“Ih, Sayang, kok aku di diemin, sih? Kamu ngga peka banget deh!!” seru Vania sambil pura-pura memonyongkan bibirnya.

Mandala yang melihat tingkah lucu tunangannya hanya bergumam kecil lalu membujuknya agar tidak terjadi pertengkaran hebat. Bukan Mandala tidak suka terjadi percekcokan kecil tapi memang dia malas jika itu terjadi antara dirinya dan Vania. Entah kenapa.

"Kamu mau makan apa memangnya?" Sela Mandala.

“Lho, kan aku barusan nanya, Sayang, kamu mau makan apa. Kok nanya balik sih?" Vania kesal bukan main.

"Ya udah deh, bubur ayam itu juga bergizi lagi.” sambut Mandala.

“Nggak mau. Aku ngga biasa makan di pinggir jalan,” sahut Vania galak. Iya, dia memang sedari kecil sudah dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Bahkan untuk makan pun harus di tempat-tempat mahal atau sekelas restoran bintang lima.

“Ya udah. Jangan ngambek, dong. Nanti cantiknya luntur, hehe.” jarang-jarang lho Mandala menggodanya..biasa pria itu hanya diam. Sama seperti barusan. Tidak merespon jika ditanya makan dimana. Justru nanya balik.

“Ih, apasih?! Ngga lucu deh! Oh, iya, di dekat sini ada restoran yang enak loh. Kita ke sana aja ya, Sayang, please,” bujuk Vania pada Mandala.

Memang dasar si Mandala yang terlalu menuruti, dia akhirnya menyetujui ajakan tunangan sekaligus belahan jiwanya ini. Memang Mandala tidak pernah tidak memberikan apa yang Vania mau. Itu yang disuka oleh Vania. Mandala dingin, terlebih cuek. Tapi, dia selalu menyetujui keinginan Vania.

Tidak lama, mereka akhirnya pun menuju tempat yang dimaksud Vania.

...

Tidak seperti restoran kebanyakan, restoran ini mengambil nuansa alam dengan banyak pepohonan hijau sebagai hiasannya. Kanopi yang digunakan untuk melindungi pelanggan dari sengatan sinar matahari pun terbuat dari daun rumbia. Di beberapa bagian ada yang menggunakan tanaman rambat. Jendela serta dinding-dindingnya terbuat dari bambu yang dianyam sedemikian rupa hingga tampak elok dan serasi satu sama lain. Di sinilah tempat yang dipilih Vania untuk makan siangnya bersama Mandala. Sekaligus tempat di mana Asya bekerja paruh waktu.

Seperti biasa, pelanggan langsung disambut ramah oleh penjemput tamu tepat setelah memasuki pintu kemudian ditanya mau duduk di mana. Vania memilih duduk di tepi air terjun buatan dan Mandala pun setuju-setuju saja.

Vania melambaikan tangan memanggil salah seorang pramusaji dan mulai memesan makanan.

“Mbak, aku mau chicken steak satu dan mango jus satu, ya. Oh iya, untuk saladnya ngga pake jagung bisa?”

Pramusaji itu menjawab dengan penuh keramahan. “Iya, bisa, Kak.”

“Oke, good. Kamu mau pesen apa, Sayang?” tanya Vania manja pada Mandala.

“Hemm, aku chicken katsu plus nasi putih satu, dumpling udang satu, sama minumnya orange jus satu.” Mandala menutup buku menu dan mengembalikannya kepada sang pramusaji.

“Oke, Kak. Apakah ada tambahan lain?”

“Cukup, cukup,” jawab keduanya hampir berbarengan.

Sang pramusaji izin berlalu untuk mempersiapkan pesanan. Sementara Mandala, sambil menunggu pesanan datang, dia mengerjakan satu dua hal di laptopnya.

Tidak lama, Asya, yang juga bekerja di situ mengantarkan pesanan meja nomor tujuh—meja Vania dan Mandala—tanpa sepengetahuannya bahwa kakaknyalah yang memesan pesanan tersebut.

“Silahkan pesanannya, Kak,” kata Asya pada pelanggan yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.

Asya terkejut ketika mengetahui hal itu. Vania juga sama terkejutnya. Tetapi ada yang membuat Asya jauh lebih terkejut lagi ketika melihat seseorang yang sedang bersama kakaknya. Iya, tidak salah lagi, itu adalah laki-laki yang meniduri Asya satu tahun lalu. Asya dapat mengenali dari perawakannya serta garis wajahnya meski saat itu ruangan dalam keadaan remang-remang.

Laki-laki di hadapan Asya tak kalah terkejutnya sama seperti dirinya. Pada saat yang tidak tepat, dia bertemu dengan seseorang yang tidak sengaja dia tiduri. Mandala tampak sedikit gusar dan tidak nyaman, tetapi dia masih bisa mengendalikannya.

Tetapi Asya berbeda lagi. Tangan dan tubuhnya bergetar hebat karena teringat akan traumanya yang membuat dia hampir masuk rumah sakit jiwa. Dia tidak sengaja menumpahkan minuman pesanan mereka dan membasahi sebagian laptop Mandala.

Mandala yang terkejut, reflek menyambar laptopnya dan memarahi Asya.

“Heh! Kalo kerja yang bener, dong! Masa begini doang sampe tumpah si?! Lihat nih, laptop saya jadi basah. Kamu mau ganti rugi?!” teriak Mandala yang membuat mereka jadi bahan tontonan orang-orang sekitar.

“Ma-maaf, Kak. Sa-saya tidak, tidak sengaja,” kata Asya terbata-bata sambil menahan air matanya. Satu, karena dia dimarahi di depan umum. Dua, karena dia teringat akan masa lalunya yang buruk.

Vania yang melihat laptop tunangannya basah karena ulah adiknya pun ikut geram.

“Kamu tuh ya, nggak di rumah, nggak di sini, selalu buat ulah. Pembawa sial, tahu nggak?!” hardik Vania pada Asya.

Asya sudah tidak kuat membendung kesedihannya. Air matanya pun tumpah ruah membasahi kedua pipinya.

“Eh, sebentar, sebentar,” ujar Mandala, “kamu kenal sama orang ini?” Dia bertanya sambil mengelap-elap laptop kesayangannya menggunakan tissue.

“Kenal. Ini adikku,” jawab Vania singkat tanpa melirik ke arah Asya.

Mendengar fakta itu, sebetulnya Mandala tambah-tambah terkejut. Bagaimana bisa dia meniduri adik dari tunangannya. Tapi bukan Mandala jika tidak bisa bermain sandiwara.

“Oohh, jadi ini adik kamu. Lain kali bilangin, kalo kerja tuh yang becus. Masa laptop orang dia siram-siram,” kata Mandala sinis.

“Iya, Sayang. Nanti kalau udah sampai rumah, aku bakal marahin dia,” tambah Vania.

Asya yang merasa semakin dipermalukan, memutuskan untuk meninggalkan mereka dan berlari ke kamar mandi sambil terisak-isak. Di dalam kamar mandi dia menangis sesenggukan. Bertanya apa salahnya dan mengapa semua ini terjadi padanya. Rentetan peristiwa di masa lalu membuatnya takut juga tidak bisa berpikir dengan jernih. Otaknya terasa seperti benang kusut. Semakin dipikirkan semakin membuatnya mual.

“Orang itu,” gumamnya sambil mengepalkan tangan.

Tidak lama, kesadarannya mulai berkurang dan, bruk! Dia tidak bisa mengingat apa-apa lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!