Jam menunjukkan pukul 16:00 ketika Liam berada di depan gerbang sekolah SMA 7. Lelaki itu berulang kali melirik jam yang melingkar pada pergelangan tangan. Kakinya berulang kali naik turun untuk meredam kekhawatiran serta rasa gugup yang dia alami.
Jantung Liam berdetak begitu kencang setiap teringat bagaimana Liona menatap dirinya dengan sepasang bola mata bulat indah itu. Liam berulang kali menyugar rambut seraya menatap pantulan diri dari dalam kaca spion.
"Kamu tampan! Sudah tampan!" Liam tersenyum lebar kemudian menunjuk bayangannya sendiri pada kaca spion.
Tak lama berselang, Liona keluar dari sekolahan. Gadis itu tampak celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. Liam pun segera menekan klakson motor untuk memberitahu bahwa dia sudah ada di tempat itu.
Benar saja, Liona langsung mengalihkan pandangan. Dia menatap datar Liam dan melangkah ke arah lelaki tersebut. Setelah sampai di samping Liam, Liona menengadahkan tangan.
"Mana kuncinya? Aku harus pulang sekarang!" ketus Liona.
"No! Kamu, aku yang antar! Cepat naik!" Liam menggerakkan kepala ke samping, sebagai isyarat agar Liona segera naik ke motor.
Liona berdecap kesal. Gadis itu mengentakkan kaki kirinya ke atas jalan seraya melipat lengan di depan dada dan mengerucutkan bibir. Liam terkekeh karena merasa sudah berhasil menjahili Liona.
Meski kesal, Liona tidak memiliki pilihan lain. Dia langsung naik ke atas motor. Namun, kali ini berbeda. Liam tidak lagi memintanya untuk berpegangan.
Setelah memastikan Liona naik ke atas motor, dia langsung memutar tuas gas. Sepanjang perjalanan tidak ada perbincangan di antara mereka. Keduanya tenggelam dalam prasangka dan pikiran masing-masing.
"Gang depan masuk! Rumah nomor tiga menghadap ke selatan!" Liona memberi aba-aba kepada Liam.
Liam pun dengan patuh mengikuti petunjuk dari Liona. Dia masuk ke halaman rumah sederhana, tempat tinggal Liona. Liam sempat tertegun karena melihat kondisi rumah Liona yang sangat sederhana.
Rumah itu memang sudah terbuat dari dinding semen dan batu bata , tetapi cat berwarna merah muda yang melapisinya sudah mulai pudar. Lantainya belum keramik, melainkan terbuat dari semen yang dilapisi dengan spanduk bekas kampanye Walikota.
Liam meringis menahan tawa ketika melihat wajah sang ayah diinjak-injak. Ya, spanduk yang dipakai adalah spanduk kampanye sang ayah tahun lalu. Jika sampai sang ayah tahu, maka keluarga ini bisa habis oleh kesombongan Roby.
"Pergi sana!" ketus Liona.
"Ah, itu ...." Liam yang masih berdiri di ambang pintu menunjuk wajah ayahnya yang sudah pudar dan tertutup oleh sedikit debu.
Liona mengikuti arah telunjuk Liam. Perempuan itu pun menelan ludah kasar. Dia kembali menutup pintu rumah dan menatap Liam gugup.
"Su-sudah, sana pergi!" usir Liona.
"Oke, aku pergi sekarang. Sampai jumpa lagi!" Liam tersenyum lebar sambil melambaikan tangan.
Lelaki itu pun balik kanan kemudian pergi meninggalkan rumah Liona. Liam berhenti sebentar di depan rumah Liona seraya memainkan ponselnya. Tak lama kemudian, suara knalpot motor yang sangat bising terdengar dari ujung jalan.
Liam tersenyum lebar. Dia segera berlari ke arah Toni yang sedang mengendarai Hiro, motornya. Liam menepuk tangki bensin motor balap tersebut, lalu menciumnya seakan sedang mencium seorang kekasih.
"Thanks, Ton. Udah mau bantu jemput Hiro di kantor polisi!" Liam tersenyum lebar ke arah sang sahabat.
"Nggak masalah, Liam!"
Mereka pun pergi meninggalkan kediaman Liona. Tanpa sepengetahuan Liam dan Toni, ternyata Liona diam-diam memerhatikan keduanya dari balik tirai jendela. Perempuan itu sebenarnya penasaran terhadap Liam.
Lelaki yang tiba-tiba menyapanya di kantor polisi tanpa permisi itu membuat rasa ingin tahunya muncul ke permukaan. Bagaimana bisa Liam berada di kantor polisi se-pagi itu? Apa dia membuat sebuah kesalahan, atau ingin melaporkan sesuatu kejahatan yang menimpanya?
"Tunggu! Sejak kapan aku peduli kepada orang lain?" Liona menggeleng kemudian berjalan meninggalkan jendela tempat dia mengintip Liam dan Toni.
Sesampainya di rumah, Liam kembali dipanggil oleh sang ayah. Roby menatapnya nyalang seraya menyodorkan beberapa berkas untuk pindah ke sekolah yang baru. Liam awalnya membuang muka.
Akan tetapi, perhatiannya kini tertuju pada sebuah amplop dengan tulisan penerimaan suratnya merupakan kepala sekolah SMA 7. Liam terbelalak dan langsung menyambar amplop yang tergeletak di atas meja sang ayah.
"SMA 7? Aku akan pindah ke sini?" tanya Liam dengan mata terbelalak ke arah sang ayah.
"Iya," jawab Roby singkat.
Liam pun akhirnya mengepalkan jemari dan menarik siku ke arah perut. Dia bersorak dalam hati. Lelaki tampan itu tak percaya kalau akhirnya dia bisa semakin dekat dengan Liona.
Mulai besok, Liam akan satu sekolah dengan gadis yang mampu mengobrak-abrik hatinya pada pandangan pertama itu. Berbagai trik sudah menari di kepala lelaki berwajah oriental itu untuk mengambil hati Liona.
Keesokan harinya, Liam sudah siap dalam seragam putih abu-abu sepeti biasa. Lelaki muda itu menuruni anak tangga dengan senyum merekah. Rara yang menyaksikan keajaiban dunia itu melongo seketika.
"Pagi, Mama!" sapa Liam kemudian menarik kursi dan mendaratkan bokong ke atasnya.
"Tumben kamu semangat masuk sekolah, Iam?" tanya sang Ibu seraya mengisi piring Liam dengan nasi goreng seafood.
"Woh, harus semangat dong, Ma! Sebagai generasi muda yang baik, kita harus rajin menuntut ilmu demi masa depan yang lebih cerah!" seru Liam seraya mengangkat dagu jemawa.
"Ah, tumben pikiranmu bener, Iam? Kepalamu baik-baik saja, 'kan?"
"Ih, Mama! Giliran anaknya rajin sekolah malah begitu! Udah, ah! Liam mau cepat-cepat selesaikan makan, terus berangkat sekolah!"
Liam pun bergegas menghabiskan sarapan, kemudian melangkah ke garasi. Lelaki tampan itu memanasi motor, memakai helm, kemudian melajukan kuda besinya menyusuri jalanan Kota Solo yang mulai padat.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Liam bersenandung gembira. Dia sesekali melirik jam yang melingkar di tangan untuk memastikan waktunya masih panjang sampai ke sekolah.
Di sisi lain, Liona juga sedang memacu motor bebeknya melaju lebih cepat. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan membuatnya tidak mampu menyervis motor tiap bulan. Alhasil, motor tersebut sering macet dan lajunya tersendat.
"Aduh, Pinkan! Kamu kenapa lagi, sih!" gerutu Liona ketika merasakan mesin motornya mulai tak lancar.
Liona akhirnya menepikan motor. Dia yang sama sekali tidak mengerti masalah permesinan hanya bisa pasrah seraya menatap motor itu. Liona mengeluarkan ponsel jadulnya dari dalam saku dan mulai menghubungi sang ayah.
"Bapak, motor Liona macet lagi." Liona langsung menceritakan kondisinya sekarang kepada sang ayah.
"Ya, sudah. Kamu tunggu di sana. Bapak susul, ya?"
"Agak cepat ya, Pak? Liona takut terlambat."
Sambungan telepon pun berakhir. Liona mengembuskan napas kasar. Perempuan itu akhirnya hanya bisa duduk lesu di atas trotoar sambil memerhatikan lalu lalang kendaraan bermotor.
Namun, lamunan gadis cantik terpecah ketika motornya mendadak ambruk. Liona langsung beranjak dari tempat dia duduk dan berusaha mengangkat motor miliknya. Akan tetapi, seseorang menahan bodi motornya agar tetap tergeletak di atas aspal.
"Hei, anak tukang becak! Kenapa nggak minta bapakmu aja buat antar ke sekolah?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Waahh pindah ke sekolah Liona..kenapa bukan ke sekolah lain,Aku pengen baca novel yg pasangan beda skolah,pasti seru..Udah biasa banget baca yg satu skolah..
2024-02-15
0