Liona mendongak, menoleh ke arah sumber suara. Ternyata orang yang membuat motornya ambruk adalah Evelyn. Putri salah satu pengusaha toko elektronik terkenal di Eks Karisedanan Surakarta.
"Kenapa? Nggak suka?" Evelyn melipat lengan di depan dada seraya menatap sinis Liona yang hanya bisa tertunduk lesu.
"Lyn, kenapa sih kamu selalu mengganggu aku?" Suara Liona lirih hampir tidak terdengar.
"Salahmu? Apa salahmu?" Evelyn melangkah perlahan mendekati Liona yang mulai berkaca-kaca.
"Kamu ada di sekitarku adalah sebuah masalah besar!" Evelyn mendorong dada Liona dengan ujung jari.
Mau tidak mau, Liona terus mundur karena ulah Evelyn. Dia terus menunduk, tak berani menatap mata gadis di hadapannya itu. Sebuah senyum seringai pun terbit di bibir tipis Evelyn.
"Enyahlah dari hadapanku!" teriak Evelyn penuh emosi sembari mendorong tubuh Liona sekuat tenaga.
Tak elak Liona pun kehilangan keseimbangan. Gadis itu terbelalak seketika. Dia hanya bisa pasrah, menunggu tubuh kurusnya beradu dengan kerasnya jalanan beraspal.
Liona memejamkan mata seraya berdoa agar rasa sakit yang dia alami tidak terlalu berat. Di detik terakhir sebelum pantatnya menyentuh aspal, gerakan Liona berhenti. Dia merasa ada seseorang yang kini menopang tubuhnya.
Liona perlahan membuka mata dan mendapati empat orang gadis jahat di depannya melongo. Evelyn, Vivian, Inez, dan Lidya pun kalang kabut. Mereka lari terbirit-birit masuk ke mobil Evelyn.
"Bisa segera berdiri, tidak? Kurus-kurus gini kamu juga berat, loh!"
Mendengar suara lawan jenis menyapa telinga, sontak membuat Liona menoleh ke arah sumber suara. Ternyata orang yang menopang tubuhnya sejak tadi adalah Liam. Lelaki itu tengah tersenyum lebar hingga matanya hanya membentuk garis lurus.
Liona langsung berdiri tegak seketika. Dia merapikan kemeja putih yang keluar dari rok dan mulai menyisir rambut menggunakan jemari lentiknya. Liam terus menatap sendu gadis tersebut seraya tersenyum tipis.
"Mau kuantar? Sepertinya motormu sedang tidak baik-baik saja." Liam menatap motor Liona yang kini tidak hanya mogok, tetapi tampak kacau karena spionnya copot dan terdapat goresan pada bodi kendaraan tersebut.
"Nggak usah, bapak sebentar lagi ke sini." Suara Liona terdengar lesu, tidak ketus seperti biasa.
Liam menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Dia melirik sang pujaan hati yang terus menunduk karena merasa malu dan sedih di waktu bersamaan. Hati Liam terasa begitu sakit melihat Liona yang tampak murung dan sedih.
"Kenapa kamu tidak melawan mereka? Kamu tahu? Semakin kamu terlihat lemah di depan para perundung, mereka akan semakin merasa kuat dan menang." Liam memiringkan kepala ketika menatap Liona.
"Seharusnya kamu melawan mereka semua. Menatap nyalang keempat gadis jahat itu, dan meminta ganti rugi atas apa yang telah mereka perbuat kepadamu!"
"Kamu nggak ngerti kondisinya!" teriak Liona dengan mata yang tampak merah.
Liam terbelalak ketika wanita di hadapannya itu terlihat sangat emosional. Mata Liona mulai berkaca-kaca dengan dada kembang kempis. Jemarinya mulai mengepal di samping badan karena menahan gejolak amarah.
"Kamu nggak akan tahu bagaimana rasanya ada di posisiku. Aku tidak bisa melawan mereka meski sebenarnya mau! Jika bisa memilih, aku tidak ingin ada di posisi ini!" teriak Liona dengan suara bergetar.
"Liona ...."
"Kamu siapa?" Seorang lelaki paruh baya menatap Liam curiga.
Liam pun menoleh ke arah lelaki yang masih memegang setang becak dengan handuk kecil tersampir di leher. Liona berdiri kemudian mengusap air mata. Gadis cantik itu pun mulai melangkah mendekati sang ayah dan berusaha memaksakan senyum.
"Pak, bisa antar Liona ke sekolah?"
"Hla motormu piye, Nduk?"
"Ah, begini saja. Gimana kalau saya antar Liona ke sekolah. Kebetulan saya punya teman pemilik bengkel. Bapak di sini saja nunggu dia datang. Lebih efisien, 'kan?"
Parto tampak berpikir seraya mengusap dagu. Tak lama kemudian lelaki tersebut mengangguk tanda setuju. Liam pun bersorak dalam hati.
Lelaki itu langsung merogoh ponsel yang ada di dalam saku dan mulai menghubungi Tito. Dia memberitahu salah satu anggota Geng Macan Tutul itu untuk membawa motor Liona ke bengkelnya. Setelah selesai berbicara dengan Tito, Liam pun mematikan sambungan telepon.
"Sudah, Pak. Orang yang ke sini namanya Tito. Dia ...." Liam langsung menyebutkan ciri fisik sang sahabat, agar Parto tidak ditipu orang.
"Baiklah, Gus. Makasih!" Parto tersenyum kemudian menepuk lengan atas Liam.
"Ah, anu ... nama saya Liam, Pak."
"Baiklah ... makasih, Liam. Titip Liona, ya? Jangan ngebut-ngebut."
"Kami berangkat sekolah dulu, Pak," pamit Liam.
Liam mengangguk seraya tersenyum lebar. Lelaki itu pun akhirnya naik ke atas kuda besinya dan Liona duduk di jok belakang. Setelah memastikan Liona duduk dengan benar, Liam langsung memutar tuas gas dan melajukan motor membelah jalanan Kota Solo.
Setelah sampai di depan gerbang sekolah, Liona bersiap untuk turun. Namun, dia terbelalak karena Liam tidak menghentikan laju motornya. Lelaki itu justru terus masuk ke tempat parkir khusus siswa.
Setelah memarkirkan motor, Liona tampak bengong. Liam mengambil alih helm yang ada di genggaman Liona kemudian meletakkannya pada gagang kaca spion. Setelah itu, Liam langsung melenggang begitu saja menuju kantor kepala sekolah tanpa sepatah kata pun.
"Kok dia masuk ke sini?" gumam Liona seraya berjalan pelan di belakang Liam.
Gadis itu menahan rasa penasaran dan memilih untuk segera masuk ke kelas. Liona merupakan siswi teladan di SMA 7. Dia adalah wakil ketua OSIS dan merupakan siswi yang masuk melalui jalur prestasi.
Ketika hendak mengeluarkan buku pelajaran, tiba-tiba Evelyn menghampiri Liona lagi. Gadis itu menyapu meja Liona menggunakan tangan, sehingga buku serta alat tulisnya berhamburan di atas lantai.
Liona menatap datar Evelyn yang kini menyipitkan mata dengan bibir terkatup rapat. Gadis itu juga melipat lengan di depan dada. Liona beranjak dari kursi, hendak mengambil buku-buku yang berserakan di atas lantai. Namun, ketika Liona hendak memunguti buku tersebut Evelyn menginjak punggung tangannya.
"Sakit, Lyn. Tolong angkat kakimu dari tanganku!" Liona memelas berharap Evelyn mendengar permintaannya.
Namun, buka Evelyn namanya jika menuruti apa yang Liona mau. Dia malah menyeringai dan semakin menekan jemari Liona. Gadis itu terlihat begitu senang melihat Liona yang sedang kesakitan.
Tidak ada siswa lain yang mau menolong Liona. Mereka hanya menatap dua orang berbeda status sosial itu dengan tatapan prihatin. Terlebih orang tua Evelyn merupakan anggota komite sekolah yang mewakili kelas itu.
Sejak dulu, tidak ada yang berani melawan Liona karena takut. Mereka tidak ingin mendapat masalah karena bersinggungan dengan gadis berwajah bule itu. Setiap apa yang dilakukan oleh Evelyn mereka anggap sebuah hal yang wajar.
"Lyn, Bu Siska datang!" seru Vivian.
Akhirnya mau tidak mau Evelyn mengangkat kakinya dari tangan Liona. Liona pun akhirnya membereskan buku dan kembali ke mejanya. Begitu Siska masuk ke ruang kelas, Liona terbelalak karena di belakang sang wali kelas ada seseorang yang akan membuat harinya semakin tidak nyaman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Evelyn itu belum ketemu buku ama ruas,Makanya jadi pembully kek gitu,Noh pawang Liona udah datang,Pasti Liona tambah masalah Liona lg kalo tau Liam suka sama Liona, Sementara Evelyn suka Liam..
2024-02-15
0