"Ya?" Liona melongo seketika saat melihat tingkah Liam yang menurutnya aneh.
"Ayo, sini! Kamu takut terlambat, bukan? Aku ini calon pembalap internasional. Jadi, kamu bisa sampai di SMA 7 tepat waktu kalau aku yang mengendarai motor ini!" Liam tersenyum lebar seraya kembali menepuk jok belakang motor bebek Liona.
Liona mulai melangkah maju. Sebelum gadis itu naik ke atas motor, Liam memintanya untuk mengambilkan helm yang ada di atas motor balap lelaki tersebut. Liam pun segera melindungi kepalanya menggunakan helm dengan desain sporty itu.
"Siap? Pegangan yang kuat!" seru Liam.
Liona tentu saja mengabaikan ucapan Liam. Dia enggan melingkarkan lengan pada pinggang pria yang baru dia temui tersebut. Tanpa memberi aba-aba lagi, Liam langsung memutar tuas gas motor matic itu.
Tubuh Liona hampir saja terjatuh dari atas motor kalau saja dia tidak segera menggenggam jaket yang dikenakan Liam. Tubuh Liona menegang karena takut dengan cara Liam mengendarai motornya. Namun, Liona tidak berani melayangkan protes.
Gadis itu hanya bisa diam menunduk, seraya mengucapkan doa dan menyebut nama Tuhan berulang kali. Motor matic itu melaju dengan kecepatan 100 kilometer per jam. Tubuh mungil Liona ikut meliuk seiring dengan laju motor yang dikendarai oleh Liam.
"Sampai!" seru Liam ketika sudah sampai di deoan gerbang SMA 7.
Liona perlahan membuka mata. Perutnya mulai bergejolak sekarang. Baru kali ini gadis itu merasakan mabuk darat karena naik motor.
Liona perlahan turun dari motornya, kemudian setengah berlari melangkah masuk ke gerbang sekolah yang hampir tertutup sepenuhnya. Liam tersenyum tipis ketika mengamati punggung si pencuri hatinya itu.
Setelah memastikan Liona bisa masuk ke lingkungan sekolah tanpa terlambat, Liam kembali melajukan motor matic milik Liona. Senyum memesonanya kini sirna karena teringat nasib yang akan menimpa ketika bertemu dengan sang ayah.
"Sialan! Sepertinya ada yang melaporkan kami semalam! Punggungku, aku tahu kamu kuat! Semoga kali ini papa mengurangi kekuatannya saat mendaratkan cemeti amarasuli itu pada permukaan punggungku!"
Setelah melajukan motor Liona selama lima belas menit, akhirnya Liam sampai di rumah. Rumah besar itu tampak lengang. Pilar-pilar besar yang menopang bangunan itu tampak kokoh, mencerminkan kedigdayaan dari sang pemilik rumah.
Liam menelan ludah kasar. Dia melirik jam yang melingkar pada pergelangan tangan. Ini merupakan jam sarapan keluarganya. Keringat pun mengucur di balik pakaian yang membalut tubuh Liam.
"Yok, kamu kuat! Kamu lelaki bertanggungjawab! Sakitnya nggak seberapa! Dengan begini, papa akan lebih memperhatikanmu!" seru Liam seraya menelan ludah berulang kali.
Liam pun mulai melangkah masuk. Dia berusaha mengabaikan kedua orang tuanya serta sang kakak yang sedang sibuk menikmati sarapan. Liam bersikap seolah tidak terjadi apa-apa kemarin malam, meski jantungnya hampir rontok karena menahan ketakutan yang luar biasa.
Ketika hendak menginjakkan kaki ke anak tangga pertama menuju lantai atas, Roby menyerukan namanya. Liam memejamkan mata sekilas kemudian balik badan. Dia memasang wajah super dingin untuk menutupi rasa gugup dan ketakutan kepada sang ayah.
"Kemarilah!" titah Roby.
Liam pun berjalan santai ke arah meja makan dengan tatapan datar ke arah sang ayah. Ibu dan sang kakak tampak saling melemparkan tatapan. Liam berdiri tegak si samping meja makan seraya menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut sang ayah.
"Duduk!"
"Ya?"
Liam tertegun. Bayangan yang ada di otaknya adalah Roby akan mengucapkan makian serta sumpah serapah karena lagi-lagi dia membuat ulah. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi.
Liam pun segera menarik kursi dan sang ibu mulai mengambilkan nasi untuk putra keduanya itu. Setelah itu Rara menuangkan sayur sop serta ayam goreng ke dalam piring Liam. Pemuda itu pun tersenyum lebar. Dia tak menyangka hari ini mendapatkan perlakuan baik dari sang ayah.
"Makanlah! Setelah ini kita bicarakan hal penting di ruang kerja Papa!"
"Baik, Pa," sahut Liam dengan suara setenang mungkin.
Usai menyelesaikan sarapan, Liam dan Roby berjalan menuju sebuah ruangan yang ada di lantai atas. Keduanya masuk ke dalam ruangan bernuansa coklat tua itu. Roby duduk di kursi kerja, sedangkan Liam mendaratkan bokong di sofa yang ada di ruangan tersebut.
"Teman satu gengmu itu pengaruh buruk!" seru Roby tanpa basa-basi.
Liam mengerutkan dahi kemudian menatap heran sang ayah. Roby menautkan jemari dan mencondongkan tubuh ke depan. Dia ingin fokus menatap sang putra yang kini masih tampak kebingungan.
"Putuskan pergaulan dengan mereka, jadilah murid yang baik, belajar sungguh-sungguh, kemudian menjadilah seperti kakakmu!"
Mendengar semua kalimat yang keluar dari bibir sang ayah sontak membuat darah Liam seakan mendidih. Dia menggigit bibir bagian dalam seraya mengepalkan tangan. Rasa asin karena darah yang keluar dari luka gigitan kini dia rasakan.
"Aku akan memindahkanmu ke sekolah lain! Setelah ini jangan buat masalah lagi! Mengerti?"
Liam beranjak dari sofa. Dia menatap nyalang sang ayah dengan rahang mengeras. Liam benar-benar tidak habis pikir dengan sang ayah yang terus saja membandingkan dirinya dengan sang kakak.
Bukankah setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing? Kenapa Liam harus menjadi seperti kakaknya? Kenapa dia tidak boleh menjadi diri sendiri?
"Nggak! Aku nggak mau berhenti main sama mereka! Cuma mereka yang bisa mengerti aku, Pa! Mereka adalah teman yang baik! Aku mendapatkan semua perhatian yang tidak aku dapatkan di rumah ini dari mereka!" teriak Liam dengan dada kembang kempis penuh amarah.
Mendengar bantahan dari sang putra, tentu saja membuat emosi Roby memuncak. Dia membuka laci meja, dan mengeluarkan cambuk yang biasa dia gunakan untuk memecut Liam. Liam tersenyum miring.
Senjata utama sang ayah keluar sekarang. Dia tidak mau kalah sekarang. Selama ayahnya terus menuntut Liam menjadi lelaki seperti Lucas, maka dia akan semakin berontak.
"Cambuk aku! Sampai mati pun, aku tidak akan keluar dari Geng Motor itu!" Liam melepas jaket serta kaos kemudian mendekati sang ayah.
Liam langsung bersimpuh. Dia menyiapkan nyali untuk menerima sabetan cambuk dari sang ayah. Tidak ada lagi rasa takut sekarang.
Di sisi lain, Roby semakin kalap. Dia beranjak dari kursi kerja dan langsung menghampiri Liam. Lelaki tersebut menyipitkan mata dengan rahang mengeras sempurna.
"Kamu semakin berani kepada Papa? Apa kamu lupa dari mana asalmu? Kalau nggak ada Papa kamu juga nggak akan pernah lahir di dunia ini!"
"Aku tidak pernah meminta Tuhan untuk dilahirkan di keluarga ini! Jika bisa memilih, aku akan memilih lahir di keluarga biasa yang mendidik anak-anaknya dengan cinta!"
"Liam!" teriak Roby.
Sebuah sabetan kini mendarat mulus di atas punggung Liam. Tubuh lelaki itu meliuk sekilas karena menahan sakit. Liam meringis.
Setiap ayahnya mengucapkan satu kalimat, maka Liam akan membalasnya dengan dua kalimat lain. Emosi Roby pun semakin memuncak. Dia terus mengayunkan cambuk hingga sang putra lemas.
Setelah puas memberi hukuman kepada Liam, Roby pun melempar cambuknya. Dia membuang napas kasar, menyugar rambut, kemudian membetulkan kembali letak dasinya. Lelaki itu pun keluar tanpa mengatakan sepatah kata pun kepada Liam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments