Aira tidak bisa lagi melanjutkan tidurnya selepas ibadah subuh. Rumah di tepi jalan raya membuatnya sedikit tidak nyaman. Karena sepagi itu kendaraan sudah banyak yang melintas.
"Bagaimana ayah dan ibu bisa tidur senyenyak ini."
Aira membuka tirai kamar orang tuanya. Keduanya tidur di kasur lantai yang usang. Katanya, kasur di rumah adalah pemberian orang-orang yang berhati baik. Setidaknya mereka tidak merasakan sakit punggung karena harus tidur di lantai. Dan tidak merasakan hawa yang terlalu dingin, lantaran mereka melapisi bagian dalam bilik bambunya dengan koran dan kalender bekas. Sehingga bisa menghalangi udara dingin yang masuk melalu celah-celah.
"Terimakasih orang baik. Karena kebaikan kalian, orang tuaku bisa tidur dengan nyaman."
Karena tidak ingin membuat orang tuanya terusik, Aira pun kembali ke kamarnya tanpa membuat suara sedikitpun.
Beberapa saat kemudian...
"Ibu mau ke pasar. Mau ikut?" tanya ibu.
"Mau, bu!"
Sudah tentu Aira akan ikut bersama ibunya. Karena dia sangat tertarik dengan tempat barunya.
Aira sangat takjub saat tiba di pasar tradisional itu. Kereta kuda berjajar rapi menunggu penumpangnya. Suara pedagang yang menawarkan barangnya sangat unik. Meski terdengar asing di telinga Aira, karena mereka menggunakan bahasa daerah. Belum lagi ibu-ibu yang membawa barang belanjaan di atas kepala dengan begitu mudahnya. Aira yang sekedar melihat, bisa merasakan betapa nyeri lehernya saat itu.
"Kuat sekali mereka..."
......................
Sore hari, setelah ayahnya pergi jualan. Aira diajak ibunya pergi menikmati suasana sore di sekitarnya.
"Mau tahu jajan di sini kan? Ayo ikut ibu ke bawah. Pinggir sungai sana, banyak sekali orang jualan. Kamu pasti suka."
Untuk menuju ke sana, mereka harus melewati gang-gang kecil. Dan rumah-rumah yang begitu rapat.
"Aduh..., banyak sekali orang di sini...?"
Aira mulai tidak nyaman, karena banyak orang yang memperhatikannya. Sebenarnya itu bukan hal yang aneh, karena Aira adalah pendatang baru di lingkungan mereka. Jadi wajar jika sebagian dari mereka masih penasaran. Terlebih selama ini orang tua Aira hanya tinggal berdua di rumah itu.
"Bude..., mau kemana?" tanya seorang pemuda pada ibu Aira.
"Ini mau ajak anak bude jalan-jalan ke bawah." kata ibu Aira.
"Oh, ini anak bude?" tanya pemuda itu lagi.
"Iya. Aira, ini Aditya. Anak pemilik rumah yang kita tempati."
"Hai, Aira." sapa pemuda yang dipanggil Adit itu.
"Hai..." balas Aira.
"Ya sudah, kita ke bawah dulu ya." pamit ibu Aira.
"Iya, hati-hati bude..."
"Kira-kira apa yang mereka bicarakan ya? Ngomongin aku kayaknya..."
Begitu pikir Aira setelah sedikit jauh. Pasalnya, Aditya dan teman-temannya seperti sedang bergosip tentang dirinya.
"Eh, bude... Ayo mampir sini. Masih hangat ini...!!!" seru seorang ibu pedagang jajanan.
Aira membeli beberapa yang membuatnya tertarik. Sambil ngobrol dengan beberapa teman ibunya.
Tanpa dia sadari, sedari tadi ada yang terus memperhatikannya.
"Cantik..., imut sekali..."
......................
Sejak kepergian Aira ke tepian sungai sore itu, Aira mendadak jadi pusat perhatian. Tapi juga mendatangkan teman baru untuknya.
"Main-main ke tempatku yuk!" ajak Ninik. "Boleh kan pakde, bude?" gadis berhijab itu meminta izin pada orang tua Aira.
"Pergi saja, tidak apa-apa." kata ayah.
"Jauh?" tanya Aira.
"Ya Allah..., di sebelah ini. Ayo makanya!"
Aira pun ikut ke rumah Ninik, yang hanya berjarak satu rumah dari kontrakan orang tua Aira.
Aira terkejut saat Ninik membawanya ke belakang. Ternyata kamar Ninik berada di belakang rumah utama. Berhadapan langsung dengan sungai.
"Kamu tidur di sini? Sendirian?!" Aira sangat heran dengan pola rumah di sana.
"Iya. Kenapa? Nggak ada apa-apa Aira. Paling juga biawak tiba-tiba lewat." guraunya.
"Ya ampun...!!!" Aira mengkidik ngeri. "Kalau malam kamunya gimana?" tanya Aira lagi.
"Ya nggak gimana-gimana..." jawabnya dengan santai.
Setelah mereka sholat dhuhur bergiliran, Ninik mengajak Aira beli makanan. Dan lagi, Aira bertemu dengan orang-orang yang sebelumnya dia temui waktu jajan di tepi sungai.
"Hai..., Aira..." sapa salah satu dari mereka.
Aira hanya tersenyum sambil sedikit membungkuk.
"Beli apa, Nik?" tanya mbak pedagang.
"Lontong topat dua, mbak. Aira es nggak?" Ninik menoleh ke arah Aira yang ada di sebelahnya.
"Boleh, jeruk nipis ya." kata Aira.
"Es jeruk nipis satu, es melon satu."
"Aira doyan pedas juga?" tanya Aditya.
"Nggak seberapa sih." jawabnya singkat.
"Oh, Aira. Ini kenalin teman-teman kita." Aditya memperkenalkan tiga orang yang sedang makan bersamanya.
"Rangga." seseorang mengulurkan tangannya.
"Hai." Aira membalas uluran tangan Rangga dengan sopan.
"Aku Toni." Toni pun melakukan hal yang sama.
"Hendri." begitu pula dengan si Hendri.
"Aira jangan khawatir. Kita ini orang-orang baik, kok." kata Aditya.
"Iyalah. Mereka teman mainku juga, Ra." sahut Nanik.
"Ah, iya." balas Aira.
Semakin hari Aira semakin mengenal banyak orang. Berteman dengan siapa saja tanpa terkecuali.
......................
Suatu hari ada acara lintas alam di daerah mereka. Acara rutin tahunan yang digelar oleh para remaja karang taruna di sana.
"Ikut ya, Ra. Satu kelompok sama kita." kata Ninik.
"Iya, Ra. Please...!!!" pinta Icha.
"Aku bilang ayah dulu ya." balas Aira.
"Bilang sama pakde ada Adit juga nanti. Kalau ada Adit pasti dibolehin." ujar Ninik.
Aira jadi teringat ucapan ayahnya waktu itu.
"Adit itu anaknya baik, sopan. Ayah tidak begitu khawatir kalau sama dia. Ayah dan ibu mengenalnya dengan baik."
Benar yang dikatakan Ninik. Ayah Aira mengizinkan.
"Biarkan, bu. Dia pasti senang punya banyak teman, dan betah di sini." kata ayah.
"Ibu cuma khawatir dia kecapekan, terus sakit." balas ibu.
"Pikirannya yang baik-baik saja."
"Iya, yah..." akhirnya ibu menerima keputusan ayah.
Malam itu Ninik mengajak Aira pergi mendaftar ke rumah panitia. Icha dan Sari pun ikut bersama mereka.
Ada beberapa orang yang belum Aira kenal di sana.
"Siapa nih?" seseorang menggoda Aira yang berdiri di samping Ninik.
"Temanku nih. Namanya Aira." balas Ninik.
"Anak pakde yang sewa rumah Adit itu." Icha memperjelas.
"Oh..., yang katanya baru datang kemarinan itu ya?" sahut yang lain.
"Sudah lama kali..." balas Aira dalam hati.
"Jadi mau ikutan juga? Berapa orang tim kalian?"
Ninik menyebutkan anggotanya satu persatu. Setelah itu mereka pamit untuk pulang.
"Aira...!" seru orang pertama yang menggodanya tadi.
Aira menoleh saat namanya dipanggil. Bukan apa-apa, dia hanya tidak ingin terlihat sombong atau kurang sopan. Hanya karena mengabaikan panggilan orang.
"Sampai bertemu pas acara ya..." seru orang itu dengan nada yang sangat manis.
"Ciiieeehhhh, wuuuuhh...!!!" sahut teman-temannya.
"Aira..., dia suka kamu kayaknya." bisik Sari.
"Bedakan antara suka dengan menggoda ya." balas Aira.
"Itu tadi namanya Ryan, Ra." kata Ninik.
Aira mendengarnya, tapi tidak ingin memberi respon apapun.
......................
Aditya bertemu ayah Aira sore itu sebelum ayah berangkat jualan. Waktu itu Aditya kebetulan sedang melintas di depan rumah.
"Belum berangkat pakde?" tanya Aditya.
"Sebentar lagi. Tidak mampir dulu?"
Aditya pun menghampiri ayah Aira.
"Pakde, nanti kita mau pergi belanja bekal buat acara besok pagi. Boleh Aira ikut sama kita?" tanya Aditya dengan sopan, setelah duduk di bangku kayu.
"Boleh. Pakde titip ya. Dia masih baru di sini." pesan ayah.
"Iya, pakde." balas Aditya sambil menganggukkan kepalanya.
Malam itu pun mereka pergi ke sebuah toko besar dengan berjalan kaki. Waktu itu kebetulan giliran pemadaman listrik di desa mereka.
"Kenapa pergi pas mati lampu gini sih? Harusnya tadi siang kan enak." gerutu Aira.
Aditya mempercepat langkahnya agar bisa sejajar dengan Aira.
"Takut ya??" goda Aditya.
"Bukan takut, nggak suka saja. Lagian kenapa sih pakai ada lampu mati bergilir di sini? Menyusahkan saja." cicit Aira.
Aira tipikal orang yang sulit diajak ngobrol. Tapi ketika dia merasa nyaman dengan orang di sekitarnya, dia akan menjadi orang yang cukup cerewet.
"Ya memang begitu, Ra. Penghematan sumber tenaga listrik. Ini mending ada penerangan. Dulu susah sekali penerangan di sini." terang Aditya.
"Oooh..." balas Aira. "Masih lamakah?"
"Lagi bentar sampai. Itu di depan." tunjuk Aditya.
Setelah sampai toko...
Aira melihat segala jenis perjajanan di toko itu. Dia hanya mengambil beberapa kuaci kesukaannya.
"Cuma itu, Ra?" tanya Rangga heran.
"Em." Aira mengangguk.
"Memangnya kamu hamster..." celetuk Aditya.
"Iiih...!" spontan Aira menepuk bahu Aditya.
"Hahahaaa...!" semua tertawa melihat adegan itu.
Aira duduk di bangku depan toko sambil menunggu yang lain. Aditya datang membawa minuman.
"Minum, Ra." katanya.
"Terimakasih." Aira menerimanya dengan senang hati.
"Memang yakin kamu kuat, Ra?" tanya Aditya.
"Kuatlah..." jawab Aira.
"Empat bukit lho, Ra." katanya lagi.
"Aman." balas Aira lagi.
"Kita lihat besok ya, siapa yang bakal sampai finish lebih dulu." tantang Aditya.
"Ayo saja. Nggak takut."
Aditya geleng-geleng kepala mendengar reaksi Aira.
......................
"Aditya..., dia satu-satu cowok yang dipercaya orang tuaku. Bahkan ketika izin pergi kemanapun, kalau ada Aditya, pasti langsung diizinkan. Dan memang benar, Aditya itu anaknya sangat sopan. Tapi kadang juga ngeselin sih. Tapi tidak hanya Aditya yang baik. Teman yang lain juga baik sama aku. Senang sih, akhirnya aku punya teman di sini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments