Prasetya membawa Sabrina menuju kediamannya, Sabrina hanya pasrah, mengikuti apa yang di lakukan oleh kekasihnya itu. Sesampainya di rumah Keluarga Abraham Dirja, Sabrina dengan di bimbing memasuki rumah mewah dan megah itu.
Sabrina memang pernah ke rumah itu, tapi tak pernah bertemu dengan papanya Prasetya.
Seorang laki-laki setengah baya duduk di ruang tamu, dengan seorang laki-laki muda, hampir sebaya dengan Prasetya. Tiba-tiba Sabrina menarik tangan Prasetya, seakan ia merasakan sesuatu.
"Ada apa Bri ... ini rumahku, aku ingin mempertemukan kau dengan Ayahku!"
"Aku seperti pernah tahu bau parfum ini, siapa yang memakai parfum ini?" bisik Sabrina.
"Disini, ada dua orang, lalu parfum yang mana, yang kau maksud?" jawab Prasetya ikut berbisik.
"Papa, ini adalah Sabrina, yang aku ceritakan tempo hari, Sabrina ini Papaku." Prasetya memegang tangan Sabrina dan mengarahkan ke hadapan Ayah nya, begitu pula terhadap Kakaknya, Arsen, Sabrina hanya menurut.
"Apa keyakinan mu sudah bulat menikah dengan dia, Pras?"
"Ya, Pa ... aku akan menikahinya, aku tidak rela orang lain meremehkan dan menghina dirinya, bagaimanapun aku sangat mencintainya."
"Sabrina ... aku sebenarnya sangat berat hati memberikan restu pada kalian, tapi karena Prasetya sangat mencintaimu, maka aku akan mengizinkan, mudah-mudahan kalian bahagia."
"Saya justru tidak tahu kalau Mas Prasetya akan menikahi saya."
"Oh ya?"
"Ya Pa, memang aku belum sempat memberi tahu padanya."
"Mas ... bukankah aku sudah katakan, jangan lagi kau pikirkan aku, aku hanya akan menjadi beban untukmu dan keluargamu."
"Sabrina, aku tidak perduli, yang penting sekarang kau terlindungi dari tindak kejahatan, bagiku semua masih sama, matamu memang tidak bisa melihat, tapi aku yakin kalau hatimu sangat peka."
"Mas ...."
"Ku mohon jangan katakan apa-apa lagi, hari ini aku akan mengurus semua keperluan pernikahan kita, jangan menolak."
"Mas Pras menikahi aku karena kasihan, bukan?"
"Jangan bahas itu lagi Bri ... semuanya akan berjalan baik baik saja."
Sabrina akhirnya hanya diam, hatinya seakan tak menerima bila Prasetya menikahi nya, bagaimana pun, dirinya tak pantas lagi bersanding dengan pemuda tampan itu.
Yang semakin membuat Sabrina tak bisa menolak adalah, orang tua Prasetya sama sekali tidak keberatan. Sementara itu sepasang mata milik Arsen, menatap wajah Sabrina tak berkedip.
"Bagaimana Mas Ar, punya ide?" seketika Kakak Prasetya menggeleng.
"Mari, aku antar kan kamu pulang dulu!"
"Ya Mas ...."
Di perjalanan pulang, Sabrina mencoba untuk mengingat semua kejadian di rumah tua itu, ya, Sabrina masih teringat bau parfum ketika itu.
"Mas ... apa aku boleh mengatakan sesuatu?"
"Mengatakan apa?"
"Waktu kejadian itu, aku mencium bau parfum yang wanginya kayak tadi."
"Menurutmu, pelakunya adalah diantara mereka?" Prasetya agak tersinggung.
"Aku sangat ingat Mas ...."
"Kau menuduh keluargaku yang telah menganiaya dirimu?"
"Mas ...."
"Brina ... bukannya aku tidak percaya padamu, tapi orang yang memakai wangi parfum yang sama, banyak, bukan cuma ayah atau kakakku."
"Maaf, Mas ...."
"Pelakunya sama sekali tidak meninggalkan jejak, jadi tak ada petunjuk sedikitpun."
"Sejauh mana engkau akan mempertahankan hubungan kita?"
"Bri ... mengapa selalu mengulangi pertanyaan yang sama, sudah ku bilang aku serius, aku akan tetap menjadikan mu istri, sampai nanti, sampai nyawa ini berpisah dari ragaku." Sabrina diam.
"Mengapa kau masih saja ragu dengan ketulusan hatiku?"
"Karena kondisiku yang seperti ini, makanya aku seakan tak percaya bahwa Mas, akan tetap mencintaiku."
"Kau memang wanita yang pantas di cintai Bri ... dalam kondisi apapun."
Tak terasa Sabrina dan Prasetya telah sampai ke rumah Sabrina kembali. Prasetya tidak langsung pulang. Ia menemani Sabrina, karena Lisa tidak ada di rumah.
Mereka bercengkrama dengan sangat mesra, mencoba membicarakan masa depan yang akan mereka lalui nantinya. Prasetya mampu membuat suasana hati Sabrina menjadi cair dan bahagia. Tiba-tiba Sabrina mengingat satu hal, yang selama ini tidak ada di angannya.
"Mengapa kamu diam sayang ...."
"Anu Mas ... bagaimana seandainya aku hamil?" Prasetya pun sangat terkejut dengan ucapan Sabrina.
"Apakah itu hal yang mungkin?"
"Aku sendiri tidak tahu, aku hanya berandai-andai, aku sendiri sangat takut!"
"Aku akan tetap menikahi mu, biarlah semua berjalan dengan lancar, aku akan menerima anak itu sebagai anakku."
Air mata Sabrina terurai, ia sangat bersyukur memiliki seorang kekasih yang begitu sangat mencintai dirinya.
"Kalau Mas, merasa keberatan, sudahlah, jangan memaksakan diri, aku paham!"
"Terus ... terus saja kau bicara seperti itu, sudah kubilang aku ikhlas Bri ... aku ikhlas!" tegas Prasetya.
"Justru aku tidak rela kalau ada orang yang menghinamu, aku akan tetap melindungi dirimu, jadi aku tak mau dengar apapun lagi darimu." Kata Prasetya lagi.
Seperempat jam berlalu, Lisa datang dari pasar, membantu mamanya yang sekarang membuka usaha jualan ikan segar.
Prasetya pamit dan pergi meninggalkan mereka berdua.
"Bagaimana tadi, bertemu dengan calon mertua?"
"Ya, aku merasa tidak enak, aku seakan menjadi beban untuk Mas Prasetya."
"Jangan berfikir seperti itu, Mas Prasetya tulus padamu, bersyukur lah Tuhan mengirimkan sosok malaikat tak bersayap, seperti Mas Pras."
"Iya, tapi Lis ... aku takut, apakah aku hamil?"
Lisa terkejut, merasa tidak percaya.
"Memangnya apa sudah satu bulan kejadian itu?"
"Lebih satu minggu, aku belum datang bulan!"
"Lalu, apakah pernikahan kami akan sah, kalau aku lagi hamil, apalagi anak dalam perutku bukan anaknya."
Lisa menatap wajah Sabrina penuh iba, di pegang nya tangan Sabrina, erat dan hangat.
"Kalau saja aku mampu melakukan sesuatu untuk kebaikanmu, aku pasti akan melakukan nya, tapi apa yang dapat aku lakukan, andai saja aku mencegah mu waktu itu, maka semua ini tak akan terjadi."
"Sudahlah, semua ini memang nasibku, mudah mudahan suatu saat nanti akan mendatangkan hikmah untukku."
"Kau memang sangat tabah, semoga Allah mengampuni dosa dan memberikan anak yang Sholeh, sebagai ganti penderitaan mu ini."
"Aamiin."
Lisa melepaskan genggaman tangannya, berdiri dan akan beranjak pergi ke belakang, tapi Sabrina menahan dengan ucapannya.
"Tadi saat aku ke rumah pak Abraham, aku mencium bau parfum yang wanginya sama dengan orang yang melecehkan aku."
"Apa kau bilang?"
"Ya, aku masih ingat dengan wangi parfum itu!"
"Apa kau merasa curiga?"
"Entahlah, Mas Prasetya bilang, orang yang memakai parfum dengan wangi yang sama banyak, tidak mungkin antara ayah dan kakaknya."
"Memang iya sih ...."
"Tapi hatiku merasa ada yang aneh!"
"Sebelumnya, apakah Mas Arsen bersikap yang tidak wajar?"
"Tidak ... sama sekali tidak, menegur atau menyapaku saja tidak pernah, dia biasa aja."
"Bagaimana dengan pak Abraham?"
"Maksudnya, kau mencurigai pak Abraham?" tanya Sabrina, tak percaya.
"Kan aku cuma tanya, pak Abraham pernah bertindak tidak senonoh padamu atau tidak?"
"Aku saja tidak pernah bertemu dengannya sebelum nya."
"Ya, semoga saja, semuanya tidak benar."
Sabrina mengangguk pasrah. Mengikhlaskan semuanya. Menanti hari hari yang lain yan akan di lewati bersama dengan Prasetya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments