Sejak Rainy masuk ke dalam kelas dan memperkenalkan diri, Aksa yang sibuk bermain ponsel tidak benar-benar fokus bermain dengan benda pipih itu, melainkan Aksa sedang berpikir, karena ia merasa sedikit familiar dengan nama Rainy Shakaela itu. Ingatan Aksa seolah ditarik ke masa lalu, pada saat Aksa berusia tujuh tahun, meski samar, Aksa ingat ada gadis kecil seusianya yang memiliki nama sama seperti gadis di depannya ini.
Entah mereka orang yang sama atau bukan, tapi dugaan Aksa itu diperkuat saat Vania memperkenalkan diri sebagai teman masa kecil Rainy. Bukankah artinya, benar Rainy adalah anak yang suka Aksa jahili itu?
Karena itu ketika bel istirahat berbunyi, Aksa segera berdiri dari duduknya dan menghampiri Rainy yang hendak menelungkupkan wajahnya di atas meja. Aksa ingat perintah Bu Dina, meskipun bisa saja Aksa tidak peduli dan tidak menuruti perintah itu, tapi Aksa ingin memastikan sendiri apakah Rainy benar-benar anak itu atau bukan.
Aksa memulainya dengan menggebrak meja Rainy, membuat gadis itu terkejut dan matanya menatap Aksa kesal. Tapi Aksa tidak peduli. Berbekal perintah dari Bu Dina, Aksa bisa membawa Rainy berkeliling walaupun sebenarnya ia malas.
Tibalah di perpustakaan, ketika Rainy terlihat sangat menyukai buku-buku yang ada di sana. Merasa sekarang waktu yang tepat, Aksa mulai bertanya.
“Lo suka baca buku?” tanya Aksa tiba-tiba.
Rainy sampai tersentak lalu berbalik untuk menghadap Aksa.
“Suka.”
“Bukannya lo paling benci sama buku?”
“Hah? Kata siapa?” Rainy menoleh bingung. Sementara Aksa tersenyum miring. Ia berjalan dan berdiri lebih dekat dengan Rainy.
“Lo Rainy si bocah Stunting itu kan? Yang dulu suka dateng ke rumah gue cuma buat minta es krim sama nyokap gue?”
Rainy mematung selama beberapa saat sampai … “Ooohhh, jadi lo Aksa yang itu?” Rainy ber oh dengan mata membulat.
Dalam hati Aksa mencibir, tidak alami sekali reaksi terkejut gadis ini. Tapi, Aksa sudah mendapatkan jawabannya.
***
Aksa tidak tahu kenapa Rainy kembali datang ke sini, bukankah rumah gadis itu ada di jakarta?
Seingat Aksa, Rainy pindah setelah ibunya meninggal dunia. Gadis itu pergi bersama Papanya dan tidak pernah kembali kesini selama sepuluh tahun lamanya. Hingga rumah yang dulu gadis itu tinggali sekarang ditempati oleh Tantenya Rainy.
Tapi, tiba-tiba gadis itu datang lagi. Kembali tinggal di rumah itu tapi tidak bersama Papanya. Meski penasaran, Aksa tidak berani bertanya mengenai hal pribadi Rainy.
Sekarang, Rainy berdiri di hadapannya. Sambil menyodorkan sekotak kue pesanan Mama.
“Loh? Lo ngapain disini?” tanya Aksa yang kini menatap Rainy dengan kepala yang dipenuhi oleh banyak sekali pertanyaan.
“Mau nganterin kue, pesanan Ibu lo,” ucap Rainy sambil menyodorkan box di tangannya.
“Oh, kirain mau silaturahmi,” sahut Aksa asal, tapi tetap mengambil box yang di sodorkan Rainy.
Aksa tidak berniat menahan gadis itu untuk lebih lama berada di rumahnya, karena Aksa memang tidak memegang uang cash ketika Rainy meminta uang bayaran padanya.
Aksa terus mengamati Rainy, dari Rainy datang ke rumahnya sampai Mama datang dan mengajak Rainy minum teh. Aksa terus mengamati, bahkan Aksa mengikuti Rainy yang akan keluar dari rumahnya, gadis itu tidak menyadarinya.
Jadi, ketika Rainy berhenti melangkah untuk mengangkat telepon, Aksa ikut berhenti. Entah Rainy lupa untuk tidak menyalakan loudspeaker, tapi suara dari ponsel itu terdengar jelas di telinga Aksa.
Dari cara bicara Rainy, itu pasti Papanya. Tapi, kenapa ucapan Papa Rainy itu membuat telinga Aksa sakit?
Bagaimana dengan perasaan Rainy sebagai anaknya? Bukankah lebih sakit?
Sebagai seorang ayah, tidak seharusnya bicara sekasar itu kepada anaknya. Dan mungkin itu salah satu alasan kepindahan Rainy ke sini tanpa bersama Papanya.
Ketika punggung itu menjauh, dan masuk ke dalam rumahnya. Aksa ikut masuk, menuju dapur dimana Mama berada. Aksa duduk di meja makan, ia mengeluarkan pertanyaan yang membuatnya penasaran.
“Ma, tuh anak hujan dulu pindah karena apa sih?”
Mama menoleh dengan tatapan heran. “Hujan? Hujan yang mana?”
“Rainy maksud aku, Ma.”
Mama mengulum senyum. “Oh, Rainy?”
Mama menutup kulkasnya dan ikut duduk di depan Aksa. Tatapannya menerawang seolah sedang mengingat-ingat. “Karena Mamanya Rainy meninggal.”
“Alasan utamanya?” tanya Aksa yang tidak puas dengan jawaban itu.
“Ehm … kamu tanya aja sendiri sama Rainy,” ucap Mama sambil mengangkat bahunya.
“Nggak mungkin lah aku nanya hal kayak gitu ke cewek hujan itu, Ma,” sungut Aksa.
Mama tersenyum menatap Aksa. “Meskipun Mama tahu alasannya, tapi Mama nggak berhak buat kasih tahu kamu. Yang berhak ya Rainy sendiri. Tapi Aksa, begitu kamu tahu alasannya kamu pasti bakal ngerasa kasihan sama Rainy. Dan Mama yakin, Rainy nggak suka di kasihani kalau kamu menunjukkan rasa kasihan itu terang-terangan.”
“Jadi alasannya apa?” tanya Aksa memaksa.
Rasa penasarannya semakin besar, tapi Mama malah menggeleng sambil berdecak. “Kan Mama udah bilang buat nanya sendiri ke Rainy.” Mama berdiri, tapi kemudian kembali berbicara, “Oh ya, mungkin setelah kamu tahu alasannya, selain kasian nanti malah kamu jadi suka sama Rainy.”
Mama pergi sambil terkekeh-kekeh, Aksa lantas mendelik.
Memang serumit apa hidup Rainy sampai mama enggan memberitahu dia?
***
Aksa tidak bisa tidur, padahal sudah tengah malam. Kemudian Aksa merutuki dirinya yang terus kepikiran Rainy. Entah otaknya itu sedang konslet atau apa, tapi hal itu membuat Aksa merasa kesal.
Aksa baru tertidur ketika pukul satu malam, jika Mama tidak menggedor pintu kamarnya mungkin Aksa akan kesiangan dan alamat push up di depan guru bk demi bisa masuk ke dalam sekolah.
Ketika mau menyalakan motor, Aksa melihat Rainy yang juga baru akan berangkat. Gadis hujan itu pergi menggunakan ojek online setelah berpamitan pada tantenya. Jadilah pagi itu Aksa mengikuti Rainy dari belakang tanpa gadis itu sadari meskipun jaraknya tidak terlalu jauh.
Aksa tidak tahu apa yang salah dengan dirinya, sepanjang jalan menuju kelas, Aksa terus berada di belakang Rainy. Memperhatikan Rainy yang ternyata memakai earphone di telinganya.
Aksa terus mengikuti sampai tiba di kelas dan duduk di bangku masing-masing. Bahkan Aksa tidak sadar kalau ada yang terus memanggilnya saking seriusnya Aksa menatap Rainy.
“Aksa budek!! Woiii!!” teriak teman sebangku Aksa.
“Berisik Anjirrr! gue nggak budek!!” kata Aksa yang meringis karena merasakan telinganya yang berdengung akibat teriakan itu.
“Lagian lo di panggil kek lagi manggil patung. Nggak ada respon sama sekali,” sungut Bagas, teman sebangku Aksa sejak kelas sepuluh. “Ngeliatin apa sih lo serius amat?” tanya Bagas heran.
“Ngeliat mimpi buruk,” kata Aksa asal.
“Anjir! Emang mimpi buruk bisa dilihat selain pas lagi tidur?” Bagas tergelak.
Aksa tidak menggubris lagi, sekarang rasanya Aksa mengantuk. Gara-gara Rainy— sosok yang menjadi mimpi buruk bagi Aksa, membuatnya kesulitan tidur. Tapi ketika akan menelungkupkan wajahnya di atas meja, guru pelajaran pertama datang dan menyampaikan materi.
Aksa menghela napasnya lesu.
Tapi, ditengah pelajaran Aksa benar-benar tertidur. Tidak tahan lagi karena kantuk yang menyerang. Aksa membuka buku dan meletakkan dengan berdiri sehingga guru tidak menyadari kalau Aksa tertidur. Tapi, tidak bertahan lama, karena Ketika sedang nyenyak-nyenyaknya Aksa merasakan kepalanya di geplak menggunakan benda yang cukup keras.
BUGH!
“Anjrittt lah—”
“Aksa!”
Aksa terdiam mendengar suara itu, lantas meringis dan menoleh takut-takut ke arah samping.
DEG!
Benar kan, ternyata yang memukulnya adalah guru yang tadi sedang menjelaskan materi.
“B-bu … ”
“Kenapa kamu tidur di jam pelajaran Ibu, Aksa? Sudah dua kali kamu kedapatan tidur saat Ibu sedang mengajar! Peringatan waktu itu nggak kamu indahkan?”
Aksa meringis lagi, guru sejarah di depannya ini memandangnya tajam membuat Aksa hanya bisa meminta maaf dengan kepala tertunduk.
“Nggak sengaja ketiduran, Bu. Suwerr … ” kata Aksa.
Bu guru menghela napasnya kasar. “Mendingan kamu ke toilet sekarang terus cuci muka. Tapi jangan lama-lama, setelah cuci muka langsung masuk ke kelas. Jam Ibu masih ada satu jam lagi, kalau kamu nggak balik-balik Ibu kasih poin minus di buku catatan poin kamu,” jelas Bu guru panjang lebar.
Gegas Aksa keluar dari kelasnya setelah mendapat izin. Sepanjang jalan Alsa kembali mendumel, menyalahkan Rainy dan otaknya, padahal Rainy tidak melakukan kesalahan apapun padanya.
Setelah mencuci wajahnya, Aksa keluar dari toilet. Tapi, Aksa malah berpapasan dengan Rainy yang juga baru keluar dari bilik toilet perempuan. Aksa mendengus kasar sedang Rainy hanya mengangkat sebelah alisnya.
Aksa tahu Rainy tidak salah dan memang otaknya yang sedang bermasalah, tapi melihat Rainy bahkan bertatapan mata dengannya membuat Aksa kesal saja.
“Ngapa lo ngeliatin gue segitunya?” tanya Rainy dengan nada ketus.
Aksa berjalan mendekati Rainy, berhadapan dengan gadis yang tingginya hanya sebahu Aksa itu. “Ngapain lo disini?” tanya Aksa balik.
“Ya lo pikir ngapain gue ada disini? Minum air keran?” balas Rainy dengan ketus kuadrat.
Oke, Aksa salah pertanyaan. Kemudian Rainy berbalik dan pergi dari sana. Aksa yang ingat pesan guru sejarah itu lantas mengikuti Rainy. Mereka berjalan bersisian.
“Kemarin lo pergi ke dukun, ya?” tanya Aksa tapi nadanya menuduh.
“Apaan sih lo? Ngapain juga gue pergi ke dukun?” tanya Rainy heran.
Aksa baru sadar, earphone di telinga Rainy sudah dilepas entah sejak kapan.
“Buat pelet gue lah,” jawab Aksa.
Rainy tergelak, apa sih Aksa ini. Apa yang di ucapkan Aksa sama sekali tak masuk akal bagi Rainy.
“Ngapain gue pelet lo Anjir. Nggak guna banget,” kata Rainy sambil menggeleng tak habis pikir.
Aksa meringis, benar juga. “Tapi beneran lo nggak dari pelet gue kan?”
“Yang nggak lah! Pikiran lo aneh banget sumpah. Lagian kalau gue pelet lo alasannya apa? Gak mungkin karena gue jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sama lo,” ucap Rainy yang memutar bola matanya.
“Ya bisa jadi sih.”
“Apa?” Rainy menoleh ke arah Aksa, sedikit mendongak agar bisa melihat wajah Aksa yang cukup menyebalkan di mata Rainy.
“Lo jatuh cinta sama gue makanya lo pergi ke dukun buat pelet gue. Biar gue juga bisa jatuh cinta balik sama lo sampai klepek-klepek.”
Aksa menjawab dengan sangat tidak masuk akal di benak Rainy. Sementara Aksa sendiri geli mendengar ucapannya barusan. Apa sih yang dia ucapkan itu, mungkin jika Bagas atau Dylan yang mendengarnya sudah muntah pelangi.
“Bukannya jatuh cinta sama lo, tapi gue malah pengen jatuhin muka lo sampai ke dasar bumi yang paling dalam.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments