Rainy

Rainy

Prolog

Kedua tangan itu bergetar hebat, saling mengepal demi menahan rasa sesak yang terus menghimpit dadanya. Dengan kedua lutut yang tertekuk, kepala itu menunduk diantara lipatan tangan dan lutut.

Saat merasa seseorang datang dan merengkuhnya, runtuh lah pertahanan yang sekuat tenaga di bangun. Tangis yang sejak tadi ditahan, akhirnya tumpah dalam pelukan hangat yang menenangkan.

“Jangan di tahan, inget lo nggak sendiri dan lo punya gue yang selalu ada untuk lo,” bisik seseorang di telinganya.

Semakin pecah, cairan sebening kristal itu keluar tanpa diminta dan sulit berhenti. Di dunia ini, mungkin hanya dia yang peduli padanya. Hanya dia yang selalu ada untuknya. Hanya dia yang mengerti dirinya tanpa perlu di beritahu.

“Lo boleh nangis sepuasnya, tapi cukup di depan gue. Jangan di depan orang lain. Dan juga, lo bukan gadis lemah cuma karena nangis. Lo gadis paling kuat yang pernah gue temui.”

Ketika ia merasa sendirian, bahu itu selalu menjadi sandaran. Ketika ia merasa tidak ada gunanya hidup di dunia, lengan itu selalu merengkuhnya dalam pelukan hangat. Dan bibir itu terus mengucapkan sebuah kalimat yang sama berulang-ulang.

“Lo nggak sendirian. Lo punya gue yang selalu ada buat lo. Lo di inginkan. Banyak orang yang sayang sama lo. Dan lo berhak bahagia.”

Meski selalu ragu, tapi ia mencoba untuk percaya.

***

“Katanya kalau seseorang udah ketemu sama orang yang baru, orang lama bakalan di tinggalin. Aku nggak nyangka ternyata orang itu adalah aku!” seru Rainy dengan nada tertahan sambil menahan dadanya yang terasa nyeri.

“Harusnya kamu nggak satu sekolah sama Riana, kasihan anakku selalu kamu bully!” ucap papa.

“Aku juga anak papa,” lirih Rainy tapi tetap bisa didengar oleh papa.

“Tapi kamu selalu bikin masalah, nggak kayak Riana yang selalu nurut.”

Harusnya Rainy sudah kebal hatinya mendengar ucapan papanya yang selalu membandingkan dirinya dengan sang adik tiri, tapi tetap saja meski perkataan itu sering terlontar, rasanya tetap sakit.

“Udah tahu tubuh adik kamu lemah, tapi malah kamu dorong sampai jatuh ke tangga. Lihat! Sekarang dia cuma bisa berbaring di ranjang rumah sakit!”

“Aku nggak sengaja, lagipula—”

“Alasan terus! Lebih baik kamu pergi, Papa nggak mau lihat kamu!”

***

“Pa, aku mau bicara,” ungkap Rainy dengan tangan yang terasa dingin.

“Besok saja, sekarang sudah larut. Papa mau istirahat.”

Papa menutup laptopnya dan berdiri. Berjalan melewati Rainy yang berada di bibir pintu ruang kerja. Tanpa menoleh sedikitpun, beliau berlalu begitu saja.

Rainy menghela napas.

Sudah ia prediksi, jadi tidak perlu kecewa. Mungkin besok masih bisa di coba lagi. Rainy berusaha mengerti, benar, ini sudah malam dan waktunya untuk papa beristirahat.

Rainy kembali ke kamar, tanpa menyalakan lampu dan gorden yang di biarkan terbuka, Rainy menaiki ranjangnya dan mulai memejamkan mata.

Rainy tertidur dengan ditemani sinar rembulan yang menembus jendela, meski tanpa lampu, kamar itu tetap terlihat terang. Namun Rainy tidak peduli, ia hanya ingin malam cepat berlalu supaya besok bisa kembali bicara dengan sang papa.

Tapi, ketika pagi tiba. Rainy lagi-lagi tidak bisa merasa kecewa meski kenyataannya tidak begitu.

“Pa, soal semalam ... ”

“Papa sibuk, bentar lagi ada meeting dan harus berangkat pagi. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang saja sama Bi Ira.”

“Tapi—”

“Kamu masih belum ngerti? Karena kamu kesibukan Papa jadi dua kali lipat. Setelah dari kantor, Papa masih harus ke rumah sakit buat lihat perkembangan Riana. Jadi, kamu bisa 'kan buat nggak nyusahin Papa?”

“Iya ... ”

Rainy patuh dalam rasa kecewa yang tak lagi bisa di sembunyikan. Makanan yang ia kunyah rasanya sulit di telan.

Mungkin jalan satu-satunya memang meminta bantuan bi Ira. Hanya beliau yang masih peduli padanya sampai sekarang. Ketika keberaniannya sudah terkumpul, Rainy mendekati bi Ira yang sedang membersihkan dapur.

Pelukan Rainy mendarat di tubuh yang usianya setengah abad itu. Bi Ira menoleh dan tersenyum.

“Ada apa ini kok tiba-tiba Mbak Ai peluk-peluk Bibi?”

“Nggak boleh ya, Bi?” balik bertanya dengan bibir mengerucut.

“Kata siapa? Bibi malah seneng lho di peluk Mbak Ai,” jawabnya sambil mengulum senyum.

Bi Ira membalas pelukan Rainy.

Meski ragu, Rainy yang sudah mengumpulkan keberanian mulai menyuarakan keinginannya.

“Bi Ira, bisa nggak gantiin Papa buat ngurusin perpindahan sekolah aku?” tanya Rainy pada pengasuhnya yang sudah bersama Rainy sejak ibunya masih ada.

“Lho? Mbak Ai mau pindah sekolah?” Tanya bi Ira terkejut.

“Iya, bi.”

“Sudah bilang ke papa?”

“Sudah kok,” Bohong Rainy.

Rainy tersenyum kecut. Bagaimana mau bilang, ketika Rainy ingin mengajak bicara saja papanya langsung menolak dengan berbagai alasan.

“Mau pindah ke mana, Mbak Ai?”

Rainy menyebutkan nama sekolah yang menjadi tujuannya pindah.

“Terus tinggalnya sama siapa nanti, Mbak?” tanya bi Ira dengan khawatir.

“Sama Tante, adiknya Mama yang sekarang tinggal di rumah yang dulu Ai tempati.”

Mungkin, dengan ia pergi dari rumah ini. Semuanya akan baik-baik saja seperti semula. Tanpa dirinya maka tidak akan ada masalah lagi. Iya, seperti itu. Karena seharusnya sudah Rainy lakukan sejak awal. Menjauh dari keluarga ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!