Stunting dan Kurang Gizi

Tak lama setelah Bu Dina meninggalkan kelas, guru mapel pertama datang. Mengucapkan salam lalu mulai masuk ke pembelajaran. Rainy sejak tadi hanya diam dan menyimak, dan Rainy baru sadar kalau teman sebangkunya itu senyam-senyum sendiri, entah karena apa.

Ketika guru di depan selesai menjelaskan dan menyuruh mereka merangkum, Rainy tersentak kaget ketika ada yang menyenggol lengannya. Rainy lantas menoleh ke samping, teman sebangkunya yang tadi senyam-senyum itu yang sudah menyenggol nya.

“Kenapa?” tanya Rainy heran.

Ia yang hendak menulis pun lantas meletakkan pulpennya.

“Lo nggak inget sama gue, ya?”

Alis Rainy naik sebelah. Siapa? Rainy merasa belum pernah bertemu dengannya, jadi ia menggeleng sebagai jawaban membuat gadis di depannya mengerucutkan bibir.

“Ya udah, kita kenalan lagi … ” gadis itu mengangkat sebelah tangannya, dengan ragu Rainy membalas jabatan tangan itu. “Gue Vania, temen lo waktu TK, sama SD kelas 1 dan tetangga samping rumah lo.”

“Vania?” gumam Rainy sambil berusaha mengingat.

Iya, dulu Rainy punya tetangga yang menjadi sahabatnya. Meski samar, tapi Rainy ingat karena dulu mereka sering bersama. Mereka hanya terpisah saat malam hari saja, selebihnya waktu mereka dihabiskan bersama.

“Masih belum inget juga?” tanya Vania mencebikkan bibirnya.

“Inget kok,” jawab Rainy sambil tersenyum, “Cuma agak lupa aja sama wajah lo yang udah berubah banget,” lanjut Rainy.

“Lo juga berubah. Banget malah. Gue pikir kalau kita ketemu lagi lo bakal sama kayak dulu. Rambut sebahu, wajah dekil, badan pendek. Eh, ternyata lo jadi tinggi juga ya, rambut lo udah panjang. Kulit lo juga udah putih,” cerocos Vania dengan suara agak lirih, takut terdengar guru yang sedang duduk di mejanya sambil bermain ponsel.

Rainy mendengus mendengar kata-kata Vania yang tidak ada bagus-bagusnya untuk mendeskripsikan dirinya.

“Btw, lo sekarang tinggal dimana?” tanya Vania penasaran.

“Masih ditempat yang dulu,” jawab Rainy. Ia kembali mengambil pulpennya dan mulai menulis, sambil sesekali menjawab pertanyaan Vania yang tidak berhenti bertanya.

“Yah, sayang banget kita udah nggak tetanggaan lagi.” Vania mengembuskan napasnya dengan lesu, sementara Rainy tak acuh dan terus menulis.

“Emang lo udah pindah?” Rainy balik bertanya, tanpa melepaskan tatapannya pada buku yang ada di atas meja.

“Udah lama banget malah gue pindah. Lima tahunan lebih kayaknya. Tapi boleh kan gue sesekali mampir ke rumah lo?” Vania menatap Rainy penuh harap, meskipun ekpresi Rainy datar, atau bisa di bilang Rainy tidak berekspresi, tapi Rainy tetap mengangguk mengiyakan.

Rainy bukan gadis yang pandai mencari topik duluan, sehingga setelah permintaan Vania disetujui oleh Rainy mereka tak lagi bicara. Rainy tengah serius merangkum karena ingin cepat selesai. Sementara Vania tampak mengamati Rainy meskipun tidak terlalu intens.

Ada yang berbeda dari Rainy. Walaupun mereka sudah sangat lama tidak bertemu, tapi Vania masih ingat kepribadian Rainy itu seperti apa. Dulu, Rainy bukan anak pendiam seperti sekarang, bahkan dulu Rainy lebih banyak tertawa dibanding Vania. Tapi, sekarang?

***

Begitu bel istirahat berbunyi, Rainy telah menyelesaikan rangkumannya yang akan di kumpul minggu depan. Guru yang mengajar pun sudah pergi dari beberapa menit yang lalu. Setelah membereskan alat tulisnya, Rainy yang hendak menelungkupkan kepala di atas meja itu kembali di buat terkejut oleh pukulan yang mendarat di atas mejanya.

Brak!

“Sialan!” desis Rainy yang merasa detak jantungnya berdegup lebih kencang.

Kepalanya mendongak, menatap sang pelaku yang ternyata adalah Aksa. Cowok yang tempat duduknya tepat di belakang Rainy. Mata cowok itu menyorot datar dan di balas pelototan oleh Rainy.

“Apaan sih?!” tanya Rainy dengan kesal.

Baru tadi pagi cowok itu melemparinya dengan bola hingga membuat kepalanya sakit, sekarang datang lagi dengan menggebrak mejanya.

“Ikut gue!”

Alis Rainy terangkat sebelah, “Kemana?”

“Mojok.”

Rainy terkejut bukan main. Lantas ia menggeleng dengan keras. “Ogah!” Karena suara Rainy yang cukup keras, membuat beberapa siswa di kelas itu menoleh ke arah mereka.

Aksa berdecak. “Jadi pemandu lo lah. Kan gue tadi di suruh Bu Dina.”

Rainy baru ingat, kemudian ia meringis sendiri. Dengan berat hati ia berdiri dari kursinya dan melangkah mengikuti Aksa yang sudah duluan. Sebelum benar-benar pergi, Rainy menoleh ke arah Vania yang tengah menatapnya dan lagi-lagi … senyam-senyum sendiri.

“Gue tunggu di kantin,” ucap Vania sambil melambaikan tangannya.

Rainy hanya mengangguk dan berbalik. Berjalan cepat karena Aksa sudah jauh didepan sana.

Rainy tiba di samping Aksa, cowok itu pun menoleh padanya. “Lelet banget,” cibirnya.

Rainy mendengus tanpa menjawab. Karena kaki Aksa yang lebih panjang dari kakinya membuat Rainy harus bisa mengimbangi langkah Aksa. Cowok itu seakan tidak peduli dengan Rainy yang sedikit kesulitan.

“Di sini gedung IPA, tempat lo lewat tadi sama Bu Dina. Kalau mau ke gerbang atau ke kantor emang agak jauh lewat sini. Tapi kalau mau yang lebih deket bisa lewat sebelah kanan dari gerbang pas mau masuk. Di sana juga deket kantin. Kebanyakan anak IPS sih lebih milih lewat sana ketimbang sini. Kecuali kalau lagi ada urusan di kantor.”

Aksa menjelaskan sembari menunjuk ke arah yang dimaksud. Rainy mengangguk paham. Setelah mereka melewati gedung IPA, Aksa kemudian mengajak Rainy ke bagian kantor guru.

“Kantor guru, ruang kepala sekolah sama tata usaha ada di lantai dua. Pasti tadi lo udah kesini kan? Kalau yang di lantai satu isinya cuma piala yang di pajang doang.”

“Iya,” sahut Rainy.

Mereka menaiki tangga untuk ke lantai atas, karena tidak berhati-hati, Rainy tidak berpijak pada anak tangga dengan benar sehingga ia hampir terpeleset dan jatuh kebawah andai Aksa tidak punya refleks yang bagus.

Aksa menarik tangan Rainy yang akan terjatuh, lalu menariknya dengan kuat hingga kepala Rainy membentur dada kanan Aksa membuat cowok itu ikutan meringis.

“Aduh … ” Rainy meringis, merasakan kepalanya yang kembali berdenyut.

“Lo kalau jalan hati-hati dong. Kalau gue nggak cepet-cepet narik lo tadi udah jatoh ke bawah kan lo,” ucap Aksa dengan nada kesal.

Mereka masih tidak sadar bagaimana posisi mereka sekarang. Tangan kanan Aksa masih memeluk tubuh Rainy sambil menggenggam tangan kanan Rainy. Sementara tangan kirinya memegang railing tangga untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.

Rainy yang masih memegangi kepalanya itu pun tersadar, karena terkena embusan napas Aksa di kepalanya. Serta indra penciumannya yang menghirup aroma tubuh Aksa yang cukup … wangi.

“Iya, maaf. Tapi lo bisa lepasin gue dulu nggak? Nanti kalau ada orang yang liat bisa salah paham,” ujar Rainy dengan cepat. Kedua tangan Rainy kini berada di depan dadanya, untuk menjadi pembatas antara dirinya dengan Aksa.

Aksa pun tersadar, dengan cepat ia menghempas tangan Rainy yang tadi dia genggam. Lalu Aksa berdehem untuk menetralisir rasa canggungnya.

“Lain kali hati-hati!”

“Iya.”

Mereka kembali berjalan menaiki tangga, tapi tidak seperti tadi. Kali ini Rainy merasa lebih canggung, ia berjalan sedikit di belakang Aksa, supaya tidak terlalu dekat dengan cowok itu.

“Ehm, btw makasih ya, kalau lo tadi nggak pegangin gue, pasti gue udah jungkel ke belakang terus bakalan masuk rumah sakit.” Rainy meringis lagi.

Ia benar-benar berterima kasih, jika tadi Rainy benar jatuh dari tangga, pasti akan merepotkan dan membuat Papanya harus membayar tagihan rumah sakit. Rainy tidak mau itu terjadi dan mendengar ucapan Papanya yang akan membuatnya sakit hati.

“Hm,” sahut Aksa tanpa minat.

Setelah melewati kantor guru, Aksa mengajak Rainy naik ke lantai tiga. Di sana ternyata ruangan kelas dua belas, yang masih terhubung dengan gedung IPA, dan IPS. Jadi lantai satu adalah untuk anak kelas sepuluh, lantai dua kelas sebelas dan lantai tiga anak kelas dua belas.

Lalu saat matanya menyisir sekitar, Rainy melihat ada satu buah tangga lagi.

“Terus itu tangga buat kemana?” tanya Rainy sambil menunjuk ke arah tangga yang ada di atas tangga yang mereka lewati tadi.

“Ke rooftop.”

“Lo sering ke atas?”

Aksa menoleh. Dengan mengangkat sebelah alisnya dia malah balik bertanya, “Emang kenapa?”

Rainy menggeleng, “Cuma nanya doang.”

Padahal yang ada dalam kepala Rainy saat ini adalah, tempat itu akan menjadi tempat favoritnya selain perpustakaan. Rainy suka tempat yang sunyi, tidak berisik dan membuat tenang. Mungkin saat ada jam kosong, Rainy akan pergi ke rooftop sambil membaca buku.

“Suka. Tapi jangan terlalu sering ke sana, banyak anak cowok yang kadang suka ngerokok diem-diem,” ucap Aksa seolah sedang memberikan peringatan.

“Tapi nggak mungkin rame terus kan? Nggak mungkin juga tiap hari bakalan ada anak-anak ke sana. Pasti ada satpam yang keliling sekolah,” sahut Rainy.

Aksa berdecak. “Serah lo dah. Yang penting gue udah ingetin.”

Mereka turun lagi sampai lantai satu. Cukup melelahkan juga. Ketika Aksa melirik jam tangannya, katanya istirahat tinggal sepuluh menit lagi. Tapi mereka belum mengelilingi semua yang ada di sekolah ini.

“Lo cukup anterin gue dimana perpustakaan aja. Habis itu kita langsung ke kantin. Lo pasti mau jajan kan?”

“Oke.”

Aksa langsung setuju, mereka berjalan lagi sampai ke perpustakaan. Tempat yang terpisah dari gedung kelas dan ruang guru. Cukup besar sampai membuat Rainy berdecak kagum.

Aksa mengajaknya masuk, untuk sekedar melihat-lihat lalu mereka akan keluar lagi. Dengan antusias Rainy mengikuti Aksa yang sudah ada di pintu perpustakaan. Kali ini Rainy berjalan di depan Aksa, sementara Rainy melihat rak-rak yang berisi buku.

“Lo suka baca buku?” tanya Aksa tiba-tiba.

Rainy sampai tersentak lalu berbalik untuk menghadap Aksa.

“Suka.”

“Bukannya lo paling benci sama buku?”

“Hah? Kata siapa?” Rainy menoleh bingung. Sementara Aksa tersenyum miring. Ia berjalan dan berdiri lebih dekat dengan Rainy.

Gadis itu menelan ludahnya, bukan tergoda bukan. Tapi sekarang posisinya agak dekat dengan Aksa sementara di belakangnya rak buku yang menjulang tinggi. Rainy merasa terjepit dan ketika Rainy hendak bergeser tapi malah Aksa juga ikut bergeser.

“Lo Rainy si bocah Stunting itu kan? Yang dulu suka dateng ke rumah gue cuma buat minta es krim sama nyokap gue?”

Rainy mematung selama beberapa saat sampai … “Ooohhh, jadi lo Aksa yang itu?” Rainy ber oh dengan mata membulat.

Terkejut? Tentu saja.

Rainy tidak menyangka akan satu sekolah dengan Aksa, bahkan satu kelas. Aksa, anak laki-laki yang dulu adalah tetangga depan rumah Rainy. Cowok kurus dan lebih tinggi dari Rainy sehingga Aksa sering menyebutnya Stunting. Dan sekarang?

Aksa masih tetap lebih tinggi darinya, bahkan Rainy hanya sebatas bahu cowok itu. Tapi yang membuatnya sedikit tidak percaya adalah Aksa tak lagi kurus, tidak juga gemuk. Rainy bisa merasakan ketika di peluk Aksa tadi. Eh?

Rainy memukul kepalanya ketika pikiran aneh muncul.

“Itu apa?”

“Kurang gizi,” jawab Rainy sambil lalu.

Jika Rainy anak Stunting maka Aksa anak kurang gizi. Karena sebutan itu, dulu keduanya kerap kali bertengkar hingga saling ledek. Sampai sekarang, Rainy kesal mendengar ada yang menyebutnya Stunting, padahal Rainy sehat, bisa tinggi seperti gadis yang lain.

Aksa ikutan kesal, lalu mencengkram tangan Rainy yang hendak pergi dari hadapannya dengan mata menyorot tajam. Wajahnya maju hampir sejajar dengan Rainy.

“Gue nggak kurang gizi!” desisnya, kesal setelah Rainy menyebut kata itu.

“Gue juga nggak Stunting!” balas Rainy tak kalah sengit.

Mereka tidak sadar, kalau saat ini wajah keduanya berdekatan. Hanya berjarak beberapa centi. Sampai ketika ada guru yang menjaga perpustakaan datang, dan menegur mereka.

“Hei! Kalian ngapain?!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!