Tante Risa:
Alamatnya masih sama kaya dulu, kamu nggak lupa kan?
Kalau lupa telepon Tante aja, nanti Tante jemput di tempat kamu berhenti.
Pesan yang masuk sejak satu jam yang lalu itu baru Rainy baca. Tanpa membalasnya, Rainy kembali memasukkan ponselnya ke dalam sling bag. Tentu Rainy ingat, bahkan tidak akan pernah lupa sampai kapanpun dimana alamat yang dimaksud Tante Risa.
Dengan menyeret dua kopernya, Rainy hampir sampai menuju rumah yang ditempati tante Risa. Barusan Rainy turun dari travel yang mengantarnya. Harusnya bisa berhenti tepat di depan rumah, tapi Rainy lebih memilih berhenti tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh.
Berhenti di depan rumah berwarna coral, Rainy menghela napas panjang sebelum menekan bel. Setelah menekannya, Rainy menunggu selama beberapa saat sampai pintu di hadapannya terbuka perlahan.
Senyum Rainy mengembang begitu melihat siapa yang membuka pintu.
“Rainy!! Kok nggak ngabarin Tante dulu? Kan Tante bakalan jemput kamu … ”
Tante langsung memeluk Rainy, cukup erat sampai Rainy meringis. Dalam pelukan yang terasa hangat itu Rainy meminta maaf.
“Aku nggak mau ngerepotin Tante, lagian aku baru turun dari Travel kok, jadi nggak perlu dijemput.”
“Tapi kan barang bawaan kamu banyak, jadi Tante bisa bantu.”
“Masih bisa aku handle kok, Tan.”
Tante memukul pelan punggung Rainy, merasakan Rainy yang ternyata makin keras kepala. Tak ingin berlama-lama berada di luar, Tante segera menyuruh Rainy masuk. Sambil membantu membawakan salah satu koper Rainy yang cukup besar.
Rainy masuk ke dalam rumah Tante Risa, rumah yang awalnya adalah milik keluarga Rainy, tapi sekarang sudah jadi milik Tante Risa, adik kandung almarhum ibunya Rainy. Rainy berjalan perlahan sambil mengamati rumah yang sudah banyak berubah sejak sepuluh tahun yang lalu.
Rumah yang menyimpan banyak kenangan serta menjadi saksi bisu kekacauan yang terjadi di keluarganya.
“Untung sebelum kesini kamu sempet ngabarin, jadi Tante bisa bersih-bersih kamar yang kosong buat kamu tempati,” kata Tante Risa.
Mereka tiba di kamar bagian tengah, meski hanya ada satu lantai tapi rumah ini cukup besar. Ada tiga kamar tidur di sana.
“Padahal nggak usah repot-repot, Tante. Nanti aku juga bisa bersihin sendiri,” sahut Rainy merasa bersalah.
“Nggak ngerepotin, Tante malah seneng waktu dengar kabar kalau kamu mau tinggal sama Tante. Jadi Tante punya temen di rumah.”
Rainy melihat raut wajah Tante Risa yang terlihat bahagia, Rainy hanya tersenyum tipis menanggapinya.
Tatapannya kembali beralih pada kamar yang memang sudah terlihat rapi. Satu ranjang queen size, lemari pakaian bahkan meja belajar pun sudah tersedia.
“Makasih Tante, dan maaf aku udah ngerepotin,” ucap Rainy dengan suara lirih, tanpa ia bisa cegah air matanya keluar.
Tante yang sedang meletakkan koper di sudut kamar itu berbalik, sambil tersenyum hangat Tante mendekati Rainy dan kembali memeluknya. Pelukan yang sangat Rainy rindukan. Terasa hangat dan menenangkan.
“jangan minta maaf terus, Kan Tante udah bilang kalau Tante seneng Rainy ada di sini. Tante juga nggak ngerasa direpotin. Udah … jangan nangis.”
Tante Risa terus mengusap punggung Rainy sampai ia berhenti menangis. Meskipun Tante tidak terlalu mengerti kenapa tiba-tiba Rainy mau pindah, tapi yang pasti Rainy sedang ada masalah.
“Aku nangis karena kangen sama Tante,” kilah Rainy yang masih terisak.
Tante Risa tersenyum lembut, entah ucapan Rainy jujur atau hanya alibi, tapi Tante cukup senang mendengarnya. Beliau juga merindukan keponakannya ini, sudah sepuluh tahun tidak bertemu padahal jarak mereka tidak terlalu jauh.
“Badan kamu agak bau, mendingan mandi gih. Tante udah bikin makan malam, nanti habis mandi kamu langsung ke meja makan, yaa,” ucap Tante Risa dengan nada bercanda setelah pelukan mereka terlepas.
Rainy terkekeh seraya mengangguk. Setelah Tante pergi, Rainy melakukan apa yang dulu suruh Tantenya. Mungkin karena lelah setelah perjalanan yang lumayan jauh, Rainy merasa segar setelah mandi. Padahal Rainy jarang sekali mandi di malam hari.
Rainy memutuskan untuk langsung ke meja makan setelah mengeringkan rambut dengan hairdryer. Tante Risa sudah duduk di sana sambil bermain ponsel.
“Tante masak banyak banget,” ucap Rainy kagum dengan hidangan makan malamnya.
“Saking senangnya dengar kamu bakalan ke sini, Tante udah masak dari asar tadi.”
Rainy meringis, bahkan kembali merasa dirinya merepotkan. Tante yang melihat raut wajah Rainy itu lantas berucap dengan cepat sebelum Rainy mengatakan yang tidak tidak.
“Tante suka ngelakuinnya, jadi Tante punya kegiatan lain selain tiduran sama nonton tv. Tante nggak ngerasa repot kok, jangan gitu lagi ya,” bujuk Tante.
“Iya, Tante.”
Makan malam kali ini diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan dari Tante Risa. Sementara Rainy hanya menjawab sebisanya sambil terus mengunyah nasi dan lauk.
“Papa gimana kabarnya?”
Rainy berhenti mengunyah, ia menatap Tante sebelum menjawab.
“Baik kok, Tante.”
“Terus Rainy ke sini emang beneran di bolehin sama Papa?”
Rainy mematung selama beberapa saat, kemudian ia tersenyum disertai anggukan. “Iya, dibolehin kok,” meskipun aku nggak izin juga kayaknya Papa nggak bakalan peduli.
Rainy mengingat kembali beberapa waktu lalu sebelum ia pergi. Berbagai cara ia lakukan untuk bisa bicara dengan Papanya tapi Papa selalu mencari alasan. Hingga Rainy lelah sendiri dan memutuskan untuk pergi tanpa izin. Hanya izin dengan Bi Ira.
Papa marah sudah pasti, bahkan akan marah besar. Tapi Rainy tidak peduli, toh kemarahan Papa bukan sebab khawatir Rainy kenapa-kenapa tapi sebab takut Rainy kabur dan tidak bisa di jadikan boneka lagi. Rainy tersenyum miris tanpa Tantenya sadari.
***
Untuk seorang anak pindahan, hari pertama memasuki sekolah baru adalah hal yang cukup mendebarkan. Tak terkecuali dengan Rainy yang merasa kedua telapak tangannya terasa sangat dingin. Irama jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya, apakah Rainy gugup?
Tentu saja!
Apalagi Rainy pindah sekolah tanpa seizin Papanya, sudah pasti suatu saat Rainy akan dimarahi habis-habisan, namun Rainy tidak peduli dan tetap melanjutkan langkahnya mengikuti ibu guru yang katanya akan menjadi wali kelasnya.
“WOIII AWAAASSS!!!”
bugh!
“Aaarghh,” ringis Rainy saat merasa kepalanya terkena benda yang cukup keras.
Sakit sekali.
Guru yang sedang berjalan di depan Rainy pun menoleh terkejut dan dengan cepat mendekati Rainy yang duduk berjongkok sambil memegangi kepalanya.
“Ya ampun! Kamu nggak apa-apa, Rainy?” tanyanya khawatir.
“Kepala Rainy sakit, Bu.”
Sambil mengusap-usap kepala Rainy yang ternyata terkena bola dan membantu Rainy berdiri, Ibu Dina melihat ke arah lapangan untuk mencari siapa pelakunya.
Satu orang cowok berlari menuju arah mereka, mengetahui bahwa dialah yang menendang bola hingga mengenai kepala Rainy, Bu Dina melotot sambil berkacak pinggang.
“Aksa! Kamu yang udah nendang bola sampai sini?” tanya Bu Dina dengan kesal.
Cowok yang namanya Aksa itu meringis dan memberi anggukan. “Maaf, Bu. Tadi nendangnya kekencengan.”
“Kamu lihat karena ulah kamu sampai kena kepala anak murid Ibu?”
Aksa meringis lagi, lalu menoleh ke arah Rainy yang masih memegang kepalanya. Sumpah Demi Neptunus, kepalanya yang terkena bola itu sakit sekali, jika orang lain mungkin saja bisa sampai pingsan.
“Sorry, ya. Gue nggak sengaja,” ucap Aksa merasa bersalah.
“Mau gue bantu ke UKS?” tawarnya, tapi Rainy menggeleng dan berkata, “Nggak perlu, cuma pusing dikit, bentar lagi juga ilang.”
“Oh, ya udah kalau nggak mau, yang penting gue udah minta maaf dan nawarin buat ke UKS. Gue mau balik ke lapangan.”
Aksa bicara dengan nada dan wajah yang datar, kemudian tersenyum saat menoleh ke arah Bu Dina. “Mari, Bu, silakan lanjutkan perjalanannya.”
Lalu berbalik dan pergi sampai Bu Dina hanya bisa menggeleng. Sementara Rainy hanya melihat sekilas punggung yang semakin menjauh itu, batinnya berkata, kok kayak kenal?
“Masih sakit, Rainy?”
Rainy tersentak kemudian menggeleng. “Udah mendingan kok, Bu.”
“Kalau beneran udah mendingan, kita lanjut masuk kelas ya?”
Rainy mengangguk, ia yang tadi berjalan di belakang Bu Dina kini sejajar karena Bu Dina masih memapahnya seolah Rainy belum bisa berjalan sendiri.
Kelas yang akan Rainy tempati ternyata cukup jauh, mereka masih harus melewati kelas anak IPA untuk bisa sampai ke IPS. Meskipun ada jalan yang jauh lebih dekat, tapi di awal mereka pergi dari ruang kepala sekolah maka dari itu Bu Dina membawa Rainy ke IPS tapi melewati kelas IPA yang katanya lebih dekat.
Bel sekolah sudah berbunyi beberapa detik yang lalu, para siswa dan siswi mulai memasuki kelasnya masing-masing, begitupun dengan Rainy hanya sekarang sudah sampai di depan kelas barunya, 11 IPS 4.
Rainy mempersilakan Bu Dina masuk duluan, di susul Rainy di belakangnya. Debar jantung yang semakin cepat membuat Rainy meremat jari tangannya. Rainy merasa seluruh penghuni kelas itu tengah menatapnya.
“Selamat pagi, Anak-anak,” ucap Bu Dina.
“Pagi, Bu!”
“Mulai hari ini kita punya teman baru, untuk kedepannya tolong bantu dia kalau dia butuh bantuan, ya. Jangan di jauhi,” ujar Bu Dina.
“Ayo, Rainy, kenalin diri kamu supaya teman-teman baru kamu bisa kenal juga sama kamu,” lanjut bu Dina pada Rainy.
Rainy mengangguk, sambil menahan gugup Rainy memberanikan diri menatap ke arah depan, dimana ada 35 murid dan menjadi 36 ketika Rainy masuk ke kelas ini.
“Halo, semuanya ... ”
“Haii ... ” satu kelas menjawab serempak.
“Saya Rainy Shakaela, panggil aja Rainy. Pindahan dari Jakarta.”
Dan ... Sudah kan? Rainy bingung ingin bicara apa lagi, cukup nama dan dari mana ia berasal sebelumnya.
“Itu saja, Rainy?” Rainy mengangguk, “Kalau sudah silakan duduk di kursi barisan ketiga yang kosong itu, ya. Di depan anak yang dari nendang bola tadi,” kata Bu Dina.
Rainy terkejut, kemudian ia melihat ke tempat yang Bu Dina katakan. Benar, di depan anak yang tengah bermain ponsel itu, atau yang tadi membuat Rainy terkena bola ada kursi kosong.
“Baik, Bu. Terima kasih.”
Bu Dina tersenyum disertai anggukan, “Ibu pamit, ya. Sekarang bukan jam pelajaran Ibu. Anak-anak, jangan ada yang keluar dari kelas dan kalau mau keluar izin sama ketuanya. Ibu minta tolong juga sama kalian semua jangan tidak acuh sama temen barunya.”
“Iyaa, Bu ... ”
Sebelum Bu Dina keluar, beliau menghampiri cowok yang menendang bola hingga mengenai kepala Rainy tadi. Dengan gerakan cepat beliau mengambil ponsel dalam genggaman cowok itu hingga membuatnya terkejut.
“E—Ehhh, Bu kok di ambil?” tanya cowok bernama Aksa itu dengan kesal.
“Lain kali kalau ada orang berbicara kamu dengarkan baik-baik. Jangan main ponsel!” tegas Bu Dina.
“Iya, Bu.”
“Sebagai hukuman karena kamu sudah mengenai kepala siswi Ibu dan bermain ponsel ketika ada guru, kamu Ibu suruh mengenalkan sekolah kita pada Rainy. Nanti saat istirahat pertama, kamu ajak dia keliling sekolah dan kenalkan ruangan-ruangan yang ada di sini.”
Aksa lantas melotot. “Nggak bisa dong, Bu. Kan itu tugasnya ketua kelas,” ujarnya, sesekali matanya melirik Rainy yang terdiam di depan kelas.
“Ardi ada urusan sama Ibu nanti waktu istirahat.”
Aksa yang tidak percaya lantas menoleh ke arah cowok yang duduk paling depan dekat jendela.
“Iya, Ar?” tanyanya.
Ardi sang ketua kelas mengangguk dengan kaku. Aksa mendengus, kemudian memberikan anggukan dengan malas.
“Iya, Bu.”
“Ingat Aksa! Jangan di buat tersesat teman baru kamu, jangan di tinggalin juga. Nanti Ibu tambah hukuman kamu,” ancam Bu Dina, dibalas anggukan pelan oleh Aksa.
Setelah itu barulah Bu Dina keluar dari kelas, Rainy tersenyum tipis saat Bu Dina melewatinya. Dengan langkah pasti, Rainy menempati kursi barunya yang tadi di tunjuk oleh Bu Dina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments