Karena Aksa, hari pertama sekolah Rainy kacau. Meskipun tidak se-kecau sampai terkena kasus, tapi tetap saja. Rainy rasanya ingin mengubur kepala Aksa sampai ke dasar bumi yang paling dalam.
Ditegur guru bukanlah hal yang biasa Rainy dapati, makanya kejadian tadi di perpustakaan yang sebenarnya salah paham membuat Rainy makin benci dengan Aksa. Apalagi ditambah dengan kultum yang tidak Rainy sukai.
Mengingat itu, Rainy hanya bisa menghela napasnya dengan pelan. Padahal kejadiannya sudah berlalu tapi sampai sekarang masih kepikiran. Rainy merasa moodnya sudah hancur. Karena Aksa pula.
Dalam kamarnya yang masih penuh dengan barang-barang belum disusun, Rainy tidak henti-hentinya menghela napas. Ia sedang melipat baju untuk disusun ke dalam lemari, karena kemarin tidak sempat. Waktu istirahat satu hari benar-benar Rainy manfaatkan untuk bermalas-malasan. Sekarang, sepulang sekolah Rainy punya tugas yang cukup banyak. Membersihkan kamar barunya.
Drrrttt!
Dering ponsel Rainy membuyarkan lamunan gadis itu, dengan cepat ia meraih ponselnya yang ada di atas ranjang. Melihat nama yang tertera di sana. Seketika membuat Rainy mematung dengan segala pikiran negatifnya.
'Abang'.
“Pasti Papa yang nyuruh Abang buat telepon,” gumam Rainy merasa yakin.
Rainy punya kakak laki-laki, namanya Bhara, sekarang sedang kuliah di luar negeri. Semenjak Bhara kuliah, sudah jarang sekali mereka mengobrol untuk sekedar menanyakan kabar dan keadaan. Hal yang kadang membuat Rainy merasa benar-benar sendirian di dunia ini.
“Halo … Abang,” sapa Rainy memberi jeda setelah ia menekan ikon berwarna hijau.
“Halo, Rainy. Adik Abang yang paling cantik, gimana kabarnya?”
Rainy berusaha menahan gejolak yang muncul ketika mendengar pertanyaan itu. Menghela napas pelan, barulah ia menjawab.
“Aku … baik,” balas Rainy.
“Maaf, Abang baru telepon hari ini. Terakhir kali kita ngobrol itu, seminggu yang lalu, ya? Abang minta maaf, bukannya Abang lupa sama kamu, tapi disini Abang juga lagi banyak tugas, kalau mau nelpon pun kadang udah ketiduran karena capek.”
“Ah, iya. Nggak papa, Bang.”
Rainy mengangguk meskipun Abangnya tidak akan melihat. Rainy mengerti, dan tidak pernah protes meskipun hubungan mereka tidak sedekat dulu. Sandaran terakhir Rainy sedang ada di negeri orang, ia tidak boleh membuat masalah untuk Abangnya dan memancing keributan yang dapat merenggangkan hubungan adik dan kakak.
“Semalem, Papa telepon Abang … ” Rainy tersenyum kecut, sudah Rainy duga Abangnya menelepon karena ada yang mau dibahas. Bukan hanya sekedar menanyakan kabar Rainy yang sekarang.
“Papa bilang apa sama Abang?” tanya Rainy tanpa nada paksaan.
“Papa bilang kalau kamu … kabur? Kamu menghilang bahkan koper kamu juga nggak ada di kamar. Tanpa bilang apa-apa sama Papa. Jadi, kamu beneran kabur, Dek?”
Sama seperti Rainy, pertanyaan Abangnya juga tidak ada nada memaksa tapi tetap membuat Rainy merasa sesak. Kabur? Mungkin bagi Papanya ia memang kabur, tapi bagi Rainy sendiri tidak.
“Kalau Papa sama Abang mikirnya aku kabur, nggak papa. Aku memang nggak izin sama Papa, karena nggak ada waktu buat obrolin apapun. Tapi aku tetep izin kok, sama Bi Ira. Abang bisa tanya Bi Ira kalau nggak percaya, mungkin Bi Ira belum sempet ngomong ke Papa,” jelas Rainy tanpa jeda, hingga ia merasa sedikit terengah-engah.
“Dek, Abang nggak—”
“Iya, aku ngerti kok, Bang. Abang nggak usah khawatir karena aku tinggal di rumah Tante Risa. Aku nggak tinggal sendiri. Soal uang, kalau Papa udah berhenti transfer aku masih punya tabungan yang lumayan buat bayar sekolah sama jajan sehari-hari.”
“Dek—”
“Udah ya, Bang. Aku masih beres-beres kamar, belum sempet beresin kemarin karena masih capek habis naik travel.”
Tanpa menunggu balasan atas ucapannya, Rainy lekas mematikan sambungan telepon. Setelah itu, satu bulir air mata lolos tanpa bisa ia cegah, sejalan dengan dadanya yang terasa sesak.
***
Tak banyak air mata yang Rainy keluarkan, karena Tante Risa memanggilnya untuk segera datang ke dapur. Setelah memastikan wajahnya tidak sembab, Rainy pergi meninggalkan tumpukan baju yang belum selesai dimasukkan ke dalam lemari.
“Ada apa, Tante?” tanya Rainy begitu tiba di dapur.
“Tante mau minta tolong, boleh?”
“Boleh. Minta tolong apa, Tante?”
“Anterin kue pesenan ini ke rumah depan. Kamu inget rumah Aksa kan? Temen laki-laki kamu dulu? Anaknya Om Martin sama Tante Clarissa?”
Rainy mengangguk paham, setelah menerima box yang berisi kue, Rainy lekas pergi. Tante bilang uangnya belum diberikan. Jadi begitu pulang Rainy sudah harus mendapatkan uangnya, bagi Rainy tak masalah.
Untuk sampai ke rumah itu hanya perlu menyebrang jalan dan sampai. Rainy tinggal menekan bel dan menunggu si pemilik rumah membuka pintu.
Cklek!
Pintu terbuka, Rainy yang tadinya memasang senyuman di wajahnya langsung berubah datar.
“Loh? Lo ngapain disini?” tanya si pemilik yang tidak lain dan tidak bukan adalah Aksa.
'Sialan banget!' maki Rainy dalam hati.
“Mau nganterin kue, pesanan ibu lo,” ucap Rainy sambil menyodorkan box di tangannya.
“Oh, kirain mau silaturahmi,” sahut Aksa asal, tapi tetap mengambil box yang di sodorkan Rainy.
“Gue malah ngira lo udah pindah dari sini.”
Aksa mengangkat alisnya mendengar penuturan Rainy. “Kenapa? Lo nggak suka gue tinggal di sini?” tanyanya sinis.
“Bukan.”
“Terus?”
“150 ribu.”
“Hah?” Aksa ngeBug, tidak paham dengan jawaban Rainy yang mlenceng dari pertanyaan.
Tangan kanan Rainy terangkat, seolah meminta sesuatu pada Aksa. Padahal Aksa masih nge-lag.
“Apaan? Salim?” tanya Aksa, membuat Rainy berdecak.
“Bukan.”
“Terus? Yang jelas dong! Lo minta duit nafkah dari gue?” tanya Aksa lagi, semakin tidak jelas topik mereka.
“Ck! Harga kue-nya 150 ribu. Buruan bayar! Gue mau pulang!” desak Rainy tak ingin berlama-lama berdiri di depan Aksa.
“Belum di bayar ini? Tapi nyokap gue lagi nggak di rumah, nggak ada yang bayarin,” ucap Aksa.
“Talangin kek.” Rainy benar-benar ingin cepat pergi dari sana, tapi melihat Aksa yang sekarang tersenyum miring membuat Rainy tahu, tidak mudah untuk ia pulang cepat saat ini.
“Gue nggak punya duit,” sahut Aksa santai, box yang berisi kue tadi ia letakkan di atas meja ruang tamunya.
“Ternyata lo udah miskin,” ledek Rainy dengan tatapan semakin kesal, membuat Aksa yang sudah berbalik dan duduk di kursi teras rumahnya menggelengkan kepala.
“Maksud gue, nggak punya duit cash. Adanya di bank, belum gue ambil. Jadi, kalau lo mau duitnya hari ini, tunggu nyokap gue pulang dulu baru lo dapet tuh duit.”
Rainy bergeming, ia tetap berdiri di tempatnya. Membuat Aksa mengembuskan napasnya.
“Nggak lama kok. Duduk dulu di sini, tadi nyokap lagi ke minimarket, mungkin lima menitan juga udah balik. Dari pada lo bolak-balik cuma buat ngambil duit, mending tunggu sebentar di sini.”
Meskipun enggan, tapi Rainy tetap duduk dengan sangat terpaksa. Bersebelahan dengan Aksa dan dibatasi oleh meja berbentuk bulat. Rainy benar-benar menunggu, tanpa ada obrolan di antara mereka karena ternyata Aksa tengah sibuk dengan ponselnya.
Mengenai ucapan Rainy yang mengira Aksa sudah pindah itu benar. Rainy pikir rumah ini sudah beda pemiliknya, bukan lagi keluarga Aksa. Tapi ternyata ia salah, pemiliknya masih bertahan padahal setelah Rainy amati, banyak wajah baru di lingkungan komplek mereka.
Kebanyakan ada yang menjual rumah atau diberikan ke anak cucu, itu kata Tante Risa saat Rainy iseng bertanya.
Ketika masih sibuk dengan pikirannya sendiri, terdengar suara motor mendekat. Rainy mengangkat kepalanya dan langsung merasa lega ketika melihat siapa yang datang.
“Lho, Aksa lagi sama siapa ini?” tanya Tante Clarissa begitu helm di kepalanya terlepas.
Rainy berdiri, menunduk dengan sopan pada ibunya Aksa yang masih terlihat muda. “Saya Rainy, Tante. Tadi di suruh Tante Risa buat anterin kue pesenan, Tante.”
Tante Clarissa mengamati wajah Rainy hingga netranya sedikit menyipit lalu berseru dengan sedikit heboh. “Kamu … Rainy anaknya Mbak Divya sama Mas Hamza, ya? Yang dulu temenan sama Aksa.”
Rainy dan Aksa saling pandang, dalam benak keduanya mungkin berpikir temenan dari mane? Yang ada tiap ketemu adu mulut. Kalau nggak bertengkar ya paling saling mengejek hingga ujung-ujungnya tetap saja jadi bertengkar.
Tapi Rainy mengangguk karena ia merasa harus segera pergi dari sini. “Iya, Tante.”
“Wah, sudah besar ya kamu. Makin cantik juga, keliatan mirip sama Divya kalau udah besar gini.”
Rainy tersenyum manis sebagai tanggapan, sementara Aksa memutar bola matanya jengah.
“Ma, Mama pesen kue tapi belum di bayar. Dia masih di sini karena nunggu bayaran dari Mama,” ucap Aksa membuat ibunya kembali berseru heboh.
“Oh iya, Mama lupa. Maaf ya, kalau kamu nunggu Tante agak lama. Tadi Tante habis belanja buat isi kulkas.”
“Iya, Tante. Nggak papa, cuma nunggu bentar kok tadi,” sahut Rainy.
“Masuk dulu, yuk. Kita ngeteh di dalem sambil ngobrol. Sekalian Tante ambil uangnya,” ajak Tante Clarissa.
Rainy hendak menolak, tapi Tante Clarissa sudah menarik tangannya untuk masuk ke dalam rumah. Rainy hanya bisa tersenyum paksa dan pasrah ketika tubuh Rainy sudah benar-benar masuk ke dalam rumah Aksa.
Sementara Aksa mengekor di belakang mereka, mengikuti keduanya sampai tiba di dapur karena Mamanya Aksa itu ingin meletakkan belanjaan di kulkas.
“Bentar ya, Tante buatin teh dulu,” ujar Tante Clarissa.
Dengan cepat Rainy menggeleng. “Nggak perlu, Tante. Nggak usah repot-repot, aku juga nggak bisa lama-lama di sini karena masih beresin kamar.”
“Oh gitu? Berati kita ngeteh nya lain kali aja. Tunggu dulu di sini, ya. Tante ambilin uangnya.”
Rainy mendengar ada nada kecewa ketika Tante Clarissa bicara barusan, membuat Rainy merasa bersalah. Tapi apa daya? Rainy tidak ingin terlalu lama berada di sini, apalagi di dekat Aksa yang kini tengah duduk di kursi meja makan, sambil menatapnya dengan intens.
“Lo kenapa liatin gue kayak gitu?” tanya Rainy yang merasa tidak nyaman.
“Lo gampang banget ya, dapetin hati nyokap gue?”
“Maksudnya?”
“Nggak maksud apa-apa, cuma ngomong doang,” sahut Aksa dengan tampang menyebalkan.
Rainy berdecak kesal, lalu wajahnya kembali tersenyum ketika ibu kandung Aksa itu tiba di dapur. Beliau membrikan uang sebesar 150 ribu, sesuai dengan pesanan.
“Makasih, ya, Rainy udah mau anterin kue Tante. Padahal Tante masih mau ngobrol sama kamu, tapi sayangnya kamu masih banyak kerjaan, ya?”
“Maaf, ya, Tante,” ucap Rainy yang merasa bersalah.
“Nggak papa, Tante ngerti. Pasti kamu belum lama pindah kan?” Rainy mengangguk membenarkan.
“Oh ya, Tante punya es krim di kulkas. Tante buat sendiri, kamu dulu suka kan eskrim buatan Tante? bentar, ya, Tante ambilin dulu.”
Tante Clarissa dengan cepat membuka kulkasnya, Rainy melihat ada banyak es krim di sana. Kebiasaan Tante Clarissa yang Rainy tahu sejak dulu adalah Tante suka membuat es krim, atau makanan yang terkadang lagi viral di sosmed. Tapi Rainy tidak menyangka kalau hobi itu sampai sekarang masih di lakoni oleh Tante Clarissa.
“Rasa coklat sama vanila, kamu habisin, ya. Kalau kurang dateng aja ke sini, Tante masih punya banyak.” Rainy menerima satu cup es krim yang di sodorkan Tante Clarissa.
“Terima kasih, Tante.” Tapi aku nggak mau dateng ke sini cuma buat makan es krim, lanjut Rainy dalam hati.
“Aku pulang dulu, ya, Tante. Maaf ngerepotin,” Rainy pamit, hendak undur diri, tapi Tante Clarissa malah mengusap kepalanya dan tersenyum dengan lembut membuat Rainy tertegun beberapa saat.
“Lain kali mampir kesini, ya. Nanti Tante ajarin cara buat es krim berbagai rasa,” ucapnya sambil terkekeh dan hal itu menular pada Rainy yang ikut tersenyum.
Setelah itu, Rainy keluar dari rumah itu sambil membawa satu cup es krim. Di ikuti oleh Aksa di belakangnya yang di suruh oleh Tante Clarissa untuk mengantarkan Rainy sampai depan. Tapi, begitu Rainy tiba di bibir pintu, ponsel yang ada dalam saku celananya bergetar. Menandakan ada telepon masuk.
Rainy mengambilnya, melihat nama yang tertera lantas membuatnya kembali mematung.
'Papa' nama itu terpampang jelas sebagai nama si pemanggil.
Rainy berjalan keluar, sedikit jauh dari Aksa yang masih berdiri mengikutinya. Lalu menekan ikon berwarna hijau. Sebelum memberikan salam, Rainy menarik napas terlebih dahulu.
“Hal—”
“Rainy! Berani sekali kamu sekarang, ya. Sudah kabur tanpa bilang apa-apa sama Papa. Apa Papa sudah bilang bakal izinin kamu keluar dari rumah ini? Kamu mau lari dari tanggung jawab?”
“Aku nggak kabur, aku bahkan udah—”
“Kalau bukan kabur apa? Bahkan kamu pindah sekolah tanpa seizin Papa. Cuma izin ke orang yang bukan siapa-siapa kamu. Kamu merasa Papa bukan orang tua kamu jadi bisa pergi sana-sini seenaknya?!”
“Rainy! Kamu lupa apa yang kamu lakukan pada adikmu? Kamu masih harus ada di sini, nggak bisa kabur gitu aja setelah kamu melakukan kesalahan!”
“Pa … ”
Jujur saja Rainy merasa sesak itu kembali datang mendengar nada bicara Papanya yang membentak dirinya. Bahkan kini tangannya menggenggam ponsel dan cup es krim dengan kuat untuk menahan air mata yang hampir lolos. Rainy berharap, tak ada siapapun yang mendengar ucapan Papa selain dirinya karena tadi Rainy lupa untuk tidak menghidupkan speaker.
Tapi, Rainy tidak sadar atau bahkan lupa, kalau Aksa sejak tadi mengikutinya. Ada di belakangnya dan mendengar semua ucapan Papa yang cukup … menyakitkan untuk didengar oleh seorang anak. Bahkan telinga Aksa sendiri sakit mendengarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments