"Calvin!" Sahutan dengan nada bariton dari arah lain, seketika membuat sang empunya nama yang tengah berjalan melalui koridor kelas, dibuat memaku untuk sesaat.
Kepalanya refleks menoleh ke belakang. Ketika menyadari siapa yang baru saja menyahutinya, saat itu juga Calvin langsung memasang seulas senyuman hangat. Dengan sopan, Calvin kemudian menyalimi pria paruh baya yang tak lain ialah salah satu dosen favoritnya di kampus.
"Pagi, Pak!"
"Pagi, pagi! Gimana nikahannya? Lancar?" Tanya sang dosen yang akrab disapa Pak Arnold.
Calvin terkekeh renyah mendengar pertanyaan itu. Entah mengapa terdengar cukup menggelikan di telinganya. "Berkat do'a semuanya, alhamdulillah lancar."
Pak Arnold, bisa dikatakan beliau adalah salah satu dosen senior di fakultas hukum. Wajahnya yang selalu memancarkan aura positif, tak ayal membuatnya banyak dikagumi dan disegani oleh seluruh jajaran mahasiswa.
Selain karena raut wajahnya yang ramah, sifat beliau pun selalu menjadi cerminan baik bagi semuanya. Caranya mengajar yang cukup unik, semakin membuatnya dikenal hampir satu kampus.
"Kamu ini masih pengantin baru. Kenapa udah masuk kampus aja? Gak liburan bareng istri dulu?" Pertanyaan usil dari Pak Arnold, lagi-lagi dibalas kekehan renyah oleh Calvin.
"Ah, Bapak mah suka gitu! Kuliah itu 'kan lebih penting,"
"Masa? Kalau kuliah lebih penting, terus kenapa sekarang udah nikah aja? Padahal tinggal nunggu dua tahun lagi lho, Vin!"
Jujur. Pertanyaan dari Pak Arnold sedikit membuat Calvin gelagapan. Jika dirinya menjawab jujur bahwa Calvin menikah dengan Naura karena kesalahannya, apakah beliau akan kecewa?
"Em ... kebelet?" Jawaban yang sungguh diluar ekspektasi itu, sontak mengundang tawa tersendiri. Spontan Pak Arnold menepuk-nepuk punggung Calvin.
"Dasar anak muda! Omong-omong, maaf Bapak gak bisa hadir waktu itu. Istri Bapak tiba-tiba sakit. Kalau kamu berkenan, kamu bawa istri kamu ke hadapan Bapak, ya! Ada angpau besar yang menanti."
"Serius, Pak? Wah ... gak akan malu-malu lagi Saya kalau gitu. Jam berapa, kapan dan dimana?" Pertanyaan Calvin yang pada dasarnya hanya sebuah candaan, nyatanya malah dibalas serius oleh Pak Arnold.
"Ya, itu mah terserah kamu siapnya kapan. Hubungi saja Bapak kalau kamu benar-benar mau angpau dari Bapak. Isinya gak main-main lho, Vin!"
"Wah ... makin penasaran, nih! Ya udah, deh, Pak. Nanti Saya kabarin lagi, soalnya harus nanya-nanya dulu sama istri. Istri Saya itu malu-malu soalnya." Perjelas Calvin. Lagi-lagi Pak Arnold dibuat tertawa kecil akibat ucapan Calvin yang tak lagi seperti dulu.
Rasanya setelah anak itu menikah, aura yang terpancar dari wajahnya mulai berubah. Aura dewasa dan penuh tanggung jawab itulah yang terlihat oleh Pak Arnold.
"Duh, yang udah beristri mah beda, ya,"
"Yeeh, Bapak sendiri udah beristri duluan. Saya mah masih nob, emangnya Bapak yang udah pro?"
"Balik ngeledek. Ya sudah, Bapak mau lanjut ngajar. Ada kelas sepuluh menit lagi. Kamu udah beres, Vin?"
"Untuk hari ini cuman satu aja sih Pak, jadi sekarang bisa langsung pulang."
Tampak Pak Arnold yang mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. "Kalau begitu hati-hati di jalan, ya,"
"Makasih, Pak! Kalau begitu Saya juga permisi."
...****...
Begitu menapakkan kaki di halaman depan rumah, Calvin sudah lebih dulu menghela napas gusar. Raut wajahnya yang tampak cerah saat berhadapan dengan salah satu dosennya ketika berada di kampus tadi, nyatanya raut wajah itu hanya untuk menutupi sebuah kebohongan belaka.
Tidak ada cinta dalam pernikahannya.
Bahkan, tepat satu minggu pernikahannya dengan Naura saat ini, keduanya tidak pernah sekalipun tidur bersama.
Selain karena Calvin masih merasa bersalah pada Naura atas apa yang pernah Calvin lakukan pada Naura, Calvin juga tidak kuasa melihat raut wajahnya yang selalu tampak menyedihkan itu.
Di setiap malam setelah menikah, jadilah Calvin selalu tidur di atas kasur lantai, sementara tempat tidurnya menjadi milik Naura.
Gila saja Calvin menyuruh perempuan tidur di bawah! Sudah saja Naura dibuat tersiksa olehnya, jangan sampai perempuan itu dibuat terluka lagi oleh Calvin.
Dengan langkah berat, Calvin memasuki rumah dengan menenteng tas punggung di tangannya. Belum ada sekitar lima langkah memasuki rumah, aroma harum dari masakan mulai tercium oleh indera penciuman Calvin.
Spontan kepalanya menoleh ke arah pintu dapur. Tanpa disuruh sedikit pun, kedua kakinya sudah lebih dulu melangkah mengekori aroma harum tersebut yang semakin lama semakin menggodanya.
"Udah pulang, Vin?" Sahutan lembut itu berasal dari mulut sang mama, Fani, yang tengah mencicipi beberapa camilan kering di meja makan.
Lho, terus yang masak siapa?
Seketika, perhatian Calvin langsung menjelajah ke arah meja kompor. Tempat di mana seorang perempuan yang dapat diidentifikasi adalah Naura, tengah memasak tanpa sedikit pun merasa terganggu oleh kehadirannya.
"Mama masak apa?" Walau sudah tahu yang memasak bukanlah mamanya, tetapi jika Calvin bertanya pada Naura pun, perempuan itu tidak akan menjawabnya.
"Mama gak masak! Semuanya Naura yang masak. Coba, kamu tanya sendiri sama istri kamu!"
Aneh. Selepas mengatakan hal itu, mamanya langsung melenggang keluar dari dapur, dengan membawa beberapa toples camilan kering di pangkuannya.
Sial! Mamanya ini pasti sengaja! Mamanya tahu jika hubungan Calvin dengan Naura tidak sebaik pasangan suami istri pada umumnya.
"Ekhem."
Gugup. Satu hal itu seolah menguasai diri Calvin disela langkah kakinya menghampiri Naura yang masih saja fokus berkutat dengan kegiatannya.
Perlahan, Calvin melirik Naura lewat ujung matanya. "Masak apa?" Tanya Calvin pelan.
Siapa yang tahu, reaksi Naura yang berjengit kaget, membuat Calvin ikut berjengit. Kedua bola matanya seolah sudah mau meluncur keluar dari tempatnya.
"Astaga, Nau! Kagetnya biasa aja! Gue 'kan jadi ikut kaget."
Seperti biasa, tak ada jawaban lisan dari Naura. Hanya perubahan ekspresi dari yang awalnya syok menjadi agak cemberut. Dengusan sebal tiba-tiba keluar dari mulutnya.
"Nauraaa! Masak apa? Suaminya nanya, nih?" Calvin kembali melontarkan kalimat tanya, dan sialnya, ucapannya terdengar begitu rendah di telinga Naura.
Refleks Naura langsung mematikan kompor, seraya kembali menatap Calvin yang wajahnya lumayan cukup tinggi dari jangkauannya.
Lagi-lagi raut wajah cemberut yang Naura tampilkan ketika menatap Calvin. Namun, bedanya kali ini kedua pipinya terlihat sedikit bersemu, entah karena apa. Tapi yang pasti, Calvin lagi-lagi dibuat betah menatapnya.
Perlahan, Naura meraih ponselnya yang ditaruh di dalam saku celemek yang dia pakai. Jari jemari lentiknya mengutak-atik ponsel tersebut dengan lihai. Tak berapa lama, Naura memperlihatkan layar ponselnya pada Calvin yang berupa deretan teks untuk menjawab pertanyaan dari Calvin beberapa saat yang lalu.
Masak capcai.
"Masak capcai doang?" Pertanyaan lain yang terlontar dari mulut Calvin, lagi-lagi dibalas dengusan sebal oleh Naura.
Dengan malas, Naura kembali mengetikkan sesuatu di sana untuk menjawab pertanyaan Calvin.
Di meja makan udah aku buatin ayam kecap kesukaannya Mas Calvin. Dicoba dulu takutnya gak sesuai selera.
Diam-diam Calvin mengulum senyumannya membaca ketikan tangan Naura. "Makasih, ya. Pasti sesuai selera, kok. Naura 'kan jago masak."
"Ekhem. Papa mencium aroma cinta di sini!" Dehaman menggoda dari arah pintu masuk dapur, seketika menyadarkan sepasang pasutri baru itu dari apa yang tengah mereka lakukan.
Spontan Calvin berjalan mundur menjauhi Naura, pun dengan Naura yang berpura-pura sibuk memindahkan masakannya ke dalam wadah kosong.
"Tumben Papa ada di rumah? Nggak kerja?" Mencoba menghilangkan kecanggungan yang melanda, Calvin bertanya basa-basi pada sang papa, Divo, seolah tidak ada yang pernah terjadi sebelumnya.
Dengan tampang usil, Divo menatap wajah putranya penuh selidik. "Kenapa? Papa gangguin kalian?"
"Ekhem! Eng-gak! Biasa aja. By the way, Mama mana?"
"Tuh, lagi nerima paket."
"Belanja online lagi?"
"Gitu, deh."
Terjadi keheningan beberapa saat di antara mereka. Sampai ketika Naura menghidangkan masakannya, pun dengan Fani yang memasuki dapur, barulah suasana kembali hangat.
"Maket apa lagi, Mah?" Divo menyahut malas teruntuk istrinya. Sedangkan yang disahut hanya menyengir lebar tanpa dosa.
"Apaan sih, Pah! Bukan buat Mama, kok. Tapi buat Naura!" Ujar Fani.
Merasa terpanggil, Naura yang tengah mengambil beberapa alat makan di dalam rak lantas dibuat menoleh sekilas ke arah sang ibu mertua.
"Emang Mama beliin Naura apa?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Calvin.
"Rahasia dong! Udah, ah. Yuk, kita makan! Pasti semuanya udah pada laper 'kan? Kebetulan masakan hari ini Naura yang buat." Terang Fani, tak sedikit pun membuka spoiler tentang apa barang yang dibelinya teruntuk Naura.
"Btw, hari ini menunya cuman dua. Mama lupa belum belanja bulanan. Naura, nanti habis makan temenin Mama ke super market, ya?"
"Gak usah, Ma, biar aku aja sama Naura yang pergi. Mama di rumah aja." Ucapan penuh pengertian yang terucap dari Calvin, membuat Fani dan Divo, pun Naura yang lagi-lagi namanya terpanggil, spontan memokuskan perhatiannya pada Calvin.
"Serius?" Fani membekap mulutnya tak percaya, dengan sepasang bola mata yang sesekali akan melirik penuh arti pada suaminya.
"Serius." Jawab Calvin, tulus. Seulas senyuman manis kemudian tercetak di wajah Fani dan juga Divo.
"Oke. Tenang aja, belanjaannya nanti Mama catet, biar gak pusing."
...****...
Sore menjelang malam, Calvin ditemani Naura telah memasuki area super market sekitar beberapa menit yang lalu. Seolah takut berpencar, Calvin terus menggenggam tangan mungil Naura sampai ketika keduanya telah benar-benar sampai di area bahan makanan.
"Mama ngirimin note-nya gak? Coba lihat!" Calvin bertanya halus pada Naura yang mulai sibuk kembali mengutak-atik ponselnya.
Belum sempat Calvin melirik isi dari ponsel Naura, perempuan itu sudah lebih dulu menyerahkan ponselnya. Kemudian berlari kecil meninggalkan Calvin untuk menggapai sebuah troli yang akan digunakan untuk menaruh barang belanjaan.
"Kenapa gak minta tolong aja, sih? Udah, biar aku aja yang dorong, kamu yang nyari barang. Kalau ada yang susah, jangan lupa kasih tau, ya!" Calvin berlari mengekori Naura yang telah menggapai troli hendak membawanya ke hadapan Calvin.
Naura yang kebingunan dengan sikap lembut Calvin yang tiba-tiba, hanya bisa tersenyum simpul seraya mengangguk paham sebagai jawaban dari perkataannya. Lewat gestur tangannya, Naura mengode Calvin untuk cepat-cepat mengikuti langkahnya. Calvin yang paham pun lantas menurut mengekori di belakang.
"Kalau gak salah tadi di note Mama nyuruh beli daging ayam. Daging ayam di mana?" Walau tahu Naura tidak akan pernah menjawab pertanyaannya, Calvin tetap bersikukuh memulai obrolan agar dapat semakin dekat dengan Naura.
Dan, lihatlah saat ini. Jemari mungil Naura yang menyentuh ujung kemejanya, seketika membuat perhatian Calvin langsung beralih pada Naura.
Tak berhenti sampai di sana, perempuan itu mulai kembali mengetikkan sesuatu di ponselnya, yang tak lama kemudian ia perlihatkan pada Calvin.
Ke tempat sayuran dulu, yuk! Biasanya kalau di sana ada sayur, pasti ada daging. Aku tahu tempatnya di mana.
"Ya udah, tunjukkin jalannya. Aku ikutin kamu di belakang."
^^^To be continued...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Anya
soft bgt si vin☺
2023-04-27
0