Inari menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin kembali ke sana. Setelah memantapkan hatinya, Inari kembali meninggalkan perusahaan Papanya.
Siang itu sinar mentari cukup menyengat, dan untuk pertama kalinya Inari berada di bawah sinar matahari lebih dari sepuluh menit.
Tubuhnya terasa gerah luar biasa, keringat bercucuran dari kepala hingga kakinya. Dengan pelan Inari menghapus keringat di dahinya menggunakan punggung tangan.
“Haduh aku harus ke mana?” gumam Inari. Dia sangat bingung, tidak ada teman atau saudara yang rumahnya dekat dengan perusahaan Papanya.
Inari mengusap wajahnya kasar, kakinya sudah lelah. Ia sudah tidak punya tenaga untuk berjalan. Helaan nafas sudah beberapa kali keluar dari mulutnya.
Inari menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal sama sekali, dia benar-benar kebingungan. Kakinya terasa pegal, dia merasa benar-benar menjadi gelandangan yang duduk di trotoar.
Satu butir bening turun dari pelupuk matanya, namun dengan cepat Inari menghapusnya. Pandangannya tertunduk ke kakinya. “Papa jahat banget,” batin Inari.
Sekelebat angin membawa sampah bekas makanan ke hadapannya, “Iya aku tahu, sekarang aku sudah jadi sampah masyarakat. Tak usah menyindir kaya begitu,” gerutu Inari.
Inari menopang dagunya, ia membayangkan ada pangeran tampan yang mengulurkan tangan untuk membantunya. “Oppa saranghae ,” ucap Inari dengan wajah memlelas.
“Permisi nona, kakinya menghalangi pelanggan saya yang mau parkir.”
Inari mengarahkan wajahnya ke arah kanan, ternyata bukan oppa seperti dalam bayangannya. Ia mengerucutkan bibirnya, semua bayangannya sirna sudah.
Tiiiiin
Suara klakson panjang membuat Inari terlonjak dari tempatnya, karena terkejut.
“Minggir sana!” ketus seorang pria yang ingin memarkirkan motor sport yang sedang ia naiki.
Dengan wajah kesalnya Inari bangkit dan memberikan tatapan permusuhan pada pria yang menyebalkan bagi Inari.
“Sombong banget jadi orang,” gerutu Inari di dalam hatinya. Ia berjalan menjauh dari sana. Sampai di persimpangan jalan, Inari menunggu lampu penyebrangan berubah menjadi hijau.
Saat menunggu pandangannya tertuju pada sebuah bangunan berlantai dua di seberang jalan yang tampak ramai.
“Yayasan penyalur asisten rumah tangga Cinta Kasih,” ucap Inai membaca papan yang terdapat di area bangunan itu.
Lampu penyebrangan sudah hijau Inari masih bergulat dengan hatinya, dia tidak sudi menjadi seorang pelayan. Tapi dia juga tidak tahu harus tinggal di mana, Inari tidak ingin tinggal di jalanan dan menjadi gelandangan sungguhan.
Inari turun tanpa melihat bahwa lampu penyebrangan sudah berubah merah, dia hampir saja tertabrak oleh pengendara mobil papan kelas atas yang kini hampir menabrak tubuhnya.
Nafas lega keluar dari mulut Inari melihat tubuhnya serta bagian depan mobil itu hanya berjarak lima centimeter. “Hah selamat,” ucap Inari sambil mengusap dadanya yang berdebar.
“Kamu baik-baik saja?”
Inari menoleh ke asal suara. Ternyata pria yang membawa mobil itu sangat tampan, rambutnya rapi wajahnya mirip oppa korea. Inari benar-benar speacles melihatnya, bagaikan air segar di gurun sahara yang membasahi tubuhnya yang kepanasan.
“Hey!”
Inari terlonjak kaget saat pria itu menepuk bahunya. “Iya kenapa?” tanya Inari.
“Apa ada yang luka?” Pria itu kini memperhatikan tubuh Inari.
Inari menggelengkan kepalanya, “Aku enggak papa,” jawab Inari sambil tersenyum.
Tanpa bersuara pria itu kini masuk kembali ke dalam mobilnya. Inari naik ke atas trotoar agar tidak menghalangi jalan pria itu. Inari memperhatikan bagian belakang mobil pria itu yang kini melaju dan hilang dari pandangannya.
Inari menunggu lampu penyebrangan kembali hijau. Setelah lampu berubah ia berjalan menuju rumah yayasan yang ada di ujung jalan.
Sebelum masuk Inari di sapa oleh sang penjaga, “Ada perlu apa nona?”
“Saya ingin melamar pekerjaan pak,” Jawab Inari sambil tersenyum ramah.
“Mari saya antar.”
Inari mengikuti penjaga tersebut hingga masuk ke meja resepsionis.
“Ada yang mau melamar pekerjaan.”
“Baik Pak. Silakan di isi datanya dulu.” Resepsionis memberikan lembaran data diri yang harus di isi.
Inari menerima dan mulai mengisinya, dia hanya menyematkan pendidikan terakhirnya SMA.
Resepsionis itu memperhatikan baju yang Inari pakai, terlihat baju dari desainer ternama. Tapi ia menghiraukan, ‘mana ada orang kaya mau menjadi pelayanan. Mungkin hanya mirip saja bajunya, atau barang kw’ begitu pendapatnya.
“Ini Bu.” Inari memberikan formulir tersebut pada resepsionis.
Resepsionis tersebut membaca formulir yang sudah di isi Inari. Namun perhatian wanita itu terkalihkan saat seorang wanita paru baya menghampiri meja resepsionis.
“Wita bagaimana ini, kenapa Siti tidak bisa di hubungi. Harusnya hari ini dia sudah mulai bekerja di rumah majikannya.”
Perempuan resepsionis yang di panggil dengan nama Wita tampak berpikir. “Bagaimana Bu, semua kan sudah mendapatkan tempatnya masing-masing. Ada penganti pun tidak mungkin bisa hari ini sampai, karena pengganti ini berada di luar kota.”
“Saya saja Bu, yang bekerja di sana. Saya siap.” Inari mencoba peruntungan, dengan menjadi pelayanan setidaknya dia memiliki tempat tinggal. Dia tidak ingin tidur di kolong jembatan atau di depan ruko-ruko yang sudah tutup.
“Memangnya kamu sudah memiliki pengalaman?”
“Saya sudah 2 tahun bekerja menjadi pelayanan.” Inari memberikan jawaban palsu, selama ini bukan ia menjadi pelayan tapi Inari menjadi nona dengan beberapa pelayanan yang membantu aktivitasnya.
Setidaknya Inari sedikit tahu bagaimana memperlakukan majikan, jika dia benar-benar menjadi pelayanan sungguhan.
“Kamu ikut saya!”
Di dalam hati Inari bersorak gembira ternyata dewi keberuntungan sedang berpihak padanya. Meskipun jadi hanya bekerja menjadi pelayan, setidaknya dia tidak menjadi gelandangan dan sampah masyarakat.
Inari di antara oleh supir kantor untuk sampai di rumah majikannya. Inari tersenyum pada pria penjaga keamanan rumah.
Inari memberikan senyum ramahnya, “Permisi pak, saya pelayan yang di akan bekerja di rumah ini.”
“Surat tugasnya?“
Inari mengeluarkan amplop yang di berikan oleh perempuan paruh baya yang menjadi malaikat penolongnya.
Penjaga tersebut melirik ke arah perempuan yang sedang menyiram tanaman. “Minah”
Merasa namanya di panggil perempuan bernama Minah itu menghampiri Supri penjaga gerbang.
“Ada apa?”
“Ini pelayan baru untuk tuan Arzan dan tuan Bara.”
“Ayo mbak ikut saya,” ucap Minah dengan senyuman gembira, dia memiliki teman baru dan tidak sendirian lagi.
Inari mengikuti perempuan bernama Minah yang masuk ke rumah besar yang ada di hadapannya. Tidak terlalu besar, hampir sama dengan rumah milik Papa Inari.
Inari menghentikan langkahnya karena terkejut melihat dua orang yang dia temui di jalanan tadi ternyata majikannya.
“Tuan Arzan ini pelayanan dari yayasan.”
Melihat dua tatapan pria itu kini mengarah padanya, Inari membungkuk memberi hormat kepada tuannya.
Inari refleks melakukan itu, instingnya yang berbicara untuk melakukan itu, mungkin karena selama ini pelayannya selalu melakukan hal seperti itu jika bertemu dengan Inari dan tanpa sadar ingatannya merekam itu semua.
“Perkenalkan dirimu!”
Suara tuan Arzan terdengar tegas dan jelas di telinga Inari. Dia cukup terkejut perubahan Arzan saat bertemu di simpang jalan, tapi Inari berusaha menutupinya dengan tersenyum ramah.
“Nama saya Inari.”
Pria yang sedang duduk tertarik menimpali ucapan pelayanan barunya. “Terlalu sulit memanggil namamu, mungkin akan lebih baik jika namamu di panggil Riri. Bagaimana bagus tidak ka?”
Di balik senyumnya rasanya Inari ingin mengumpat kesal pada pria songong yang sedang duduk santai di tempatnya. Bagaimana tidak kesal pria itu yang seenak jidat mengusir Inari di tempat parkir saat duduk.
Arzan tidak ingin memberikan pendapat yang tidak penting baginya. Ia berjalan masuk ke ruangan yang tidak jauh dari sana.
Bara yang mengerti sikap kakaknya memilih diam, dia fokus padan ponselnya membalas pesan kekasihnya.
Inari kembali menundukkan kepala saat Arzan kembali menghampirinya. “Tugas kamu sudah tercatat di sini, semuanya. Untuk hari ini kamu boleh istirahat, besok pagi lakukan semua tugasmu dengan baik.”
“Baik tuan,” Jawab Inari.
Lewat tatapan matanya Arzan meminta Minah untuk mengantarkan Inari ke kamar yang di sediakan untuk semua orang yang bekerja di rumah ini.
“Saya permisi tuan,” Minah pamit sebelum menjalankan perintah tuannya.
Inari membungkuk tanda hormat kepada Arzan, sebelum berjalan mengikuti Minah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Devinta ApriL
aaahh mungkinkah Pria yang hampir menabrak Inar tadi..
2023-04-17
0
Devinta ApriL
wkwkkkk kesindir sama sampah terbang.. 😂😂🤣
2023-04-17
2