Bab 5

"Coba sama sepatunya, Mel! Pas juga apa enggak?" Ibu menunjuk sepatu yang masih ada di dalam kotak transparan bersama sebuah tas dengan warna senada.

Aku menurut, aku segera membuka kotak transparan itu. Sepatu yang cantik, aku suka saat pertama kali melihatnya.

"Kayaknya kekecilan deh, Bu." Aku mengira-ira.

"Dicoba aja langsung! Biar tau pas apa enggak."

"Baik, Bu."

Aku mencoba sepatu flat itu di kaki kananku, dan ternyata seperti dugaanku.

"Nggak muat, Bu. Kekecilan." Meskipun dipaksa, kakiku tetap tidak bisa masuk.

"Kamu, sih. Badannya kecil, tapi kakinya besar. Udah seperti kaki laki-laki aja!" Ibu tersenyum melihat kekecewaanku.

"Yah, Bu. Kan bukan aku yang mau. Tapi udah dari sononya, dikasihnya seperti ini. Yaudah diterima aja, kan?" Aku memilih melepas sepatunya. Daripada jadi rusak, kalau tetap dipaksa.

"Yaudah nggak papa, besok kalau udah jadi istrinya, tinggal minta dibelikan lagi yang ukurannya lebih besar dari ini. Mending kamu bilang juga, takutnya besok kalau ada hantaran lagi, ukurannya kekecilan lagi, kan?"

"Tapi malu, Bu. Malah seperti nodong gitu?"

"Ya nggak masalah, daripada mubadzir? Apa mau kamu kasihkan ke orang lain?"

"Ya, jangan, Bu. Masa dikasih ke orang lain sih?"

"Nah makanya itu, kan mending kamu bilang sekarang, daripada nanti terlanjur dibelikan lagi, kan?"

"Iya juga sih, Bu. Tapi aku malu kalau harus sering-sering kirim pesan. Takut nanti kebablasan. Jadi nggak baik, kan?" Aku masih saja beralasan.

"Ya besok ngomong langsung, kalau lagi balas lamaran."

"Balas lamaran? Emang ada acara gitu ya, Bu? Aku kira udah lamaran, udah diterima, ya udah selesai begitu. Ternyata ada acara lagi?" Aku menyimpan kembali sepatu ke dalam kotaknya.

"Iya, besok kamu sama Bapak ke rumah Pak Yusuf, balas lamaran. Bawa oleh-oleh ke sana."

"Aku sama Bapak aja, Bu? Ibu nggak ikut?"

"Enggak, nanti Singgih sama siapa? Kalau ikut sekalian, repot bawa barangnya juga. Kalau kamu sama bapak aja kan pakai motor aja udah cukup. Kalau sekeluarga ikut semua, nanti harus sewa mobil juga, nambah biaya kan?" Ibu memberikan penjelasan yang masuk akal.

"Iya juga sih, Bu." Aku mengangguk paham.

Setelah semuanya selesai, aku segera masuk ke kamar. Bersiap untuk istirahat. Ternyata sudah cukup larut. Aku harus segera tidur, kalau tidak mau terambat bangun untuk sembahyang. Tapi seperti yang sudah menjadi kebiasaan orang jaman sekarang, aku memeriksa ponsel terlebih dahulu, siapa tau ada info penting yang harus segera ku ketahui.

Ternyata Mas Aak juga mengirimiku pesan. Jujur saja, aku berdebar saat membuka pesannya. Apa aku sudah mulai jatuh cinta pada calon suamiku itu? Calon suami yang sangat jauh dari kriteria pria idamanku? Aku menarik nafas panjang.

"Oke, lupakan kriteria pria idaman. Fokus pada pria yang akan jadi suamimu aja! Biar bagaimanapun, dia yang akan jadi suamimu besok, Mel." Aku bergumam sendiri di dalam kamar. Semoga saja tidak ada yang mendengarnya.

Aku kembali menarik nafas, kemudian membuka pesan dari Mas Aak dan membacanya dengan lengkap.

[Gimana, Dek? Baju sama sepatunya pas? Semoga kamu suka, aku yakin itu pasti cocok buat kamu.]

[Selamat malam.]

[Selamat berisitirahat.]

Aku tersenyum sendiri membacanya, terasa kaku tapi ternyata cukup membuat hati berbunga-bunga. Ternyata seperti ini rasanya mendapat perhatian dari seorang laki-laki.

"Astaghfirullah!" Aku segera beristighfar, mengendalikan hatiku. Tidak sepantasnya aku seperti ini. Biar bagaimanapun, dia belum halal untukku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, menolak berpikiran yang melenceng.

Aku memutuskan untuk menyimpan ponselku. Aku tidak membalas pesan dari Mas Aak. Sudah terlalu malam, tidak baik untuk kami berdua, aku takut akan menimbulkan godaan untuk kami berdua. Lebih baik kubalas besok pagi saja. Akan kubalas sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.

***

Satu minggu kemudian, aku dan Bapak berkunjung ke rumah Pak Yusuf untuk membalas lamaran. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku, hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dengan mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Aku melihat-lihat disekitar rumah, sebelum pintunya dibuka.

Di garasi, ada sebuah mobil dengan dua motor vespa, juga tiga motor bebek. Mungkin saja Mas Aak adalah penggemar motor vespa. Mereka benar-benar keluarga berada. Jujur saja, aku jadi minder, takut kalau keluargaku tidak sebanding dengan keluarga Mas Aak. mengingat kami dari keluarga biasa-biasa saja, bukan keluarga kaya ataupun keluarga terpandang.Tapi aku tetap merasa beruntung, karena Bapak adalah sosok yang sangat peduli dengan pendidikan anaknya, jadi aku bisa menyelesaikan kuliah, sampai akhirnya menjadi guru. Meskipun baru guru honorer, tapi aku berharap itu bisa mengangkat derajat orang tuaku.

Aku menggeleng pelan. Aku tidak boleh berpikiran buruk tentang keluarga Mas Aak. Aku  yakin, calon mertuaku tidak akan mempermasalahkan soal harta, mengingat mereka orang yang paham agama.

Tak lama kemudian, pintu dibukakan. Kami dipersilahkan untuk masuk. Aku dan Bapak menurut, kami masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Tak kusangka, calon ibu mertuaku duduk disampingku. Beliau menyambutku dengan hangat. Saat Bapak beramah tamah dengan Pak Yusuf, Mas Imron dan Mas Aak, Bu Yusuf mengajakku ngobrol berdua.

"Gimana, Nak Mela? Mengajarnya lancar?" Bu Yusuf duduk memiringkan duduknya, supaya kami bisa berhadapan, meskipun duduk berdampingan di sofa panjang itu.

"Alhamdulillah, lancar, Bu." Aku tersenyum kikuk, aku takut kalau berlaku kurang sopan. Mengingat Bu Yusuf adalah pensiunan guru agama, jujur saja aku takut dinilai oleh beliau.

"Syukurlah. Sudah mengajar berapa lama? Jadi guru kelas berapa?" Bu Yusuf kembali bertanya, masih membahas tentang profesiku.

"Baru sekitar dua tahun, Bu. Belum terlalu lama. Saat ini pegang kelas tiga, Bu. Kalau pegang kelas besar, masih belum berani soalnya. Masih kurang pengalaman."

"Nggak papa, besok lama-lama juga jadi bisa. Bisa itu karena terbiasa. Yang penting tetap semangat untuk mengabdi, mencari pahala." Bu Yusuf kembali tersenyum, senyum yang begitu teduh menyejukkan.

"Iya, Bu. Semoga saja. Kalau Mas Aak masih mengijinkan saya untuk mengajar, setelah menikah nanti." Aku tiba-tiba saja jadi khawatir, takut kalau tidak diperbolehkan mengajar lagi. Mengingat sebagai seorang istri, harus mengikuti perintah suami. Tapi aku harap, Mas Aak tetap mengijinkanku untuk mengajar. Mengingat kedua orang tuanya juga sama-sama pensiunan pengajar.

"Pasti diijinkan. Kalau nggak dikasih ijin, bilang sama Ibu! Biar Ibu yang kasih tau ke Aak. Apa pentingnya mengajar. Lagi pula, kalau di rumah terus, pasti kamu juga bakalan bosen. Kalau di sekolah, pasti akan ada aja pengalaman baru yang nggak akan kamu dapat kalau kamu di rumah aja." Calon ibu mertuaku kembali meyakinkanku. Aku bisa melihat, pasti dulunya beliau orang yang sangat energik dan antusias dalam mengajar.

"Betul juga sih, Bu." Aku mengangguk, beruntung akan ada yang tetap mendukungku menjalani profesiku.

"Lagipula, Aak juga belum punya pekerjaan tetap. Jadi kalau kamu mengajar, setidaknya kamu akan punya uang untuk kebutuhan kalian nanti."

Deg!

Aku terdiam, aku belum bisa berkomentar. Jadi, apa aku yang harus mencari biaya hidup kami berdua nanti?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!