Bab 2

Aku memperlihatkan CV yang kulihat melalui laptop itu, supaya bisa terlihat dengan jelas. Termasuk juga fotonya.

"Apa yang salah sih, Bu? Orangnya gendut ya? Dekil dan nggak tampan? Juga nggak rapi?" Bu Lina hanya memperhatikan fotonya saja.

"Bukan itu, Bu. Aku nggak masalah sama fotonya kok. Seperti apapun, itu tetap ciptaan Allah, tidak boleh kita cela."

"Trus, apa yang jadi masalah? Nggak sesuai kriteria?" Bu Lina menebak apa yang aku pikirkan.

Aku mengangguk pelan.

"Emangnya seperti apa kriteria pria idamanmu, sih?"

"Ya pengennya yang seprofesi, Bu. Guru atau yang lainnya. Pokoknya yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, seorang ustadz juga boleh. Yang berpenampilan rapi, nggak merokok, nggak neko-neko, suka membaca, pinter, pokoknya yang begitu-begitu deh." Aku tersenyum karena berangan-angan, membayangkan pria idamanku, sepertinya akan menyenangkan, kalau punya suami yang seprofesi. Pasti akan saling mengerti dan saling membantu dalam segala hal, termasuk dalam pekerjaan di luar.

"Nah itu, yang kirim CV seperti apa orangnya?" Bu Lina bertanya lebih lanjut. Sepertinya dia belum membaca isi dari CV yang dia kirimkan padaku tadi.

"Nggak suka membaca, merokok, ikut komunitas pecinta vespa, tadarus juga jarang. Untungnya sih masih punya nilai tambah, dia selalu sembahyang lima waktu tanpa bolong." Aku memberikan sedikit gambaran dari apa yang tertulis dalam CV itu.

"Jauh banget dari kriteria idamanmu berarti ya?" Bu Lina manggut-manggut, sepertinya dia paham dengan apa yang kurasakan.

"Ya begitulah, tapi gimana ya, Bu? Aku terlanjur setuju dijodohkan dengan dia. Aku nggak mau membuat Bapak kecewa, juga membuat nama baik Bapak jadi buruk, karena dianggap perkataannya tidak bisa dipercaya." Aku kembali dalam kebimbangan, antara menuruti egoku, atau menjaga nama baik bapakku.

"Kalau pihak sananya gimana? Dia pasti mau sama kamu?"

"Katanya sih begitu, dia mau menerima siapapun, yang penting mau sama dia. Soalnya udah lama nggak nikah-nikah, dicarikan sana sini, cari sendiri, belum ada yang mau sampai saat ini. Jadi, dia nggak punya syarat macem-macem, yang penting mau aja. Nggak perlu yang lain-lain." Aku mengingat-ingat apa kata Bapak tempo hari, kasian juga kalau aku juga menolak lamarannya. Mungkin aku sama saja seperti perempuan lainnya, yang tidak bisa menerima dirinya.

"Wah, ya berat ya. Nggak ada kesempatan buat membatalkan perjodohan itu. Kalau sananya nggak bakalan menolak gitu."

"Iya, aku juga nggak enak mau bilang sama Bapak. Jadi aku lebih baik gimana ya?" Aku meminta pendapat pada Bu Lina, berharap mendapat jalan keluar.

"Coba dibicarakan aja dulu, Bu. Apa yang tidak disukai, mau nggak kalau dia merubahnya, gitu. Jadi kan ada komunikasi, nggak cuma dipendam sendiri, Bu. Takutnya akan jadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Nggak baik juga untuk kelangsungan hubungan. Karena yang namanya pernikahan itu bukan hal yang main-main, Bu. Pernikahan itu akan berjalan terus seumur hidup, kan? Jadi ya harapannya kita bersama dengan orang yang cocok sama kita. Bisa saling melengkapi dan menghargai." Bu Lina memberikan nasehat terbaiknya padaku. Aku juga setuju dengan hal itu. Menikah memang harapannya hanya sekali seumur hidup. Tapi, apa aku siap, hidup bersama dengan orang yang karakternya tidak sesuai dengan harapanku?

"Ada apa ini, kok sepertinya serius sekali?" Bu Laras, guru pendidikan agama di sekolahku ikut nimbrung.

"Hehe, enggak, Bu." Aku hanya tersenyum, aku belum bisa menceritakan ini pada orang lain. Meskipun sesama teman di sekolah, tapi aku masih sungkan dengan beliau yang lebih senior.

"Ini, Bu. Bu Mela dijodohkan sama laki-laki yang belum dia kenal, dan dari CV yang dikirimkan, ternyata Bu Mela kurang suka dengan beliau. Jadi ini Bu Mela lagi bingung, mau melanjutkan, atau tidak. Karena ini menyangkut nama baik bapaknya, Bu." Bu Lina justru membeberkan apa yang seharusnya ingin kurahasiakan. Dasar ember memang! Aku hanya melirik sekilas pada Bu Lina, lirikan tajam penuh ancaman, kalau memang dia bisa memahami.

"Wah, alhamdulillah, Bu Mela. Akhirnya akan menikah juga. Saya turut bahagia ya." Bu Laras tersenyum sumringah, khas beliau yang kalem tapi tegas.

"Hehe, iya, Bu. Tapi masih bingung itu. Karena ada beberapa hal yang tidak saya sukai dari beliau. Saya tau, kalau cinta, mungkin bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Tapi kalau masalah kebiasaan yang buruk, apa saya bisa memakluminya, Bu?" Aku mencoba mencari solusi dari Bu Laras yang memang sudah senior, mungkin saja beliau bisa memberikan petunjuk pembuka hatiku.

"Begini, Bu Mela. Namanya manusia, itu memang tidak ada yang sempurna. Semua pasti memiliki kelebiha dan kekurangan. Begitu juga dengan diri kita. Kita sebagai perempuan, boleh memiliki kriteria untuk calon pendamping kita. Tapi kita juga harus ingat, mereka juga pasti punya kriteria untuk calon pendampingnya kelak, kan? Nah, pertanyaannya, apakah kita juga sudah seperti apa yang mereka inginkan? Jadi jangan hanya menuntut tanpa berkaca ya." Ucapan Bu Laras benar-benar menusuk hatiku. Beliau benar, aku tidak boleh terlalu sombong, merasa pantas mendapatkan lelaki seperti apa yang kuinginkan. Padahal bisa saja, lelaki yang memiliki kriteria itu, justru tidak mau denganku yang biasa-biasa saja ini kan?

"Betul juga, Bu." Aku manggut-manggut, menanggapi ucapan Bu Laras.

"Nah begitu, Bu. Siapa tau, memang Bu Mela adalah jodoh yang dituliskan untuk beliau. Dan besok, setelah bersama Bu Mela, bisa saja, beliau mau merubah semua kebiasaan buruknya, karena rasa cintanya pada Bu Mela, kan? Kebiasaan buruk itu, bisa dilawan, yang penting ada kemauan, Bu. Jadi, tetap ada harapan bisa berubah." Bu Laras melanjutkan.

"Semoga saja seperti itu ya, Bu."

"Nah iya, kalau Bu Mela bisa merubah semua kebiasaan buruk dari beliau, kan akan jadi pahala yang luar biasa? Apa tidak kepengen seperti itu?" Bu Laras tersenyum, ucapannya benar-benar membuatku jadi yakin, keren sekali kalau bisa membuat kebiasaan buruk jadi baik.

"Baiklah, Bu. Terimakasih banyak sarannya." Aku membalas senyum Bu Laras.

"Kalau memang masih tetap ragu, lebih baik sholat istkhoroh dulu saja, Bu. Minta petunjuk pada Sang Maha Kuasa, apakah memang beliau jodoh terbaik untuk Bu Mela?" Bu Laras menambahkan.

"Tapi kalau misalnya tidak kunjung bermimpi, bagaimana, Bu?"

"Petunjuk tidak selalu dalam bentuk mimpi, Bu. Tapi bisa juga berupa kemantapan hati. Hati menjadi lebih yakin dan mantap untuk mengambil keputusan, itu juga merupakan sebuah petunjuk. Jangan lupa, coba dikomunikasikan juga, buat semacam perjanjian tidak tertulis, supaya beliau tidak kaget, kalau tiba-tiba saat jadi istrinya kelak, Bu Mela jadi banyak mengatur dan banyak maunya, misalnya."

"Baik, Bu. Nanti akan saya tanyakan. Terimakasih banyak ya, Bu." Aku tersenyum.

Aku segera mengetikkan balasan untuk Mas Aak.

[Maaf, Mas. Ada beberapa hal yang saya kurang suka dari kebiasaan Mas Aak. Apa nanti jika sudah menikah, Mas Aak bersedia untuk merubahnya?]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!