Saat semua tamu undangan sudah sampai, termasuk saksi yang diundang oleh Bapak juga sudah hadir, acara lamaran pun segera dimulai. Aku duduk di samping ibuku, mencari ketenangan di sana. Sedangkan Mas Aak, berada tepat di seberangku, duduk di antara kedua orang tuanya yang terlihat sangat berwibawa di usianya yang sudah lanjut. Jujur saja, aku lebih berdebar saat melihat kedua orang tua Mas Aak, aku khawatir tidak bisa menjadi menantu yang baik untuk mereka.
Sesekali aku melihat ke arah mereka bertiga yang terhalang hantaran di tengah-tengah lingkaran yang kami bentuk. Kami memang hanya duduk beralaskan tikar yang digelar, karena bisa muat untuk orang banyak.
Acara demi acara telah terlewati, sampai akhirnya tiba acara inti. Pak RT membawakan acara inti, mewakili Bapak, sebagai tuan rumah.
"Mas Aak, apakah bersedia menerima Mbak Mela beserta semua kekurangan dari Mbak Mela?" Pak RT terlebih dahulu bertanya pada Mas Aak.
"Bersedia, Pak!" Mas Aak menjawab dengan mantap. Hatiku bergetar saat mendengarnya, apakah aku bisa semantap beliau nanti saat ditanyai?
"Baiklah, karena kalau kelebihan, semua orang pasti bisa menerima ya. Tapi tidak dengan kekurangan, terkadang orang hanya mau menerima kelabihannya saja, tapi ketikan mengetahui kekurangannya, langsung mundur pelan-pelan, atau tidak terima dan lain sebagainya." Pak RT menambahkan. Semua yang hadir manggut-manggut mendengar ucapan Pak RT. Memang benar adanya, apa aku siap menerima Mas Aak dengan segala kekurangannya itu? Aku menarik nafas panjang, kembali meyakinkan hatiku yang masih sedikit ragu, sampai saat ini.
"Bagaimana, Mbak Mela? Bersedia menerima Mas Aak beserta semua kekurangannya?" Giliranku yang ditanyai Pak RT. Aku diam sejenak, membuat semua orang menunggu jawabanku. Aku menunduk dalam dan memejamkan mataku kuat-kuat.
"Bismillah, bersedia, Pak." Ucapku pada akhirnya.
"Alhamdulillah." Semua orang mengucapkannya. Membuatku merinding. Aku memantapkan hati, setidaknya aku sudah berbekal niat yang tulus karena Allah. Semoga saja semuanya dimudahkan dilancarkan oleh-Nya.
"Baiklah, acara selanjutnya adalah pemberian cincin sebagai tanda pengikat. Kepada Mbak Mela dan Mas Aak, kami persilahkan untuk maju ke tengah-tengah, supaya semua bisa melihat dengan jelas. Yang mau mengabadikan momen ini, silahkan bersiap-siap." Pak RT melanjutkan acara berikutnya.
Dalam hati aku bertanya-tanya, kenapa harus Mas Aak sendiri yang memakaikan cincin di jariku? Kenapa tidak diwakilkan pada ibunya, atau kakak perempuannya saja? Ya Allah, aku bisa berdosa ini, bersentuhan sebelum halal. Padahal aku sudah berusaha mati-matian selama ini untuk menjaga kulitku dari sentuhan laki-laki yang bukan mahromku.
"Bu! Ibu aja yang maju ya!" Aku berbisik pada ibuku.
"Ya nggak bisa, kan kamu yang dilamar. Bukan ibu. Udah, sana cepetan maju! Keburu tambah malam, kasihan kan tamunya, nanti pulang kemaleman?" Ibu menyenggol-nyenggol lenganku, menyuruhku untuk segera mengikuti apa perintah dari Pak RT. Dengan terpaksa, aku akhirnya maju, begitu juga dengan Mas Aak. Dia maju dengan membawa kotak merah berbentuk hati, aku yakin itu isinya cincin.
"Mas, cincinnya aku pakai sendiri aja, ya!" Bisikku pada Mas Aak, kata pertama yang aku ucapkan langsung padanya. Entah kenapa, hatiku benar-benar berdebar. Apa aku sudah mulai jatuh cinta? Entahlah.
"Lah? Masa dipakai sendiri?" Mas Aak tentu saja tidak akan begitu saja mengabulkan permintaanku yang memang konyol.
"Silahkan, Mas Aak! Cincinnya dipakaikan ke jari manis tangan kiri Mbak Mela." Pak RT kembali memberikan perintah, melihat kami berdua yang tidak segera melakukan apa yang diperintahkan tadi.
"Baik, Pak!" Mas Aak menjawab dengan lantang, dia sepertinya memang sudah sangat mantap dengan keputusan ini.
"Sini! Mana tangannya?"
Aku mengulurkan tangan kiriku perlahan.
"Jangan sampai nyentuh ya, Mas!" Aku berpesan pada Mas Aak, sebelum ia terlanjur menyentuh tanganku nantinya.
"Iya, iya. Aku paham, kok." Mas Aak segera memasukkan cincin ke jariku, meskipun tidak sampai masuk dengan sempurna, setidaknya momen memakaikan cincin sudah terdokumentasi.
"Tepuk tangan yang meriah!" Pak RT bertepuk tangan terlebih dahulu, disusul oleh yang lainnya. Aku segera menarik tanganku, kemudian membetulkan cincinnya sendiri. Aku heran, kenapa bisa pas. Padahal Mas Aak tidak pernah bertanya sebelumnya ukuran cincinku, juga belum pernah melihat jariku secara langsung. Jangankan jari, bertemu langsung saja belum pernah. Tapi, kenapa bisa pas begini? Apakah ini yang namanya jodoh?
"Baiklah, acara inti sudah terlaksana ya, dengan ini berarti Mbak Mela sudah terikat oleh Mas Aak. Jadi tidak boleh menerima lamaran dari orang lain, kecuali sudah ada perjanjian sebelumnya untuk membatalkan lamaran ini." Pak RT berpesan pada kami. Aku hanya mengangguk, aku sudah tau tentang hal ini.
Acara selanjutnya menentukan hari dan tanggal pernikahan. Sampai akhirnya diputuskan kami berdua akan menikah dua bulan lagi. Waktu yang cukup singkat sepertinya, mengingat pasti banyak sekali yang harus dipersiapkan. Tapi demi kebaikan kami berdua, supaya tidak menjadi fitnah, kalau jarak lamaran dan pernikahan terlalu lama. Juga meminimalisir godaan-godaan yang biasa menghampiri calon pengantin.
Ya sudahlah, bagaimana lagi. Bapak dan juga calon mertuaku setuju dengan hal itu, jadi aku hanya bisa ikut saja. Apalagi aku hanya penganut memakai dana orang tua, jadi yang penting mereka siap saja. Aku tinggal memersiapkan hal-hal lain seperti administrasi, rias pengantin dan lain-lain. Masalah tempat, hidangan dan hal yang bersifat besar, biar di tangani Bapak saja.
Setelah acara inti selesai, kami semua menikmati hidangan yang sudah disiapkan oleh tetangga yang membantu acara ini, sambil beramah tamah, mengobrol bagi mereka yang mau mengobrol. Tapi aku tidak ikut mengobrol, aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri. Masih belum menyangka, semuanya berjalan sangat cepat dan tiba-tiba.
***
Setelah para tamu pulang, Ibu juga para tetangga semangat sekali membongkar hantaran yang dibawa keluarga Mas Aak. Hantaran yang berupa makanan, segera saja di bongkar dan dibagikan pada tetangga yang ikut membantu mempersiapkan acara lamaran ini. Sedangkan hantaran yang berupa barang-barang, masih dibiarkan saja. Mereka tidak berani membongkarnya.
"Bu, ini boleh dibongkar juga nggak sih? Apa dipakai lagi besok kalau pas pernikahan?" Aku bertanya pada ibuku, aku memang tidak tau dalam hal ini.
"Itu kan udah buat kamu, Mel. Ya udah terserah sama kamu. Kan lebih baik kalau segera dipakai, jadi bermanfaat. Kalau cuma di diemin aja sih buat apa? Mubadzir kan?"
"Iya juga sih." Aku manggut-manggut.
"Lagipula, besok kalau pas hari pernikahan, pasti mereka bawa hantaran lagi. Macem-macem. Lebih banyak dari ini, Mel. Nggak mungkin pakai yang udah di sini. Masa mau diminta lagi, trus dibawa ke sini lagi? Nggak mungkin kan?" Ibu menambahkan.
"Iya juga sih, Bu."
Aku mulai membongkar hantaran yang memakai ukuran. Disaksikan tetangga yang masih belum pulang, aku mencoba satu persatu pakaian yang diberikan Mas Aak.
"Wah! Pas banget, Mel! Cocok sama kamu!" Para tetangga berkomentar, melihat aku memakai baju gamis, lengkap dengan jilbab lebarnya.
"Alhamdulillah, Mas Aak tau seleraku." Aku membatin, senyumku mengembang. Ada harapan, semua akan baik-baik saja ke depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments