Aku menutup mataku dengan telapak tangan kananku, "Ya ampun, formal banget bahasaku," batinku. Tapi tidak apa-apalah, namanya juga belum saling mengenal, wajar kan kalau pakai bahasan formal? Supaya ada kesan menghormati.
Tak lama kemudian, sebuah balasan masuk. Aku segera membacanya, aku takut kalau pesanku tadi menyinggung perasaannya. Ternyata benar saja, jawabannya sangat singkat, tapi lumayan positif.
[Akan ku coba.]
Itu saja yang tertulis. Aku bingung harus menjawab apa lagi, karena aku memang tidak terbiasa berbalas pesan dengan laki-laki. Apalagi ini memang dengan tujuan yang sangat sensitif. Aku takut kalau kebablasan, jadi hubungan yang tidak baik sebelum halal.
[Trimakasih, Mas.]
Akhirnya hanya itu saja yang kutulis. Aku saudah tidak berharap balasan lagi. Tapi ternyata, Mas Aak masih membalas lagi, aku segera membacanya.
[Minggu depan aku datang bersama rombongan, untuk melamarmu.]
Deg!
Wajahku seketika memanas, darahku seperti mendidih. Secepat ini? Langsung lamaran? Kami bahkan belum pernah bertemu! Apa ini mungkin?
Aku memilih untuk tidak membalasnya, akan kutanyakan pada Bapak nanti di rumah.
***
Malam hari setelah Bapak sedang bersantai, aku memberanikan diri untuk membicarakan tentang lamaran itu.
"Pak!" Aku memanggil dengan lembut.
"Ya, ada apa,Mel?" Bapak melepas kacamatanya, dan meletakkan HP yang sedang beliau gunakan tadi di atas meja.
"Katanya Mas Aak, minggu depan rombongannya mau ke sini untuk melamarku. Apa Bapak Ibu sudah tau?" Aku langsung mengatakan pada intinya.
"Iya, Bapak Ibu sudah tau. Pak Imroni, kakak sulungnya Aak sudah kasih tau. Kamu siap kan? Kamu akan menerima lamarannya, kan?" Bapak bertanya, wajahnya menunjukkan wajah penuh harap. Ya Tuhan, aku tidak bisa menolak kalau Bapak sudah bersikap seperti ini. Apa ini memang sebuah petunjuk, kalau memang Mas Aak adalah jodoh untukku?
"Apa ini tidak terlalu cepat, Pak?" Aku mencoba bernego, siapa tau bisa mengulur sedikit waktu, sampai aku merasa siap.
"Tidak baik menunda kebaikan, Mel. Untuk urusan kebaikan, lebih cepat lebih baik. Lagi pula, mau menunggu apa lagi? Kalau kedua belah pihak sudah setuju, kan lebih baik disegerakan? Daripada jadi fitnah, kan? kalian berdua juga sudah sama-sama cukup umur, jadi lebih baik segera saja."
"Baiklah, Pak." Aku menunduk, tidak bisa membantah lagi.
"Besok kamu bantu ibumu siapkan semuanya, hidangan dan lain sebagainya, ya! Biar Bapak yang mengundang saksi untuk lamaran kamu." Bapak mulai membagi tugas.
"Baik, Pak." Sekali lagi, aku hanya bisa menerima, tidak bisa menolak sedikitpun.
"Mbak! Mbak Mela mau menikah ya?" Singgih, adikku yang masih umur 5 tahun itu tiba-tiba ikut nimbrung.
"Kok kamu tau?" Aku heran juga, adikku yang masih kecil ini, pemikirannya memang sudah seperti orang tua. Gaya bicaranya juga seperti itu, sudah seperti orang yang paham dengan apa yang dia katakan.
"Bapak sama Ibu yang bilang. Katanya Mbak Mela mau menikah, terus nggak tinggal di sini lagi. Besok mau ikut di rumah suaminya." Jawabannya yang polos membuat dadaku terasa sesak. Benar juga apa yang Singgih katakan, kalau aku menikah, otomatis aku akan pergi dari rumah ini. Apa aku siap? Pasti sangat menyedihkan. Aku merasakan mataku tiba-tiba perih, pasti sebentar lagi air mata akan jatuh. Tahan, tahan, sekuat tenaga aku menahan agar air mata tidak jadi jatuh menetes.
"Mbak, kok diem aja sih?" Singgih menagih jawaban dariku.
"Hehe, iya. Mbak sebentar lagi mau menikah." Aku mencoba tersenyum, berharap air mataku tidak jadi menetes, meskipun yang terjadi justru sebaliknya. Sudut mata yang menyipit membuat calon-calon air mata berkumpul jadi satu dan menetes begitu saja.
"Mbak, kok nangis sih?" Singgih kembali bertanya, dia segera mendekatiku dan minta untuk duduk di pangkuanku.
"Eh, enggak kok." Aku mengusap air mataku yang sudah terlanjur menetes.
"Apa Mbak Mela nggak bahagia? Kok menangis?"
Ya ampun, Singgih. Pertanyaanmu benar-benar sulit untuk ku jawab.
"Mbak Mela bahagia, kok. Ini air mata bahagia." Aku sengaja berbohong, aku tidak bisa membuat Bapakku terluka.
"Bahagia mau pergi dari rumah ini ya? Apa Mbak Mela udah nggak sayang sama Singgih? Besok, Singgih main sama siapa dong? Mas Sigit suka jail, dia juga lebih suka main sama temen-temennya."
Deg!
Lagi-lagi ucapan Singgih membuat hatiku terasa teriris. Aku mengedip-ngedipkan mataku, berusaha menahan air mataku kembali jatuh.
"Singgih, jangan ngomong gitu! Nanti Mbak Mela jadi sedih. Kan sekolahnya Mbak Mela cuma deket situ, jadi Mbak Mela masih tetep bisa ke sini setiap hari, kalau mau berangkat sekolah, atau sepulang sekolah. Jadi, Singgih masih tetep bisa bermain sama Mbak Mela." Bapak mewakili aku yang tak kunjung menjawab pertanyaan Singgih.
"Asyik! Yaudah deh kalau gitu, Mbak Mela menikah aja nggak papa. Yang penting setiap hari tetep main ke sini, ya!" Singgih memelukku dengan erat. Meskipun dia laki-laki, dia memang lebih dekat denganku daripada dengan adikku yang pertama, si Sigit yang masih SMP itu.
"Iya, besok Mbak tetep mampir dan main sama Singgih. Yang penting Singgih jangan nakal dan bikin Mbak Mela kesel. Oke?" Aku mencoba tersenyum, melihat wajah bocahnya yang polos itu.
"Oke, Mbak. Janji!" Dia menunjukkan jari kelingkingnya, mengajakku untuk janji kelingking. Aku heran juga, kenapa dia tau hal itu? Dari mana? Padahal aku tidak merasa mengajrkannya, apa lagi bapak dan ibuku yang sehari-hari berkeja di sawah. Tidak mungkin mereka yang mengajarkan itu pada Singgih, kan?
Tapi aku tetap menyambut kelingkingnya, supaya tidak membuatnya kecewa.
***
Hari-hari berikutnya, aku cukup sibuk menyiapkan acara lamaranku. Aku tidak mau membuat nama baik Bapak menjadi buruk, kalau tidak memberikan hidangan dan tempat yang pantas untuk para tamu nanti. Meskipun tidak mewah, setidaknya semua harus pantas, jadi tidak akan menjadi buah bibir siapa saja yang berada di dumah kami besok saat lamaran berlangsung.
Sampai hari yang ditentukan, rombongan Mas Aak sudah sampai. Hatiku berdebar tidak karuan. Meskipun menunduk, aku mencoba curi-curi pandang, mencari mana yang namanya Mas Aak. Mengingat-ingat wajahnya yang dikirimkan melalui foto tempo hari. Sampai aku yakin, kalau dia orangnya.
Badannya cukup tinggi, sedikit gemuk, bibir menghitam, pasti karena sering merokok, memakai baju koko longgar dengan bawahan celana jeans longgar. Aku geleng-geleng kepala, sambil menutup mataku.
"Kenapa benar-benar tidak rapi? Padahal yang lainnya berdandan sangat pantas. Apa dia memang tidak peduli pada penampilan? Sangat jauh dari pria yang kuidamkan. Apa aku bisa tetap menerimanya?" Aku hanya bisa membatin. Karena tidak mungkin juga aku menolak lamarannya, semua sudah terlanjur. Yang bisa kulakukan hanya menerima dan berharap semua akan baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments