Harusnya malam itu Yola dan Wilda menginap di rumahnya, tapi mendadak harus pulang. Si kecil Leo menangis kencang karena boneka dinosaurusnya tertinggal di rumah.
Sementara Yola harus menyiapkan keberangkatan sang suami ke luar kota pagi-pagi sekali, setelah mendapat telepon dadakan dari atasannya.
Rumah yang tadinya ramai mendadak sepi, hanya tinggal Rani dan mama saja. Asisten rumah tangga mereka sudah pulang, karena hanya bekerja sampai sore hari.
“Rani ke kamar dulu ya, Ma. Mau istirahat,” pamit Rani hendak beranjak ke kamarnya.
“Eits, nanti dulu. Temani Mama sebentar, Mama mau telpon nenekmu sekarang.” Mama menahan lengan Rani, memaksa anak gadisnya itu untuk tetap duduk di sampingnya.
“Sudah malam, Ma. Kasihan nenek, besok pagi saja.”
“Di tempat nenek masih jam delapan malam, nenekmu masih belum tidur.”
Rani menurut, meski dengan bibir cemberut. Ia duduk sambil melipat kaki, lalu merebahkan punggungnya ke sandaran sofa.
“Halo.”
Senyum mengembang di wajah mama ketika mendengar sahutan dari seberang telepon. “Selamat malam Neneknya anak-anakku yang cantik dan baik hati.”
Mama terkekeh kemudian. Rani senyum-senyum sendiri mendengar ucapan mamanya saat menyapa neneknya.
Awalnya keduanya saling bertukar kabar, di tengah-tengah percakapan terdengar keluhan neneknya. Dan hal itu menarik perhatian Rani, ia mendengar kesedihan dari nada suara neneknya.
“Aku butuh seseorang yang bisa membantu kami mengatur pembukuan, dan Aku belum mendapatkannya sampai sekarang. Aku juga butuh tenaga tambahan untuk membantu King di peternakan.”
“Bagaimana dengan Gaby, bukankah dia yang selama ini membantu mengatur pembukuan kalian di sana. Pekerjaannya bagus. Terakhir kali bertemu dengannya, para koboi menyukainya dan senang bekerja dengannya.”
Mama sengaja mengaktifkan pengeras suara ponselnya agar Rani ikut mendengarnya. Rani yang duduk di sebelahnya terlihat serius mendengarkan.
“King mengusir mereka, dan Gaby lari ketakutan!”
“Apa sebenarnya yang terjadi?”
“Mereka menggoda Gaby di depan King, salah satu pekerja membelai pinggul Gaby dengan sangat kurang ajar dan memaksa mencium wanita itu.”
Rani membulatkan bibirnya dan berdeham, ia bisa mengerti kemarahan King.
“King marah, ia merobohkan pekerja itu dengan tinjunya dan mengancamnya dengan sekop di lehernya. Gaby ketakutan, ia langsung minta berhenti kerja dan King langsung memecat pekerja itu.”
Cerita neneknya membuat Rani berpikir keras, teringat pada kisah cintanya yang kandas. “Harusnya Aku melakukan hal yang sama pada Andre, memberinya pelajaran dan mengusirnya keluar bersama wanitanya dengan sekop di leher!”
“Maaf, seharusnya Aku tidak menceritakan masalahku pada kalian. Tapi, Aku benar-benar membutuhkan seseorang yang bisa membantuku di sini.”
Mama melirik Rani, perhatiannya terpecah mendengar suara lain di sebelahnya. Kerutan di keningnya semakin dalam melihat tingkah putrinya yang berlagak seperti orang yang sedang berkelahi, mengayunkan tangannya ke sembarang arah.
“Rani?!”
Rani tersadar, tersenyum dan kembali duduk manis.
“Helen, apa Kau masih mendengarku. Kau sedang bicara dengan siapa tadi?”
“Ekhem!” mama berdeham, memberi kode pada Rani untuk menjawab pertanyaan neneknya.
“Nenek, apa kabar? Ini Rani, putri bungsu mama Helen.” Rani mematikan pengeras suara dan mendekatkan ponsel mama ke telinganya.
“Baik, Nek. Mereka semua baik, hanya Rani saja yang sedang tidak baik.” Rani memasang wajah nelangsa meski ia tahu neneknya tidak akan bisa melihatnya, dan mama hanya menggeleng saja melihat tingkah putri bungsunya itu.
Percakapan selanjutnya mengalir lancar antara Rani dan neneknya. Seperti anak kecil yang baru kehilangan benda kesayangannya, Rani mengadukan nasibnya pada sang nenek.
“Apa Nenek mengundangku ke peternakan?” Rani menegakkan punggungnya, suaranya terdengar serius. Hal itu memancing rasa ingin tahu mama yang duduk di sebelahnya, sedari tadi mengawasi tingkahnya.
“Aku bisa membantu Nenek dalam hal pembukuan, kapan Nenek akan ke mari?”
Mama semakin penasaran, ia merapat dan memasang telinga baik-baik.
“Hem, baiklah. Biar Aku berangkat sendiri ke sana. Nenek harus memastikan keamanan diriku di sana dari lelaki bernama King itu, jangan sampai ia mengalungkan sekopnya di leherku.”
Mendengar hal itu, mama langsung menarik dirinya dan menatap tajam Rani yang masih belum selesai bicara pada neneknya.
“Hahaha, oke Nek. Bye, Rani sayang Nenek.” Rani mengakhiri teleponnya dan menaruh kembali ponsel mama ke atas meja.
Plak!
“Astaga, Mama?” Rani kaget, mama mengeplak lengannya dan melotot padanya.
“Kalian bicara apa saja tadi, kenapa speakernya dimatikan. Mama kan jadi gak bisa dengar nenekmu bicara apa?”
“Nenek mengundang Rani ke peternakan, sekalian mengisi liburan dan membantu pembukuan di sana.”
“Dan Kamu setuju?”
“Iya, Rani setuju. Lusa Rani berangkat!”
“Mama akan meminta bibi Imas untuk tinggal di rumah ini sementara Kamu pergi,” balas Mama, dan hal itu membuat Rani lega karena ada yang menemani mamanya selama ia tidak ada di rumah.
Malam itu juga Rani menelepon atasannya dan meminta pengajuan cutinya dimajukan tanggalnya. Tanpa banyak bertanya, atasannya pun langsung menyetujuinya.
Sebagai salah seorang pekerja yang memiliki jabatan cukup penting di kantornya, Rani memiliki anak buah yang bisa membantu menggantikan pekerjaannya. Dan Ia memiliki waktu satu hari penuh untuk menyelesaikan semua sisa pekerjaannya.
Mama membantunya berkemas, dan ikut mengantar Rani ke bandara. Mama memeluknya erat dan berpesan padanya, “Jaga diri baik-baik, jaga kehormatanmu sebagai seorang wanita karena itu satu-satunya milik kita yang paling berharga.”
Dua jam perjalanan udara, Rani menjejakkan kakinya kembali di kota kelahiran almarhum papanya. Seperti pesan neneknya, di depan sudah ada seseorang yang akan menjemputnya.
Rani menutup wajahnya ketika keluar pintu bandara, hawa panas langsung menyengat kulitnya. Ia berjalan menuju mobil bak terbuka yang akan menjemputnya.
Tangannya kesusahan menyeret kopernya, sepatu hak tinggi yang dipakainya menghambat gerakannya. Rani celingukan sembari mencocokkan tulisan di layar ponselnya.
“Sepertinya itu mobilnya.” Rani tersenyum lega, ia menunggu sejenak sampai seseorang keluar dari mobil itu dan datang menghampiri dirinya.
Rani terpaku untuk beberapa saat lamanya, menatap ke arah lelaki yang berjalan menyeberang ke arahnya.
Lelaki itu jangkung, bertubuh ramping dan gagah. Ia mengenakan topi koboi warna hitam dan mantel Western yang melapisi kemeja polos navy yang dikenakannya. Celana jeans ketat membungkus kakinya yang panjang. Ia berjalan angkuh dan berhenti di hadapan Rani.
“Nona Maharani Putri?” Lelaki itu menurunkan topi koboinya dan menaruhnya di depan dada, sembari matanya menatap wanita di hadapannya.
Mata itu tajam dan seolah menembus kulit tubuhnya, warnanya kebiruan. Tapi bukan itu yang membuat Rani sulit bernapas, sinar mata itu tampak dingin dan wajah tampan di hadapannya itu datar dan tanpa senyum.
Rani memaksakan senyum dan mengulurkan tangannya. “iy-ya, Saya Maharani Putri. Panggil saja Rani.”
Lelaki itu menjabat uluran tangan Rani dan melepasnya cepat, dan Rani menyadari itu. “Halo Rani, Aku Kingstone Hardy. Panggil saja King.”
▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Allent
😳😳😳
2023-04-30
1
chaira rara
🤩🤩🤩
2023-04-28
1
💕 yang yang 💝
👍👍👍👍👍
2023-04-28
1