Xiahuan mendengar keluhan Yu Chen saat sang kakak sudah membawa gadis itu. Mereka sudah mencapai laut dangkal. Begitu melihat laut hanya sampai di lutut, Xiahuan ikut turun membawa jubah sang kakak. Ia menenteng ember ikan juga menarik tali perahu bersamanya.
Di daratan yang baru terpijak ini seharusnya musim panas. Namun tubuh Xiahuan begitu menggigil padahal tidak sampai setengah tubuhnya basah. Takut-takut, ia memandang Yu Chen waspada. Pria itu memakai jubahnya, menutupi lebih setengah tubuhnya yang terendam air.
Setelah melepas jubah untuk menutupi tubuh sang gadis, tanpa dikomando, Xiahuan segera mengambil ranting yang berserakan. Tak lupa ia memungut dua batu kerikil. Seluruhnya ia tumpuk di samping Yu Chen. Setelah asap mulai mengepul dari sana Xiahuan baru menghela napas lega.
"Kakak kenapa kau menyelamat—"
Xiahuan menggigit bibir bawahnya saat Yu Chen berdiri dari tempat bahkan tak menoleh barang sebentar. Ia tidak heran melihat sikap sang kakak yang tiba-tiba berubah. Xiahuan hanya membodohi dirinya sendiri sambil menyumpah di pikiran. Ia terus mengingatkan dirinya betapa Yu Chen benci air dingin. Lalu dengan keadaan yang tidak siap basah Yu Chen malah tercebur di air asin itu? Xiahuan tidak perlu memastikan betapa sang kakak sedang marah saat ini!
Ketika Yu Chen datang dengan setumpuk ranting kering, Xiahuan tidak berani menoleh. Ia mencari kesibukan dengan menghampiri gadis yang masih pingsan. Ia menilik sebentar sebelum tangannya tergerak mengguncang bahu gadis itu.
Dia basah kuyup.
"Hei ... kau dengar aku?" Xiahuan sudah mempercepat gerakannya, tetapi gadis itu tak kunjung bangun. "Apa tadi dia terbentur terlalu keras?" Xiahuan baru akan memikirkan cara lain sebelum sebuah suara membuatnya berhenti.
"Biarkan saja. Aku terlalu cepat turun dia bahkan belum meminum seteguk pun."
Wajah Yu Chen itu datar saat Xiahuan meliriknya. Sang kakak bahkan tidak balik menatap. Masih bukan waktu yang tepat untuk mengusik, Xiahuan dengan cepat beralih pada tombak dan ember ikan. Dengan sedikit tergagap, ia menuju bibir pantai sembari berkata, "Aku akan membersihkan ikan, masih belum jam makan siang tapi akan baik mempersiapkan lebih awal."
...•••••••••...
Pakaian Yu Chen benar-benar sudah kering saat pria itu mau mengambil makanan. Sorot matanya tidak sedingin tadi, Xiahuan akhirnya mulai berani mengajaknya bicara. Sang adik nampaknya sudah cukup paham kapan dan bagaimana mengambil sikap. Membuang tulang dan kepala ikan ke nyala api, Xiahuan melirik ke gadis yang masih terpejam.
"Apa kita benar-benar tidak perlu membangunkannya? Dia mungkin butuh makan."
Yu Chen ikut melirik, ia memperhatikan perut sang gadis yang bergerak. Napasnya cukup teratur sehingga Yu Chen berpikir alih-alih pingsan gadis ini hanya sedang tertidur lelap.
Dengan malas, Yu Chen berdiri meninggalkan tempat. Ia bergeser ke tempat yang lebih teduh. Membiarkan punggungnya bersandar ke batang pohon, ia melipat tangan ke belakang lantas memejamkan mata. Yu Chen masih sempat berbicara, "Saat sudah sore dan dia belum juga bangun, bangunkan aku."
"Bagaimana kalau sudah bangun?" Xiahuan menjawab.
"Tetap bangunkan."
Mendengar itu Xiahuan menoleh. "Jawaban yang tidak terduga," gumamnya.
...•••••••...
Mentari terus bergerak turun, tetapi dari bibir pantai ini sinarnya semakin menyilaukan. Seolah matahari bertengger tepat di atas lautan, Xiahuan tidak sanggup menatap samudra di kejauhan.
Sore benar-benar telah datang, tidak menyangka gadis itu belum juga sadar. Kepala Xiahuan masih dipenuhi pikiran tentang sang ayah ketika ia mendengar bunyi ranting terinjak. Rupanya Yu Chen sudah lebih dulu bangun.
Xiahuan turut beranjak. Seperti yang diharapkan Yu Chen melangkah menuju gadis itu.
Masih menatap pada satu objek sama, Xiahuan terkejut saat sang kakak tiba-tiba bersuara.
"Menurutmu dia sudah mati?"
Xiahuan dengan cepat berjongkok. Hanya dengan memastikan baru ia bisa tenang.
"Dia masih bernapas Kak! Ahh ... syukurlah." Setelah terdiam sesaat Xiahuan baru kembali bersuara. "Dia ini ... monster roh atau seorang shiivu. Kakak melihatnya juga? Sebelumnya dia seekor burung."
Yu Chen menilik lebih dalam. Tidak ada kerutan di dahinya. Ia tidak sedang berpikir keras, tetapi sejurus kemudian memiliki jawaban untuk disampaikan.
"Kemungkinan dia seorang shiivu." Yu Chen menunduk untuk meraih tangan sang gadis. Dugaan terbenarkan setelah melihat torehan di telapak tangannya. Ia melanjutkan, "Sudah kuduga, dia masih di tingkat dasar.
Yu Chen tidak heran jika tebakannya benar. Saat gadis ini datang—sebelumnya berwujud seekor burung—tidak ada energi spiritual berarti yang ia rasakan. Dengan cara ini ia menebak, baik itu monster roh ataupun shiivu mereka tidak begitu kuat.
Xiahuan juga bisa melihatnya. Ada lima bulatan di telapak tangan gadis itu. Tanda yang ia pahami sebagai ciri khas seorang yang sudah membangkitkan roh pelindung. Bulatan itu berwarna merah, artinya gadis ini masih di tingkat dasar.
"Warna merah? Tapi dia bisa dengan mudah merubah wujud? Apa aku salah mengerti tentang tingkatan simbol roh?"
Yu Chen meluruskan pinggang lalu mengangkat bahu. Wajahnya acuh saat ia berkata," Siapa yang tahu, mungkin roh pelindungnya spesial. Kita akan tahu saat dia bangun."
Xiahuan tidak tahu jika maksud kalimat terakhir berarti gadis itu harus segera bangun bagaimanapun caranya. Ketika melihat Yu Chen berlutut di samping sang gadis, Xiahuan bertanya dengan curiga.
"Apa yang Kakak lakukan?"
Yu Chen menjawab dengan santai, "Membangunkannya. Karena sebelumnya dia mungkin tenggelam ...."
Xiahuan tidak dapat memproses pikiran saat melihat wajah Yu Chen menggantung tepat di depan wajah sang gadis. Ia menurut saat otaknya memerintah agar ia menutup mata. Sebelum Xiahuan berhasil berpikir lebih jauh, bunyi keras kulit bertemu terdengar, membuat ia refleks membuka mata. Wajah Yu Chen penuh kepuasan saat ia melihatnya, tetapi Xiahuan lebih fokus pada wajah sebelah kanan sang gadis yang memerah.
"Kakak menamparnya?"
"Setidaknya itu tidak sia-sia."
Keterkejutan di wajah Xiahuan memudar saat melihat seseorang baru saja membuka mata.
...••••••••...
"Jadi kalian berasal dari Desa Es Abadi di pulau beku sana dan kalian sama-sama punya roh pelindung tipe artefak?"
Xiahuan merespons cepat sebagai jawaban sementara Yu Chen hanya menatap pantulan bulan di laut yang menghitam. Duduk mengitari api unggun, sebelum perkumpulan ini berjalan lebih jauh, dua kakak beradik itu sudah melakukan tindakan penipuan sebelumnya.
Lima bulatan di tangan mereka memang belum ada saat mereka tiba di pantai ini. Itu terpikirkan secara mendadak oleh Yu Chen sore tadi. Ia tidak ingin membuat masalah dengan mengekpos artefak jiwa. Jadi berpura-pura menjadi seorang shiivu adalah solusi yang mampu ia pikirkan.
"Tapi kenapa warna merahnya sedikit berbeda?" Gadis yang memperkenalkan diri sebagai Yan Mei memainkan kedua ujung kepang rambutnya. Kepalanya mengarah ke atas dengan alis melengkung. Ia berpikir keras, otaknya memang kadang berjalan lambat namun ia sadar kali ini ia tidak salah mengira.
Memandang itu Xiahuan tertawa kaku. Ia langsung melirik Yu Chen. Tidak disangka bersandiwara akan sesulit ini.
"I-tu mungkin itu, Ah... mungkin karena—"
"Kami sudah bilang sebelumnya kami berasal dari daratan beku, yah suhu dingin membuat warnanya seperti ini," Yu Chen menyela dengan santai.
Mendengar itu Xiahuan kembali tertawa kikuk, ia mengukur reaksi Yan Mei. Gadis itu terlihat menimbang sebentar sebelum akhirnya ikut tertawa.
"Ah iya!" Yan Mei menepuk kepalanya. "Kulit kalian saja sepucat itu." Gadis itu kembali terkekeh lalu melanjutkan, "Tidak masalah, tidak masalah. Lihat, punyaku juga warna merah. Artinya kita setingkatan!" Yan Mei tersenyum, wajah lonjongnya yang tertarik ke samping membentuk pemandangan menggemaskan.
Warna merah pada telapak tangan Yu Chen dan Xiahuan sebenarnya diperoleh dari daun inai hitam. Salah satu jenis tanaman beracun namun tidak mematikan. Jika ekstrak dari daunnya mengenai kulit, permukaan yang dihinggapi akan mengalami pembusukan. Ini memang tidak berbahaya. Karena sifatnya hanya merusak jaringan luar, itu tidak menimbulkan rasa sakit namun jejak yang ditinggalkan membutuhkan proses lama untuk hilang.
Terdengar konyol memang, dua pria secara suka rela merusak penampilan tangan mereka. Untungnya itu tidak terlihat aneh karena polanya disesuaikan dengan simbol kebangkitan roh pelindung.
Sandiwara mereka tampak sempurna. Melihat reaksi Yan Mei, Xiahuan hanya bisa menggaruk tengkuk tidak tahu harus menjawab apa. Beruntung gadis itu kembali memutus kecanggungan.
"Jadi apa yang kalian cari di sini? Kenapa kalian meninggalkan rumah?"
"Belajar! Ya, belajar." Terdistraksi oleh suasana sebelumnya, Xiahuan menjawab spontan. Sadar terdengar aneh, Ia dengan cepat mengoreksi ucapannya, "Di tempat kami tidak ada akademi master roh. Jadi kami keluar untuk meningkatkan kemampuan."
Mereka sudah makan malam beberapa menit lalu. Ada sisa dua ekor ikan yang tergeletak di samping api unggun. Yan Mei meraihnya lalu mengangguk untuk ucapan Xiahuan.
"Aku tinggal di pulau ini tapi tidak terpikirkan untuk belajar." Ia menggaruk kepala dan tertawa dalam kekehan kecil. "Apakah memang perlu?"
Xiahuan tadinya akan menjawab, tapi karena ia merasa tidak ada hubungannya dengan tujuan keberangkatan mereka, Xiahuan hanya melirik sang kakak dan berharap jawaban darinya.
"Pria dan wanita berbeda, kami terbiasa berkelahi." Keinginan Xiahuan langsung teramini. Yu Chen menjeda ucapannya saat melempar beberapa ranting ke dalam api. "Kami terbiasa berkelahi, jika tidak ingin tertindas maka kami harus lebih kuat."
Mulut Yan Mei penuh dengan ikan saat kalimat-kalimat protes sudah sampai di tenggorokan. Ia berdiri dari posisinya dan menelan semuanya dengan cepat.
"Aku suka berkelahi," tegasnya. Tangan dan kakinya membentuk kuda-kuda. "Aku tidak pernah berlatih, tapi jika kalian ingin mencoba aku akan meladeni. Aku punya lengan yang kuat."
Sesaat Yu Chen dan Xiahuan memandang keheranan. Karena tidak mendapat balasan Yan Mei kembali duduk dengan wajah tertekuk. Ia tiba-tiba menyentuh wajahnya. Ekspresinya seketika berubah.
"Aneh kenapa wajahku masih terasa perih yah? Apa tadi aku membentur sesuatu?"
Yu Chen dan Xiahuan langsung saling pandang. Sayangnya gadis itu tidak menyadari reaksi mereka. Ia hanya terus larut berpikir. Karena tidak menemukan jawaban, ia melupakan masalahnya lantas Kembali berdiri.
"Aku akan mencuci tangan." Itu anehnya terasa canggung. Setelah mendapat anggukan ia segera pergi ke bibir pantai.
Kecanggungan itu berlangsung terlalu lama. Malam yang semakin larut membuat tiga orang itu tidak lagi mengobrol banyak. Semua orang tertidur beralas kain tipis di lantai yang berpasir. Ketika bulan telah menggantung di atas sana, sinarnya membayangi sosok hewan berbulu putih yang melangkah keluar dari perahu.
Ia mengendus aroma familier. Menemukan apa yang ia cari, ia menyelinap masuk ke dalam jubah Yu Chen sebelum akhirnya meringkuk di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 5 Episodes
Comments
anggita
desa es❄ abadi
2023-05-03
0
Manusia kucing🐈
Teruskan thoor
2023-05-02
0