“Selama ini Ayah tahu?!” Contessa membuang tasnya ke depan meja ayahnya, Adiwilaga, dengan kasar sampai mengenai pipi pria berusia 35 tahun itu.
Adiwilaga adalah ayah tiri Contessa, ibu Contessa menikah lagi yang kedua kalinya dengan ‘berondong’ setelah Ayah kandung Contessa meninggal. Kini Ibu Contessa sudah meninggal juga karena sakit.
Sakit yang dideritanya akibat stress berkepanjangan menerima kenyataan kalau suami yang baru saja dinikahinya terjaring kasus penggelapan dana perusahaan dan dituntut 12 tahun penjara. Harta keluarga sudah habis untuk membayar dendanya, dan karena itu Contessa mengambil langkah pintas.
Tapi sayang sekali, ibunya tidak bisa bertahan lebih lama, tanpa sempat mendengar berita kalau tuntutan itu dibatalkan dan Adiwilaga dapat bebas lebih cepat.
Kini pria itu sedang membangun kembali bisnisnya, dan pelan-pelan mengembalikan sisa dana yang sudah lenyap tak tersisa.
Adiwilaga hanya duduk dengan ekspresi dingin dan menghela nafas.
“Tadinya tak tahu, sampai aku bertanya kenapa aku dibebaskan,” kata Adiwilaga.
“Dan kenapa Ayah malah menyodorkanku kembali ke sana?!”
“Damaskus memintaku,” Adiwilaga beranjak dari duduknya dan menatap Contessa yang matanya sembab akibat menangis sepanjang perjalanan pulang, “Ia akan membeli tanah milikku, dananya untuk melunasi sebagian kecil hutang. Tapi sebenarnya itu sepenuhnya keputusanmu, Tess. Aku hanya menawarkan,”
“Tanpa memberitahu itu perusahaan apa!”
“Seharusnya kau sudah tahu, kau training 1 bulan di sana,”
“Mana aku tahu kalau itu adalah namanya? Aku hanya tahu orangnya! Lagian dia jarang terlihat di public!”
“Kau akan digaji sesuai standar, memang apa susahnya,”
“Kenyataan kalau aku diterima di sana dengan intrik, dan apakah ayah tahu setengah dari anak buahnya mengenalku sebagai wanita nakal yang menyodorkan diri sebagai ganti hutang ayahnya, dan mereka melihatku seakan aku ini makanan!! Belum bekerja aku sudah nyaris menghadapi pelecehan!”
“Damaskus berjanji menjagamu,”
“Dia predator yang sebenarnya!”
“Contessa!” kini Adiwilaga berujar dengan tegas, “Tidak ada yang meminta kamu melunasi hutang dengan seceroboh itu! Lebih baik aku dipenjara bertahun-tahun dari pada melibatkan kamu! Kamu yang mau sendiri!! Bukannya aku nggak berterimakasih tapi kamu dalam hal ini terjun sendiri ke dalam masalahku!”
“Ibu meninggal karena sakit gara-gara ayah!”
“Ya biarlah itu jadi tanggunganku! Dosaku! Kamu nggak usah ikut-ikutan seharusnya!! Kamu mengerti nggak perasaanku saat Damaskus menghubungiku dan cerita kalau kamu menyerahkan keperawananmu sebagai ganti seperempat hutang? Hah?! Aku gagal jadi ayah kamu! Setelah awalnya aku merasa ada harapan bisa menitipkan kalian ke Tanteku sampai saatku bebas nanti, sekarang kamu mengacaukan segalanya! Hidup kamu, pendidikan kamu, ketenangan batin kamu! Semua kamu hancurkan sendiri Tess!”
Contessa hanya bisa diam menatap ayahnya sambil memekik tak percaya.
Adiwilaga mengatur nafasnya sambil kembali duduk di belakang meja kerjanya sambil memegangi kepalanya, lalu menghela nafas untuk menenangkan dirinya.
“Aku bertanya padanya kenapa dia mencabut tuntutannya. Katanya kamu sudah melunasi seperempatnya. Astaga Contessa...” Adiwilaga menunduk, “Kamu sudah menjadi miliknya sejak itu. Sekali kamu berurusan dengannya, kamu tidak akan dibiarkannya lepas lagi. Seharusnya kamu tahu dengan siapa kamu berurusan,”
“Ayah juga mencari masalah ke orang yang salah,”
“Ya, aku akui itu. Tapi setidaknya aku tidak ingin kalian, anak-anakku, terlibat. Kehilangan Yuana sudah merupakan pukulan berat bagiku. Apalagi harus ditambah dengan kamu...” Pria di depan Contessa ini, perawakannya yang tampan tidak cukup menyembunyikan kemuraman hatinya.
“Contessa, semua sudah terlanjur,” desis Adiwilaga, “Damaskus berjanji tidak menyakitimu, itu sudah merupakan suatu kelegaan bagiku. Ikuti saja permainannya. Yang kita bisa lakukan sekarang hanya berdoa...” desisnya.
Contessa jelas tidak bisa menerima alasan itu. Ia ambil tasnya yang teronggok di atas meja, lalu masuk ke kamarnya dan menangis sepuasnya.
**
“La, kenapa ya cowok yang di sekitar gue tingkahnya gini semua,” keluh Contessa sambil duduk di lantai kamarnya yang menangis. Dalam pikirannya terbayang kejadian siang tadi saat anak buah Damaskus membelai pahanya dengan lancang.
Ia menceritakan kejadian itu ke Ella, sahabatnya. Mereka berteman sejak SD, dan kini Ella sudah dikaruniai 2 orang anak, masih balita. Ella memang memutuskan untuk menikah muda dan mengabdikan hidupnya untuk menjadi IRT sehingga tak sempat menyelesaikan jenjang pendidikan SMA.
Contessa kerap membantu Ella untuk masalah keuangan, dan Ella selalu siap di sebelah Contessa di saat gadis itu butuh mencurahkan isi hatinya. Walau pun bilangnya tidak bisa membantu banyak, namun tanpa Ella sadari yang dibutuhkan Contessa memang hanya teman untuk mendengarkan.
Sayangnya, Contessa menceritakan semua hanya saat ia merasa menyesal. Ia tidak sering meminta saran Ella saat akan bertindak, dan seringkali tindakannya berujung pada penyesalan akan kebodohannya. Namun Ella dengan sabar mendengarkan, karena ia yakin Contessa perempuan kuat yang akan berdiri tegak sekuat apa pun angin menerpanya.
“Kadang gue juga pingin kayak elu La, yang hidup tenang sama laki lo dan punya anak lucu-lucu,”
Dari seberang sana Ella terkekeh, “Nggak Tess, bukan gini hidup yang lo mau. Lo bakal bosen kalo jadi gue. Tapi beginilah hidup yang gue mau Tess, nggak neko-neko,”
“Yah, lo bener juga sih,” Contessa menyibakkan rambut panjangnya ke punggung sambil mengusap air matanya. “You know, gue jijik banget sama diri gue sendiri. Apalagi pas mereka ngeliat gue dengan pandangan kayak... kayak gue ini pe***,”
“Memangnya waktu lo berduaan sama Pak Damaskus mereka ngeliat,”
“Ya nggak lah!”
“Apa Pak Damaskus ngomong-ngomong ke mereka?”
“Kayaknya si tua bangka itu bukan jenis yang begitu,”
“Hm...” terdengar Ella bergumam, “Kalau gitu ini bisa dijadikan pembelaan lo Tess. Bagaimana mereka bisa menyimpulkan kalau lo ‘bisa dipake’ kalau mereka nggak tau apa yang terjadi di dalam kamar? Serang balik aja, fitnah itu ada pasal-pasalnya kalau tanpa bukti. Walau pun kenyataannya memang beneran sih,”
“Wah, boleh juga besok gue pake ide lo,” terdengar dengusan Contessa, “Iya juga ya gue nggak kepikiran sampe situ,”
“Lagian Tess... emang lo mau punya pacar? Lo kan dari dulu menghindari cowok,”
“Gara-gara Damaskus gue takut sama cowok!” seru Contessa.
“Oh iya hehehehe, emang beneran parah ya perlakuannya?”
“Ya nggak sih, tapi itu kan saat pertama gue dan dia memperlakukan gue seakan gue udah biasa!”
“Ya wajar kalo lo trauma sih, gue aja masih sering males ngelayanin Januar soalnya walau pun luka melahirkan sudah ketutup sempurna ya tapi tetap aja yang dibayang-bayangi rasa perihnya, hehe,”
“Ya jadi lo tahu lah sebesar apa rasa trauma gue. Kalau ngeliat beliau yang kebayang cuma perih, sakit sampai otak nusuk-nusuk,”
“Ya Ampun coba gue di sana Tess, gue peluk lo seharian. Plus anak gue lah meluk lo juga, masih nge-grip kayak koala soalnya, hehe,”
“Huhu, kangen banget gue sama looo,” isak Contessa sambil kembali menangis.
“Tess, gue tutup dulu si kakak udah di atas kulkas!” seru Ella sambil serta merta menutup teleponnya.
Contessa memandangi ponselnya sambil mengernyit. “Enak banget si Ella hidupnya, pasti lucu banget liat si kakak nangkring di atas kulkas. Bisa ketawa-tawa si kakak kalo dia udah gede diceritain kenakalannya,” ia bicara sendiri ke ponselnya.
Sayup-sayup dari arah komputernya yang menyala menyajikan lagu-lagu random terdengar alunan nyanyian wanita dengan suara lembut dengan irama yang ceria. Lagu yang asalnya dari Korea Selatan, dinyanyikan dengan lirik versi inggris, Cupid dari Fifty Fifty.
Now, I'm feeling lonely
Oh, I wish I'd find a lover that could hold me
Now, I'm crying in my room
So skeptical of love
But still, I want it more, more, more
“Ya Ampun, bahkan lagu aja nyindir gue,” gumam Contessa menggerutu. Tapi ia dengarkan juga lagu itu sampai habis. Dan perlahan ia pun kembali mengalirkan air matanya.
Tak lama teleponnya berdering kembali.
“La...” gumam Contessa setelah menekan tombol ‘call’. “Kayaknya gue emang kesepian. Sepeninggal nyokap nggak ada yang bisa gue jadikan pegangan. Paling nggak, gue juga ingin punya pacar atau mungkin suami yang bisa gue jadikan sahabat seumur hidup. Berbagi suka dan duka, teman bicara, orang yang bisa melindungi gue, menghentikan gue dari berbuat bego. Dan gue nggak harus ngerepotin elo melulu,”
Dari seberang sana, Ella hanya diam, mungkin masih mendengarkan Contessa.
Jadi gadis itu kembali berbicara, “Rasanya jatuh cinta kayak gimana sih La? Gue nggak tau. Sejak di ruangan itu gue trauma sama laki-laki, apa bisa gue punya suami di masa depan nanti? Punya anak kayak elo, hidup tenang tanpa hutang milik orang lain yang gue bahkan nggak tahu awalnya gimana kejadiannya,” Contessa bisa mendengar suaranya sendiri yang gemetar.
“Contessa,” sebuah suara berat terdengar dari seberang telepon, “Saya nggak punya waktu untuk mendengarkan curhatan kamu,”
Suara yang sangat Contessa kenal.
Yang baru saja didengarkannya seharian dari pagi sampai sore tadi.
“Pak... Pak Damaskus?” desis Contessa bingung. Ia melihat layar teleponnya. Nomor yang tidak ia kenal. Bukan nomor Ella.
“Saya telepon untuk mengabari kalau besok saya harus ke tambang batu seharian. Jadi di kantor hanya ada kamu, siapkan presentasi sesuai foto yang akan saya kirim,”
“A-a-anuuuu...”
“Mengenai masalah kamu, lebih baik kamu kerja yang bener biar lupa sama hal tidak berguna seperti mencintai dan berbagi suka duka, itu hanya ada dalam dongeng,”
“Hah?”
“Cinta nggak bisa melunasi hutang kalian. Kecuali kamu jadi istri saya, memang kamu mau begitu?”
“Tidak Pak,”
Terdengar dengusan dari seberang, “Dasar cewek naif...”
Dan sambungan pun terputus.
“Mam-pus gue,” desis Contessa cepat, sambil memucat seketika.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
S𝟎➜ѵїёяяа
klo ibunya Nikita Willy pasti bilang astaghfirullah, sambil nurunin anak dari atas kulkas.
klo aku/Facepalm//Facepalm//Facepalm/jangan ditanya
2025-04-19
0
iin
Anak gw mah manjat TV mertua ampe jatoh dan retak 😑
2024-01-17
0
cha
eh eleh dia malah curhat ana aki aki
2023-06-19
0