Bab 4
“Bagaimana menurutmu?” tanyaku penuh dengan semangat setelah salah satu presentasi terpenting dalam hidupku.
“Apa kau belum percaya juga dengan apa yang tampilkan tadi? Yang kau presentasikan tadi itu sangat bagus. Itu sangat berkesan sampai-sampai tidak dapat berkata-kata,” ujar Julian sambil duduk di atas meja kerjaku.
Aku langsung tersenyum kecil sambil melihat kembali catatan yang kubuat saat rapat berlangsung. Aku sudah mengerjakan proyek ini selama berminggu-minggu, tapi jika kami berhasil mendapatkan klien, ini akan menjadi sebuah sejarah dalam firma properti besar semua akan terbayar lunas.
“Apa kau yakin saat ditanya tentang relasi di daerah timur nanti?” tanyaku cemas.
“Kenapa kau jadi tidak percaya diri, Jane?” ujar Julian sambil menjepit ramnut pirang gelapnya. “Tidak percuma kau menjadi bintang prestasi di Peaman untuk keahlianmu.”
“Sudahlah, lupakan,” cetusku malu meskipun sedikit merasa bangga mendengarkan kata bintang prestasi.
“Jangan menyangkal hal-hal yang selalu membuatmu berpikiran berlebihan. Aku selalu bilang bahwa kau akan memimpin tempat ini dalam waktu tiga tahun dan rapat hari ini membuktikannya. Presentasi tadi berjalan dengan lancar, jawaban kita pun begitu sempurna dan yang terpenting mereka menyukai akan dirimu,” Julian menyeringai.
“Jangan konyol dengan apa yang kau bilang,” tukasku sambil berharap bahwa ucapannya itu ada benarnya.
“Percayalah padaku. Kau selalu terlihat tidak percaya diri saat selesai melakukan rapat presentasi.” Julian mengedipkan matanya sebelah.
Julian dan aku segera akrab saat pertama kali bertemu. Ia orang yang lugas, membumi (suka berbaur), dan mahir dalam bidangnya, saking begitu mahirnya sampai-sampai orang takkan menyangka bahwa ini bukanlah pilihan karier utamanya. Julian selalu ingin menjadi aktris sampai suatu ketika ia tersadar bahwa ia kurang memiliki pesona seorang aktris. Ia berjuang selama bertahun-tahun, tapi tak pernah kebagian peras lebih dari seorang figuran. Puncaknya adalah ketika ia ditolak saat audisi untuk berakting sebagai mayat dalam video pelatihan di sebuah perusahaan. “Jika ini bukan suatu pertanda untuk mencari pekerjaan lain, entah apalah artinya lagi,” tutur Julian.
Mustahil rasanya untuk percaya bahwa ia pernah mengalami kesialan seperti itu. Aku masih ingat saat ia melangkah masuk ke kantor kami dua tahun yang lalu dengan tubuh seksi, kaki jenjang, dan aura yang terpancar dengan kepercayadirian yang tinggi.
Julian adalah salah satu alasan aku betah bekerja di Peaman Public Relations. Aku sudah bekerja di sini sejak lulus kuliah, tapi pekerjaanku masih saja dianggap aneh oleh keluargaku. Mereka bisa menerima kakakku yang bekerja sebagai tenaga penjualan, tapi jika ada yang bila bahwa, “Jane bekerja sebagai humas,” mereka segera memasang tampang heran dan menganggap aku tak layak menerima gaji dengan pekerjaanku yang ringan dan nyaman.
Sebenarnya yang dilakukan di Peaman Public Relations ini untuk berbagai organisasi cukup mudah dipahami, meski nyatanya tak begitu mudah untuk dilakukan. Kami mengelola citra mereka. Di satu sisi, itu berarti membuat kesan positif dan memastikan media mengetahuinya. Di sisi lain, kami juga harus mengetahui setiap kabar negatif yang ada dan memastikan media jangan sampai mengetahuinya. Begitulah teorinya, meskipun kuakui pada kenyataannya hal itu bisa saja berbeda.
“Aku lupa berapa nilai kontrak ini,” kata Julian.
Aku membuka halaman bagian belakang proposalku lalu menunjukkan kepadanya.
“Ya ampun.” Julian menggelengkan kepalanya. “Kita berhak atas bonus yang luar biasa besar jika kita berhasil mendapatkannya, Jane. Serius, aku berniat untuk pensiun di atas kapal pesiar di Karibia. Yang kecil saja, tak perlu mewah seperti yatch yang seperti Justin Bieber.”
“Kukatakan padamu, kau akan mati kebosanan di sana.”
“Kau boleh ikut untuk menemaniku,” ujarnya ceria. “Kau dan aku akan berlayar di lautan lepas.”
“Untuk belajar renang gaya dada saja aku perlu delapan tahun.”
“Aku akan membelikanmu pelampung bebek,” janjinya lagi.
“Kalian berdua terlihat begitu senang pagi ini.” Suara dari meja seberang terdengar berasal dari Drew. Sosoknya cukup tampan, sopan, dan menawan kalau dia sedang ingin saja. Dia menggunakan pesonanya itu untuk mengalihkan perhatian orang lain dari kemampuan profesionalnya yang ala kadarnya atau saat ada seorang wanita cantik di dekatnya, apalagi yang memakai rok supermini. Sayangnya ia tidak pernah memperlakukanku demikian. Dia malah lebih sering membuatku kesal.
“Tentu saja kami senang,” ujar Erin sambil tersenyum. “Presentasi kami benar-benar sukses.”
Drwe ikut menyunggingkan bibirkan ke atas. “Senang mendengarnya, Nona-nona. Aku dengar dari salah seorang yang bekerja di Western Black PR bahwa merekak juga sedang mengejar kontrak itu untuk mendapatkan klien tersebut.”
“Salah seorang kawanmu?” tegas Julian.
“Yap. Bukankah aku sudah pernah cerita kalau aku anggota tim juara Kuis tahun ini untuk wilayah North selama tiag tahun berturut-turut?”
“Setiap hari kami mendengarnya darimu, Drew,” ucap Julian sambil mengamati kuku jemari tangannya. “Aku memberitahumu karena Tim yakin bahwa mereka telah mendapatkan kontrak itu. Westren Black ahli dalam bidannya. Jadi, jangan sampai kau berharap terlalu banyak, girls.”
Drew bersandar pada kursinya, lalu tanpa sengaja menggaruk selangkangannya. Drew salah satu proa yang tangannya tak pernah jauh dari daerah intimnya, seakan-akan perhatiannya selalu tertarik pada organ pria yang mereka anggap paling hebat.
“Apa kau diminta untuk melakukan wawancara kedua?” tanya Drew lagi.
“Kurasa kami akan dapat melalui tahap kedua itu dnegan baik,” sahutku seraya merapikan dokumenku.
“Baguslah. Senang mendengarnya.” Dia tersenyum. “Rupanya mereka mengundang kembali Western Black ketika sedang rapat denganmu.”
Aku lantas menoleh terhadapnya.
“Mereka bilang kepada Tim bahwa mereka punya daftar tiga besar, dan salah satunya adalah Western Black,” lanjutnya lagi.
Aku tahu pasti bahwa Drew membuat untuk membuatku cemas, tapi aku tak mau termakan ucapannya. “Mungkin mereka juga sudah memberitahu Julian saat mereka pulang tadi,” sahutku santai.
“Oh, baguslah kalau begitu. Pasti menyebalkan jika kalian tidak masuk daftar tiga besar mereka. Keberuntungan kalian bisa hilang.”
“Tak ada keberuntungan dalam usaha kami, Drew,” tegasku lagi.
Sebelum dia sempat menyahut, Lili, Staff administrasi kantor muncul di meja kami dengan rambut sambung barunya.
“Pagi, Jane. Hari ini ada empat surat untukmu.”
“Terima kasih, Lili, “ sahutku sambil menyimpan surat-surat yang dibawa olehnya. “Rambutmu, bagus.”
Lili mendapatkan julukannya sejak ia masuk bekerja saat masih berusia enam belas tahun. Sekarang tingginya seratus tujuh puluh sentimeter dan usianya masih dua puluh tiga tahun. Tapi julukan itu tetap melekat sampai sekarang.
“Apa kau suka dengan gaya rambutku, Jane?” ujarnya dengan wajah yang berseri sambil menyurai rambut barunya yang berwarna gelap. “Aku masih belum terbiasa dengan rambut baruku. Lem sambungannya agak membuat rambutku kusut.”
“Rambutmu memang bagus,” ujarku meyakinkan Lili.
“Tidak terlihat kusut?” tanyanya dengan wajah cemberut.
“Kalau kau perlu orang untuk membelai rambutmu, aku bersedia,” ujar Drew menggoda Lili.
Aku menatap mata Lili lalu mendecak, “Ck, Drew sedang berlatih untuk peran pelaku pelecehan seksual* di kantor ini,” ujarku kepada gadis itu, tapi Lili yang sedang tersipu malu-malu sama sekali tidak mendengar ucapan dari mulutku.
“Jangan dengarkan dia,” ujar Drew menyela sambil mengedipkan sebelah matanya. “Jane hanya kesal karena sebentar lagi para pria sudah tidak akan berhasrat* jika melihatnya karena dia terlalu tua.”
“Aku baru dua puluh delapan, woi...”
“Hasrat*! Oh, aku suka dengan pria yang menguasai kosakata yang luas,” sahut Lili.
Drew segera memanfaatkan situasi dan kesempatan yang ada. “Bukan cuma itu yang...,”
Belum sempat Drew menyelesaikan kalimatnya, ia terlebih dahulu dipotong olehku. “Oh, Lili.., kenapa gadis baik sepertimu tahan mendengarkan kelakarnya dan sama sekali tak ingin menamparnya?” ratapku geram melihat tingkah Drew.
“Tenang. Kau terlalu tegang, Jane,” sahutnya sambil terkikik, lalu berlalu pergi.
Ketika aku kembali ke arah meja kerjaku, aku membuka email di dalam komputerku, ternyata sudah ada tujuh belas email baru selama dua jam setengah aku pergi dari kantor. Aku melihat daftar email dan membuka salah satunya.
Hi, Jane,
Ada pesan dari klien favoritmu bahwa kami sangat senang dengan liputan malam pembukaan Fever minggu ini. Danny pasti sudah melihat dirinya sendiri sampai enam kali di layar TV sejak kau mengatur wawancara itu.
Apa kau dan Julian belum ada acara akhir pekan nanti?”
Erant.
Erant merupakan seorang manajer pemasaran CT, salah satu perusahaan yang kutangani. Jika saja semua klienku baik seperti dirinya, betapa bahagianya diriku dan hidupku akan tenang sepanjang masa. Dia adalah orang baik dan menyenangkan jika diajak mengobrol. Menjadi teman sungguhan yang kutemui di luar jam kerja karena kami memang cocok dalam hal menjalin hubungan baik dengan klien agar hubungan bisnis tetap lancar.
Segera saja aku menjawab email tersebut dan menanyakan kepadanya mau dibawa ke mana kah aku dan Julian? Dan tentu saja Erant pun membalas dengan cepat emailku. Tapi satu yang membuatku memicingkan mata ke arah Drew setelah membaca isi email dari Julian.
“Jane, kau bisa beri tahu kepada Drew? Jangan lupa suruh dia melepaskan tangannya dari daerah selangkanga*n. Dia terus saja melakukan selama setengah jam, sampai-sampai aku kehilangan selera untuk memakan roti lapisku.”
...****************...
tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
im3ld4
niatnya baik banget yah😂
2023-05-05
1