Bab 2

Bab 2

“Sial! Sial! Benar-benar sial” ujarku.

“Kau hanya melebih-lebihkan kencan pertamamu itu, Jane,” tukas Castello.

“Tidak. Aku mengatakan yang sesungguhnya. Di akhir malam itu, ekspresi wajahnya sama persis dengan ekspresi Dian.”

Castello menatapku dengan pandangan yang kosong.

“Yang mana, sih? Aku sedikit lupa dengan wajahnya.”

“Itu... yang mirip seperti Robbie William tapi dia kurus kering. Ceking.”

Castello hanya menggelengkan kepalanya, bingung.

“Yang lengannya terkilir saat aku melakukan rutinitasku,” ujarku malas.

“Ah, orang itu. Orang kampung memang selalu punya alasan.”

Meskipun bercanda, wajah Castello tetap terlihat prihatin. Sedihnya lagi aku sudah sering melihat ekspresi serupa di wajahnya itu.

“Apa kau akan menemuinnya lagi?” tanya Castello.

“Kalau dia mendadak amnesia dan lupa bahwa pasangan kencannya ternyata dungu.”

“Aku tebak, pasti bukan hanya masalah sepatumu itu saja, kan?” tanya Castello lagi. “Maksudku insiden sepatumu itu memang cukup, tapi apakah benar hanya itu saja yang terjadi?”

“Puncak kejadiannya adalah ya sepatuku itu. Setelah itu semuanya jadi runyam. Dan yang paling parahnya adalah saat aku minum-minum terlalu banyak untuk menenangkan diri,” jawabku,

“Kenapa? Apa yang terjadi setelah itu?”

“Dia bilang aku terus memanggilnya Sean sepanjang malam dan bukannya Maid.”

Castello memberikan seringaiannya, sambil mengulurkan tangannya ke alat pemanggangan roti. “Apa kau mau menjadi gemuk lagi?”

“Kenapa tidak? Biar saja aku gendut dan menderita,” sahutku sinis.

Catello mengenakan mantel tidur lembut yang berwarna coklat orange yang dibelikan oleh ibunya untuk kado ulang tahunnya. Entah dari mana ibunya menemukan itu. Karena aku sendiri tak pernah melihat barang jelek seperti itu di seantero jagat raya ini.

Ibu Castello masih membelikan pakaian untuk dirinya walaupun Castello sudah berumur dua puluh delapan tahun. Aku sudah bilang kalau itu tidak normal, tapi percuma saja. Lagi pula, pakaian pilihan Castello sendiri juga sama jeleknya, entah selera mereka sungguh membagongkan.

Sebenarnya itu bukanlah masalah penting. Castello merupakan teman terbaik dambaan semua orang. Sebagai teman satu apartemen, ia sungguh baik, ia melakukan lebih dari sekadar bebersih dan selalu membantuku untuk membayar sewa apabila aku telat untuk membayarnya. Yang lebih penting, ia juga setia, cerdas di atas rata-rata dab aku juga sudah terlalu sering menangis di bahunya selama beberapa tahun ini sampai-sampai aku bingung kenapa ia tidak mau membeli jas hujan.

Tapi di luar semua hal itu, tak peduli seberapa sayang diriku pada sosok manusia yang satu ini. Catello jelas-jelas seorang kutu buku yang akut. Tidak membosankan menurutku, malah dia orang yang menyenangkan, dan selalu bisa diandalkan, tapi tetap saja ia adalah seorang kutu buku.

Castello selalu menaruh roti hangat di atas piring, mengolesinya dengan mentega lalu memberikannya kepadaku. Aku segera saja melahapnya.

“Apa ada rekan kerjamu yang masih jomlblo?” Alih-alih terdengar seperti seorang yang putus asa, aku bertanya dengan penuh harap kepadanya.

“Seseorang yang bisa menerima keanehanku untuk mempermalukan diri sendiri... taopi sekaligus percaya bahwa aku adalah wanita yang tepat baginya.”

Sejenak Castello berpikir, “Satu-satunya pria yang masih jomblo sampai detik ini adalah William, tapi kurasa dia bukan termasuk tipemu.”

“Memangnya kenapa? Apa yang salah dengan pria itu?” tukasku dengan segera.

“Usianya sudah enam puluh empat tahun.”

Aku segera memutar bola mataku ke atas.

Catello hanya mengangkat kedua bahunya. “Selain dia, ya hanya ada aku.”

Aku menoleh dan menatap lekat ke arah bola matanya. Kami berdua pin terkikik bersama.

Aku menyukai film American Pie, aku tahu berdasarkan pengalamanku sendiri bahwa hubungan antara pria dan wanita bisa saja murni. Maksudku lihat aku dan Castello. Kami sudah lama berteman dan saling kenal satu sama lain selama sembilan belas tahun lamanya, dan selama itu pula kami tidka pernah ada sedikitpun ketertarikan di antara kami.

Memang aku akui, aku terkadang mengaguminya. Siapa yang tidak mengangumi sosok dirinya yang pengertian, pintar, dan selalu mengedepankan perasaan wanita, sudah seperti sosok kakak lelaki yang didambakan oleh seorang adik perempuan. Pokoknya aku menyayangi Castello tak terkira. Akan tetapi, aku takkan pernah mau tidur dengannya meskipun hidupku bergantung pada hal itu, dan aku yakin Castello juga begitu. Tenang kamarku bersebelahan dengan Castello. Tapi tak jarang kami selalu menghabiskan waktu berdua.

“Sudah kubilang bahwa kau harus menjadi dirimu sendiri,” ucap Castello. “Kau pasti lebih beruntung dalam mendapatkan pria jika kau mau melakukannya. Kau harus santai dan membiarkan mereka melihat DIRIMU yang asli.”

“Tolong berhentilah untuk memulai itu lagi,” tukasku geram.

“Pikirkanlah Anthony dan Cleopatra, atau masih banyak lagi seperti Pangeran William dan Kate Middelton,” lanjutnya. “Semua wanita itu dicintai dengan tulus oleh kekasih mereka tanpa melihat kekurangan diri mereka.”

Begitulah komentar khas Castello. Meskipun kalimatnya cukup singkat, itu sangat berguna untuk memberikan komentar kepadaku untuk menyadarkan kekeras kepalaanku.

“Wanita-wanita itu tidak nyata, Catello,” kataku. “Mereka hanya...”

“Pangeran William dan Kate itu adalah tokoh nyata,” jawabnya sambil menyimpan mentega lalu menaruh piringku ke dalam mensin pencuci piring.

“Ya, aku tahu itu,” gumamku. “Intinya, kali ini kau harus percaya padaku, sekarang ini kaum wanita diharapkan untuk menjadi lebih pintar daripada Angelina Jollie, memasak lebih mahir daripada Gordon Ramsey, dan lebih bahenol daripada Nicky Minaj... semuanya sekaligus.”

“Lebih bahenol?” Castello tersenyum.

“Kau tahu maksudku, kan? Pria tidak benar-benar suka wanita yang hanya biasa-biasa dan datar-datar tanpa bokong*,” ujarku pasrah. “Tidak ada yang suka wanita yang bulu kakinya belum dicukur, matanya seperti mata panda, atau jemari kakinya rusak seperti jamuran tanpa kutek.”

“Pertama, kau harus ingat kalau aku juga seorang pria, Jane.”

“Kau kan Castello,” aku menyahut lemah sambil mengibaskan tangan kepadanya.

“Kedua,” lanjutnya tanpa memedulikanku, “Aku bukannya bilang bahwa pria tak suka wanita yang memiliki tampilan menarik. Jelas bukan itu masalahnya. Aku cuma bilang bahwa tidak ada yang salah jika wanita tak selalu sempurna dalam segala hal.”

“Aku sudah terima bahwa aku memang tidaklah sempurna... terutama dalam segala hal.”

Catello melirik ke araku, “Sudahlah, Jane. Kau tidaklah jelek. Janganlah sungkan akan dirimu yang tidak sempurna dalam segala hal.”

“Wah.. kau berkata dengan jujur, terima kasih.”

“Kapan kau mau percaya kepadaku? Kau tak harus mempunyai riwayat hidup yang sangat sempurna.”

“Aku tidak paham maksudmu,” kataku malas walaupun sebenarnya aku mengerti akan apa yang dimaksud.

“Jane, kau sudah cukup baik. Kau tak perlu lagi bermulut besar supaya dirimu terdengar lebih eksotis atau sukses.”

“Memang tidak.” Terdengar jawabanku yang bernada lirih.

“Exactly... jadi beberapa bulan yang lalu kau tidak perlu membual kepada chef itu bahwa kau pernah menjadi finalis blockbustters padahal kenyataannya kau berada di peringkat enam besar.”

“Kau selalu saja mengungkit-ungkit hal itu,” sahutku kesal. “Aku tidak memberitahunya, hanya saja... menebak dengan sendirinya. Aku bukan orang yang suka merusak imajinasi orang lain.”

Sebelah alis Castello terangkat sebelah, membingungkan.

“Sudahlah, aku kembali ke kamarku,” pamit Castello meninggalkanku sendiri sambil mengangkat kedua bahuku.

...****************...

tbc

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!