CASTELLO VS JANE

CASTELLO VS JANE

Bab 1

BAB 1

Mungkin ada yang sependapat bahwa kesuksesaan kencan pertama tak berhubungan dengan apa yang kau kenakan untuk menunjang penampilanmu. Baik itu dengan kualitas sepatu yang dipakai si wanita ataupun baju yang bermerek. Intinya, kau bisa saja menemukan cinta sejatimu saat mengenakan sandal jepit yang murahan atau juga sepatu mewah bertali seharga setinggi langit. Aku ingin membahas teman kencanku malam ini, Maid. Maid memiliki gestur yang tegas, berwajah tampan, cerdas, memiliki rahang yang kokoh. Kau tahu apa yang aku lakukan? Semua mulai dari perawatan tubuh, pergi ke spa, dan yang lainnya aku lakukan. Untuk menunjang kesuksesan di kencan pertamaku. Aku tak mau gagal sebenarnya. Tapi apalah dayaku, mari kita lihat, bagaimana selanjutnya.

Aku terpaksa melakukan hal seperti itu, karena aku terdampar di persaingan dunia cinta yang rumit, padahal setahun yang lalu aku menjalin sebuah hubungan, yang ternyata tidaklah sebagus yang kukira saat kutahu bahwa kekasihku berselingkuh dengan sahabat adik perempuannya.

Memang ada untungnya menjadi seorang jomblowati, seperti yang dikatakan temanku, Julian, meskipun sebenarnya temanku itu seorang maniak seeks. Julian selalu mengatakan bahwa aku selalu berusaha terlalu keras. Erin, temanku yang lain, bersikeras bahwa aku hanya kurang beruntung dalam hal ini. Sementara Castello, sahabatku selama hampir dua puluh satu tahun bersama denganku sekaligus teman satu atap ku selama lima tahun, berkata bahwa aku harus menjadi diriku sendiri. Biar semua pria mengenal diriku yang sesungguhnya. Perkataannya itulah yang membuatku prihatin, karena siapa yang mau mengencani diriku yang sesungguhnya?

Diriku yang sesungguhnya tak dapat meminum soda di antara minuman yang beralkohol, tak pernah membaca, dan tak pernah mencuci kuas make-up. Betapa joroknya diriku. Bahkan aku tidak selalu suka bersimpati terhadap orang-orang yang selalu ingin butuh bantuan.

Yang jelas ini bukan diriku. Malam ini aku bersiap untuk bekencan dengan Maid, yang kutemui minggu lalu di sebuah acara prom night antar rekan kerja bosku di daerah x. Di mana aku tinggal dan bekerja. Meskipun sebagian besar isi pembicaraan kami saat itu adalah tentang strategi humas untuk pelayanan profesional, ketertarikan di antara kami begitu kuat.

Diriku malam ini adalah diriku yang cerdas, suka membaca, dan memesona dengan sepatu yang kukenakan malam ini.

Cuaca malam ini cukup cerah, begitu pula dengan perasaanku untuk kencan malam ini. Rambut curlyku yang berwarna hitam gelap tertata rapi. Setelah aku diet mati-matian, aku bisa mengenakan gaun ukuran dua belas milikku dengan pas, asalkan aku menahan napas.

Aku melihat Maid ketika berjalan memasuki salah satu bar favoritku, Alma de Cuba, sebuah gedung bekas bengkel yang disulap menjadi tempat minum-minum paling gaya yang pernah ada.

Tempat itu ditata dengan penerangan yang redup dan suasana yang teramat hangat, sampai-sampai aku langsung merasakan butir-butir keringat yang membasahi dahiku. Aku lantas meluruskan pungguku dan berjalan ke arah Maid, sambul membayangkan gaya yang elegan saat mengandeng tangannya ketika berjalan memasuki ruangan. Kakiku berjalan nyaman di dalam dengan sepatu baruku dan sama sekali tidak bergerak naik turun seperti sebelum aku mempraktikkan sebuah cara untuk meletakkan sebuah perekat di bawah tumitku. Setidaknya, aku melakukan adaptasi dari caraku.

Maid menatapku diiringi senyumannya. Senyumann dengan mata yang berbinar dan wajah yang berseri mampu membuat jantungku serasa ingin lepas dari wadahnya. Aku berusaha untuk menyembunyikan hal itu dari pandangan mata indah Maid dan berpura-pura tenang.

“Halo, Jane. Kau terlihat cantik malam ini,” ujarnya sambil cipika-cipiki. “Sepatumu bagus.”

Aku harus menahan diriku agar jangan sampai menjatuhkan diri untuk berlutut dan menyatakan cinta kepada pria yang berselera tinggi dalam hal sepatu. Aku pun segera duduk di kursiku sambil tersenyum kecil.

“Terima kasih. Seleramu bagus juga.” Mendadak aku tersadar bagaimanan ucapanku itu terdengar.

“Maksudku dalam sepatu,” buru-buru aku menambahkan. “Maksudku bukan tentang aku yang terlihat cantik.”

Maid terlihat senang. “Kau mau minum apa?” tanyanya, membuatku lega.

“White wine saja.” Aku berusaha menjawab dengan tenang, setenang mungkin.

“Tunggu di sini,” ujarnya dengan tersenyum.

Karena merasa panas, aku pun melepaskan sepatuku dan meletakkan tumitku di atas pijakan kaki kursiku. Aku tak mau hawa panas di tempat ini membuat kakiku membengkak seperti jika berada di tempat yang lebih panas daripada ini.

Selagi Maid menoleh untuk memanggil pelayan bar, diam-diam aku mengamati sosoknya. Ia begitu menawan.

“Kau masih sibuk di kantor?” tanyanya.

“Oh, iya,” jawabku dengan semangat. “Tapi aku tak mau mengeluhkan hal itu.”

“Tentu saja, kau kan punya klien-klien terbaik di kota ini.”

Ha ha! Dipikirnya karierku sukses!

“Aku hanya cukup beruntung,” sahutku singkat. “Bagaimana denganmu?”

Kami menghabiskan setengah jam berikutnya untuk membicarakan pekerjaan. Disamping itu, aku sama sekali tidak keberatan karena menurutnya aku genius dalam bidang humas juga hal-hal yang menyenangkan, menggoda, sekaligus mendebarkan di kencan pertama kami ini. Saat ia berdiri untuk mengajakku ke restoran di seberang jalan, aku sudah tak terkejut lagi jika ia mulai berbicara tentang keluarga.

“Ayo, kita pergi.”

Aku meraih tangannya dan bersiap untuk berjalan dengan anggun di sisinya. Tapi saat aku hendak berdiri, aku tersadar bahwa aku tak bisa ke mana-mana. Aku tersadar bahwa... oh astaga! Kakiku menempel di bawah kursi.

Menjejakkan kedua tumit di pijakan kaki kursi sama sekali bukan ide bagus khususnya ketika ada gumpalan permen karet warna pink di masing-masing tumitku. Seketika aku mengingat bahwa aku menggunakan permen karet untuk merekatkan tumitku untuk menggunakan sepatu itu agar tidak terlepas. Oh my Gosh!

Aku mencoba untuk mengangkat kaki kananku tapi permen karet itu malah mulur semakin jauh sampai melingkari pergelangan kakiku, membuatnya tampak konyol.

“Ooh, eh, maaf... sebentar saja.” Dengan pipi yang memerah menahan malu, aku membungkuk sampai lututku, mencoba untuk melepaskan permen karet yang merekat itu. Iugh!!

“Apa kau baik-baik saja? Perlu bantuan?” tanya Maid bingung.

“Jangan!” Aku tak sengaja memekik keras sambil berusaha melepaskan gumpalan permen karet itu dari tumitku. “Sebentar lagi, eh... ada masalah dengan sepatuku. Sebentar lagi pasti akan beres.”

“Ku rasa kau butuh bantuan. Mari ku bantu...,” ujar Maid tenang sambil membungkuk.

“Jangan!” seruku sambil memegangi pergelangan kaki kiriku dan menariknya ke atas seperti sedang memperbaiki toilet yang mampet.

“Tidak apa-apa. Izinkan aku untuk membantumu, aku...”

“Jangan!” Tak sengaja aku memekik lebih keras. “Maksudku, lihatlah... sudah beres,” ujarku dengan bangga setelah berhasil melepaskan kakiku dan membuat kursiku terguling dengan suara yang keras di lantai.

Aku pun berdeham. “Maaf tentang hal itu.” Aku lantas berdiri dengan pandangan tetap terarah ke lantai untuk mencari sepatu kananku.

“Tidak mengapa,” gumamnya sambil membungkuk dengan dahi yang berkerut. Ia lalu mengulurkan sebelah sepatu baruku dengan tatapan yang aneh.

“Terima kasih, ya.” Aku tersenyum lemah sambil meraih sepatuku dari tangannya dan segera memakainya di kaki ku.

Ekspresi yang ditunjukkan oleh wajah Maid menyiratkan bahwa aku telah gagal. Baik dengan sepatu baru maupun sepatu lama, tidak ada bedanya dengan hal ini. Kencan pertama yang kacau!!!

...****************...

tbc

Terpopuler

Comments

Lembayung jingga🥀🍃

Lembayung jingga🥀🍃

aku baca ini berasa nonton film barat. author suka baca novel atau film western kah?

2023-09-12

1

ᯓ⃟ღʀsིྀʀᴏssᴇ⃝❣ᵒᶠᶠ❍○◦:

ᯓ⃟ღʀsིྀʀᴏssᴇ⃝❣ᵒᶠᶠ❍○◦:

vall valle

2023-06-01

1

ƐꝈƑ⃝🧚🏻‍♀️ JACK

ƐꝈƑ⃝🧚🏻‍♀️ JACK

vall

2023-04-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!