Numpang Hidup

Baru sehari Hasan meninggal dunia, Mas Hanung sudah berulah lagi dengan tak pulang ke rumah sehabis bekerja. Lagi-lagi rumah Mama nya masih menjadi tempat ternyaman bagi dirinya.

Aku tidak peduli lagi dengan sagala tingkah Mas Hanung. Karena fokus aku kini hanya ingin menjadi orang sukses tanpa berharap pada orang lain, dan prioritas utama ku hanya Husein.

Semenjak kehilangan Hasan, aku selalu menjemput Husein tempat waktu di sekolah, bahkan terkadang aku menjadi orang tua pertama yang menjemput anak di sekolah, tidak peduli seberapa lama aku harus menunggu, aku tidak ingin kecolongan lagi.

* * *

Tiga hari berlalu.

Pagi minggu.

"Dek, ini uang belanja untuk minggu ini, kamu berhemat hemat lah,'' kata Mas Hanung seraya meletakkan dua lembar uang merah di atas laci. Saat ini kami sedang berada di dalam kamar.

''Jangan boros boros,'' sambungnya.

Aku tersenyum getir mendengar itu.

Seorang manajer di suatu perusahaan hanya memberi uang belanja kepada istri 800 ribu untuk sebulan, sungguh tidak setara dengan gajinya yang aku tahu 13 juta sebulan.

''Bisa ditambah 500 ribu lagi tidak, Mas?'' ucapku, aku ingin melihat bagaimana reaksinya, apakah masih sama seperti dulu, pelit sama anak istri dan royal sama Mama serta saudara saudara nya.

''Buat apa?'' tanyanya dengan mata menyipit, dia menatapku lekat.

Dugaan ku benar. Ternyata Mas Hanung masih sama seperti dulu.

''Aku ingin bersedekah untuk kematian Hasan, Mas. Aku ingin berbagi kepada anak yatim piatu, hari ini 'kan tiga hari kematian Hasan,'' jelas ku.

''Apa? Alaaaah, tidak usah sok-sokan mau berbagi Indah. Lagian Hasan itu masih kecil, dia meninggal dalam keadaan tidak berdosa dan tidak perlulah bersedekah segala, buang-buang duit saja,'' Mas Hanung mencebik, ''Lebih baik aku kasih uang kepada Mama, saudaraku serta keponakan ku, jelas uang hasil kerja keras ku berguna dan pergi ke mana,'' sambung nya lagi.

''Mas, kenapa kamu dari dulu tidak pernah peduli sama anak-anak kita? Bahkan saat Hasan sudah tiada pun kamu enggan mengeluarkan uang lebih untuk nya. Lagi-lagi selalu saja keluar mu yang kamu utamakan. Aku tidak habis pikir sama kamu, Mas!'' aku menggeleng kecil.

''Heh Indah. Jangan membahas hal itu lagi, bukankah dari dulu sudah aku jelaskan, sampai kapanpun tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi keluarga ku di hidup ku, termasuk kamu. Karena Mama lah aku bisa sesukses sekarang dan karena saudara saudara ku juga. Kamu mah hanya numpang hidup, jadi terima saja berapa uang yang aku kasih. Sudah punya rumah dan kendaraan saja udah bersyukur kamu, jadi jangan ngelunjak. Lagian aku selalu makan di rumah Mama, jadi semua gaji ku hanya pantas aku kasih kepada Mama, wanita yang telah melahirkan aku dan menyekolahkan aku hingga sekarang aku menjadi sesukses sekarang,'' katanya pongah.

Muak sekali aku mendengar kata-katanya barusan, dada ku bergemuruh hebat karena perkataan tajam yang keluar dari mulut Mas Hanung. Tega-teganya dia mengatakan aku menumpang hidup. Bukankah seorang istri memang merupakan tanggungjawab suami, mungkin dia tidak pernah belajar tentang itu.

Saat aku masih sibuk mengendalikan emosi, tiba-tiba terdengar deringan nyaring dari ponsel pria yang ada di dekat ku, aku melihat kearah dirinya sekilas, dengan wajah tersenyum dia mengangkat panggilan tersebut.

''Iya Resti, ada apa?'' tanya Mas Hanung lembut. Dia berdiri dari duduknya lalu membelakangi aku.

''Oh, oke. Mas akan segera ke sana, kita jalan-jalan hari ini ke Mall, Mas akan membelikan apapun yang kamu dan Cantika inginkan,'' ucapnya lembut.

Ternyata Resti adik ipar yang menghubungi Mas Hanung. Resti merupakan istri dari adik Mas Hanung, dan saat ini adik Mas Hanung sudah meninggal dunia dari setahun yang lalu saat Cantika masih berusia setahun, dia meninggal karena kecelakaan, mobilnya terjatuh ke jurang. Resti seorang janda, dia masih tinggal di rumah mama mertua karena yang aku tahu orangtuanya sudah tidak ada lagi. Selain itu karena Mama mertua sangat menyayangi nya. Hubungan Resti dan Mas Hanung terjalin begitu dekat, entahlah, terkadang aku merasa ada yang aneh melihat kedekatan mereka yang tak wajar. Pun mamanya Mas Hanung sama sekali tidak melarang mereka saat mereka berdekatan.

''Mas harus pergi,'' dia mengambil kunci mobil dari laci, lalu siap melangkah meninggalkan kamar, tapi aku mencegah nya sejenak.

''Ajak Husein ikut serta, kasihan dia, semenjak Hasan meninggal dia terlihat murung dan tak bersemangat,''

''Apa? Hah, tidak. Lebih baik dia rumah saja, nanti malah merepotkan,''

"Merepotkan katamu? Kamu dengan senang hati ingin membawa anak orang jalan-jalan ke Mall, tetapi dengan anak sendiri kamu bilang merepotkan. Lagian Hasan bukanlah anak yang nakal,'' kata ku dengan netra berkaca-kaca. Kali ini aku benar-benar marah sama Mas Hanung.

''Sudahlah, malas sekali rasanya berdebat dengan mu, bikin pusing saja. Resti dan Cantika sudah menunggu, kasihan Cantika kalau harus menunggu terlalu lama,''

Mas Hanung keluar dari kamar dengan langkah kaki lebar.

''Minggir,''

Nyes!

Semakin sakit dada ku saat aku melihat ternyata Husein berdiri diambang pintu, netra Husein pun sama, dia terlihat berkaca-kaca, ditambah lagi Papa nya mendorong tubuh kecilnya agar tak menghalangi jalan. Husein pasti mendengar semuanya.

Ya Allah. Aku harap akan ada balasan untuk suami yang bersikap semena-mena. Itulah doa yang langsung aku ucapkan. Doa seorang istri yang merasa teraniaya.

Husein berlari kearah ku, lalu dia menangis sesenggukan di dalam dekapan ku.

''Sudah, jangan nangis lagi, Nak,'' aku membelai punggung anakku yang bergetar.

''Papa jahat. Aku benci Papa. Selalu saja Cantika. Mungkin Cantika lah yang merupakan anak Papa sebenarnya,''

''Hus, kamu tidak boleh ngomong gitu, Nak.''

''Tapi Ma,''

''Apa Husein juga ingin main ke Mall?'' aku meraup pipi putra ku dengan kedua telapak tangan, serta menghapus air mata yang ada di pipi serta sudut matanya. Tatapan mata kami bertemu.

''Tidak, Husein tahu Mama tidak punya uang, 'kan? Husein tidak ingin menyusahkan Mama,''

''Husein tidak menyusahkan Mama. Mama punya uang kok, lihat ini,'' aku mengeluarkan sepuluh lembar uang mata merah dari saku piyama yang aku pakai.

Melihat apa yang ada ditangan ku, membuat wajah Husein berbinar terang. Tapi kemudian binar itu redup lagi.

''Tapi, itu uang kan untuk makan kita ke depan, Ma,'' ucapnya lesu dengan wajah menunduk. Aku mengangkat pelan dagu nya dengan tangan.

''Tidak Sayang, ini uang Mama. Sekarang Mama sudah memiliki banyak uang. Kamu 'kan tahu sendiri kalau sekarang Mama sudah bekerja, Mama sudah gajian Sayang,'' kataku meyakinkan. Setelah itu senyum Husein mengembang indah, dia berlari ke kamarnya untuk mengganti pakaian. Pun aku, aku juga mengganti pakaian ku dengan pakaian yang baru aku beli seminggu yang lalu. Pokoknya hari ini aku harus membawa Husein bermain sepuasnya, aku juga akan membelikan mainan apa saja yang dia mau dengan uang yang aku punya.

Tanpa Mas Hanung aku masih bisa berdiri tegap, aku tidak butuh penyangga yang patah seperti dia. Tanpa dia aku masih bisa menyenangkan diriku sendiri dan juga anakku.

Dengan hinaan, seseorang akan termotivasi untuk bersemangat melakukan perubahan yang lebih baik.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Arie

Arie

bapakk apa ituu🤦🤦🤦🤦🤦🤦🤦🤦

2023-04-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!