"Lara, bangun!" panggil Fedrick.
Lara membuka mata hitamnya menatap Fedrick. "Bisakah kau membiarkan aku tidur lebih lama lagi, Fedrick. Tidurku tidak nyenyak sepertimu, aku harus membagi tempat tidur sempit ini dengan orang lain sampai tengah malam."
"Rue tidak ada!" balas Fedrick panik. Tempat tidur yang seharusnya ditempati Lara serta Rue kini tinggal Lara seorang, dan Fedrick juga tidak menemukan gadis berambut emas itu di dalam maupun di luar gua.
"Aku tahu. Sepertinya dia mengalami mimpi buruk pada tengah malam. Dia terus memanggil nama cowok buta itu. Saat bangun, dia langsung berlari keluar. Kurasa dia pergi mencarinya." Jelas Lara sambil menarik selimut menutupi wajah.
"Kau tidak menghentikannya?" tanya Fedrick terkejut begitu mendengar penjelasan Lara.
"Buat apa aku menghetikan dia? Aku malah berterima kasih dengan mimpi buruknya. Akhirnya aku bisa mengunakan tempat tidur ini seutuhnya. Lagian, dia kan tinggal di hutan ini. Kupikir tidak akan ada masalah." Jawab Lara tidak peduli.
Fedrick diam membisu tidak tahu harus mengatakan apa saat mendengar jawaban Lara. Gadis berambut hitam di depannya memang terkenal egois, tapi membiarkan Rue mencari seseorang di dalam hutan pada tengah malam? Itu bukanlah hal yang benar, kan?
Putus asa dengan sikap Lara yang masih melanjutkan tidurnya, Ferdick memutuskan untuk mencari Rue sendirian. Berjalan menyusuri hutan terlarang, mata biru langit nya melihat sekeliling dengan penuh kewaspadaan. Hutan ini dipenuhi dengan pohon-pohon besar yang telah berusia ratusan tahun, menjulang tinggi dengan dahan-dahan yang kokoh. Udara yang dingin, cahaya mentari pagi yang minim serta beberapa burung kecil yang berkicau, membuat hutan ini terlihat sangat tenang. Hanya saja, pemuda berambut pirang itu tetap merasa hutan ini berbahaya.
Mengandalkan ingatannya, Fedrick berjalan ke utara. Dia merasa mungkin saja, Rue dan juga Apel berada di danau tempat mereka pertama kali bertemu. Namun, beberapa menit dia berjalan, dia menemukan sebuah pemandangan yang ganjil.
Ada sepetak tanah kering yang membuat Fedrick mengernyitkan dahinya. Berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar sepuluh meter. Warna tanahnya coklat gelap hingga mendekati hitam, dan tidak ada sebatang rumput pun yang tumbuh di atas. Sangat kontras dibanding dengan hijaunya rumput samping.
Ada perasaan tidak enak yang dirasakan Fedrick. Tidak tahu mengapa, perasaan itu semakin menguat saat dia melihat lebih jelas lagi tanah kering itu. Perasaan yang bercampur aduk, gelisah, enggan dan juga; takut.
Mengigit bibir bawahnya, Fedrick kemudian membalikkan badan dan berjalan menjauh. Dia telah salah mengambil arah, danau yang dicarinya bukan di sini. Mereka tidak melalui tanah kering yang ganjil ini kemarin.
Mengambil arah lain, Fedrick berjalan menjauh. Dirinya berusaha melupakan apa yang dilihatnya barusan dan menenangkan perasaan. Hutan ini adalah hutan yang aneh, dia tidak berani sembarangan bertindak yang mungkin berakibat mencelakai dirinya sendiri.
Beberapa saat berjalan, dengan susah payah berusaha menggali ingatannya, Fedrick akhirnya berhasil menemukan danau yang dicari. Matanya mencari-cari sosok Rue maupun Apel. Lalu, padangannya menangkap sosok dua orang yang dicarinya di bawah sebatang pohon besar di samping danau. Tersenyum lega, pemuda berambut pirang itu berjalan mendekat.
Semakin dekat Fedrick dengan kedua sosok yang dicarinya, dia langsung tertegun. Ada perasaan aneh yang terbesit dalam hatinya. Perasaan asing yang dia sendiri tidak tahu apa itu.
Di depannya, Apel duduk menyadarkan tubuhnya pada batang pohon oak besar. Sedangkan Rue berbaring di atas rumput dengan kepala di pangkuan sang pemuda. Gadis itu tertidur dengan tenang dan damai. Seulas senyum menghiasi wajah cantiknya.
"Ada apa?" tanya Apel tiba-tiba.
Fedrick terkejut mendengar pertanyaan Apel. Dia tidak menyangka pemuda berambut hitam itu menyadari kehadirannya. Mata yang tertutup kain serta tidak bergeraknya Apel, membuat dirinya berpikir pemuda itu sedang tidur.
"Tidak apa-apa," jawab Fedrick cepat. "Maaf, apakah aku membangunkanmu?"
Apel tidak menjawab pertanyaan Fedrick. Kebisuan yang tercipta pun dengan segera membuat pemuda berambut pirang itu merasa tidak enak. Sepertinya, dia telah menganggu waktu kebersamaan kedua orang di depannya.
Fedrick berusaha keras memeras otaknya untuk mencari topik pembicaraan. Dirinya tidak mau terjebak keheningan yang canggung lagi saat bersama dengan pemuda di depannya.
Tiba-tiba saja, Apel mengangkat kepala Rue yang berada di pangkuannya. Dengan pelan dan hati-hati, dia meletakkannya di atas rumput. Gadis berambut emas itu tidak merasakan tindakan Apel sama sekali, dia masih menutup mata dan tertidur dengan tenang.
Berdiri tegap, Apel berjalan mendekati Fedrick. Pemuda berambut pirang itu semakin canggung melihatnya. Namun, Apel hanya berjalan melewati Fedrick tanpa melakukan apa-apa.
Membalikkan badan, mata Fedrick mengikuti sosok Apel yang berhenti berjalan beberapa meter di depannya, "A-apel ada a—"
Pertanyaan Fedrick tidak terselesaikan karena suara tenang tanpa intonasi Apel memotongnya. "Keluarlah kalian semua. Aku tahu kalian bersembunyi di sekitar sini."
Suara tawa seorang pria tiba-tiba terdengar membalas ucapan Apel. "Aku tidak menyangka kau menyadari kehadiran kami."
Dari balik pohon di depan Apel, muncul delapan orang pria berpakaian hitam. Dua diantaranya adalah pria yang dikalahkan Apel kemarin.
Pria berambut merah yang berdiri paling depan, sekaligus juga merupakan pria yang tadi tertawa membalas ucapan Apel tersenyum menyeringai. Mata hijaunya menatap lekat sosok Fedrick. "Senang bertemu denganmu lagi, Yang Mulia Pangeran Fedrick."
"Aaron!!" mata biru Fedrick menatap tajam pria berambut merah itu.
"Sepertinya kau menemukan teman baru lagi, Pangeran Fedrick," tawa Aaron menatap Apel. "Tapi, kurasa temanmu ini tidak akan membantu banyak."
Apel hanya diam mendengar ucapan Aaron. Jelas sekali pria berambut merah itu meremehkannya, tapi dalam hati, dirinya tidak peduli sama sekali.
"Hati-hati terhadap bocah buta itu, Tuan Muda," salah satu pria yang pernah dikalahkan Apel memperingati Aaron. Masih ada sedikit ketakutan di matanya saat menatap pemuda berambut hitam tersebut. "Dia sangat kuat."
"Benarkah?" tanya Aaron begitu mendengar ucapan bawahannya.
"Benar, Tuan Muda," jawab pria satu lagi dengan cepat. "Dia bisa menggunakan sihir dengan kecepatan luar biasa."
Aaron menatap Apel dengan pandangan penuh ketertarikan. Pemuda itu memang terlihat berbeda, tapi, itu bukan masalah baginya yang merupakan seorang penyihir tingkat tinggi.
Apel tidak mempedulikan pandangan Aaron, "Tinggalkan hutan ini." Perintahnya.
Aaron tertawa terbahak-bahak mendengar perintah Apel. "Sepertinya kau harus diberi pelajaran, bocah."
Aaron mengangkat tangan kanannya. Empat pria yang berdiri di belakangnya dengan cepat bergerak maju menyerang Apel.
Tidak tinggal diam, Apel balas melawan, dan hanya dalam beberapa detik, semua yang ada bisa melihat jelas. Meski jumlahnya tidak seimbang, pemuda berambut hitam itu dapat melawan keempat pria tersebut, bahkan boleh dikatakan; mengungguli mereka.
Ketiga orang pria yang berada di belakang Aaron tidak tinggal diam. Mengangkat tangan membuat lingkaran sihir, mereka mulai membaca mantra sihir. Namun sebelum sihir mereka itu berhasil, dari samping mereka, jarum es melesat cepat menyerang.
Aaron berhasil menghindar. Namun, tidak dengan ketiga orang bawahannya. Menoleh wajah menatap arah di mana jarum es tersebut datang, mata hijaunya menemukan Lara berdiri dengan sebuah lingkaran sihir berwarna biru kehijauan di depan tangan.
"Tidak malu kah kau mengeroyok seseorang beramai-ramai seperti itu?" Lara tersenyum menyeringai. Nada suaranya terdengar jelas sedang mengolok Aaron.
"Putri Lara." Wajah Aaron dipenuhi kemarahan saat mendengar ucapan Lara. Matanya menatap tajam gadis berambut hitam tersebut.
"Ugh.." suara rintihan kesakitan ditangkap oleh telinga Aaron. Memalingkan wajah pada sumber suara, matanya terbelalak saat menemukan keempat bawahannya yang melawan Apel meringkuk di bawah tanah. Pemuda berambut hitam itu masih berdiri tegap tanpa terluka sedikit pun.
"Seperti biasa kau tetaplah seorang pengecut Aaron." Lara tertawa kecil melihat ekspresi wajah Aaron. Senyum mengejek di wajahnya semakin lebar, dan itu dengan sukses menjengkelkan pria berambut merah tersebut.
Tidak membuang waktu, Apel bergerak menyerang Aaron. Aaron dengan sigap menghindari serangan tersebut. Melompat ke belakang sambil membuat sebuah lingkaran sihir berwarna hijau, dia membacakan mantra sihir. Dari dalam lingkaran sihir tersebut berpuluh-puluh pedang angin terbang menyerang Apel. Namun, dengan gesit juga, pemuda berambut hitam itu menghindar.
Sihir pedang angin yang dibuat Aaron mengenai pohon yang berada di belakang Apel dan membelahnya menjadi dua. Terdesak, pria berambut merah itu mencabut pedang yang terikat di pinggang menyerang.
Suara pohon yang tumbang akibat sihir pedang angin Aaron berhasil membangunkan Rue yang tertidur. Mata hijaunya terbelalak saat melihat Aaron yang menyerang Apel dengan penuh niat membunuh.
"Apel!!" teriak Rue memanggil Apel penuh ketakutan.
Suara teriakan Rue yang tiba-tiba, sontak membuat semua yang ada menoleh kepala menatap gadis itu, tidak terkecuali Apel. Kesempatan itu segera digunakan oleh Aaron untuk menebas pemuda berambut hitam itu.
Serangan Aaron kali ini hampir melukai Apel. Hanya saja, pemuda berambut hitam itu kembali berhasil menghindari dengan cara melompat kebelakang. Namun, tebasan tersebut berhasil memotong kain yang menutup mata Apel. Kain itu terbelah dua dan jatuh ke tanah, mempertunjukan mata sang pemuda yang berwarna merah.
Fedrick dan Lara sangat terkejut melihat mata Apel. Mereka tidak pernah melihat mata berwarna seperti itu selama ini. Merah seperti warna darah.
Aaron menatap tidak percaya saat melihat warna mata Apel yang ada di depannya, "M-mata merah darah—kau, kau tidak mungkin..." ujarnya terputus-putus. Namun, sejenak kemudian, seakan tersadar akan sesuatu, pria berambut merah itu tertawa terbahak-bahak dengan sangat gembira.
Fedrick dan Lara tidak mengerti kenapa Aaron tiba-tiba tertawa gembira seperti itu.
"Kupikir ini hanya akan menjadi sebuah tugas menyebalkan untuk menangkap tawanan yang melarikan diri," tawa Aaron semakin keras. "Tidak kusangka! Tidak kusangka, aku akan menemukannya di sini. Aku tidak menyangka aku akan menemukan Sang Kegelapan di sini!!"
Wajah Apel tetap tenang tanpa emosi. Namun, jauh di dalam hati, dia sangat terkejut. Sang Kegelapan? Bagaimana bisa pria di depannya tahu akan Sang Kegelapan?
Perlahan, Aaron menyarungkan pedang di tangan dan berjalan menuju para bawahannya yang dengan susah payah berdiri tegak, "Kita mundur." Perintahnya.
Fedrick dan Lara tidak dapat menyembunyikan perasaan terkejut mereka begitu mendengar perintah Aaron. Aaron memang telah kalah, namun, mereka juga tahu, pria itu bukanlah orang yang akan mundur semudah itu.
Menuruti perintah Aaron, ketujuh orang bawahannya segera berjalan meninggalkan Apel dan yang lainnya. Aaron sebagai pemimpin adalah yang paling terakhir meninggalkan tempat. Namun, sebelum dia menghilang dibalik pohon, dia menoleh kepala sejenak menatap Apel. "Aku akan menceritakan pertemuan kita kepadanya. Kurasa dia pasti akan sangat gembira mendengarnya. Dia telah mencarimu selama bertahun-tahun," seulas senyum menyeringai melintas di wajahnya. "Kucing hitam."
Mata merah Apel terbelalak saat mendengar ucapan Aaron yang telah menghilang. Kucing hitam? Pria di depannya benar-benar tahu siapa dia sebenarnya. Dia harus menghentikan mereka; dia harus membunuh mereka.
Namun, sebelum Apel bergerak, dia merasakan seseorang memeluknya dengan erat; Rue. Ketakutan dan kekhawatiran terlukis jelas di wajah cantik Rue. Tubuh gadis berambut emas itu bergetar hebat.
Apel menghela napas dan membalas pelukan Rue dengan erat. Dirinya tidak bisa meninggalkan Rue dalam keadaan seperti ini. Namun, jika Aaron benar-benar bisa lolos dan keluar dari hutan ini hidup-hidup, maka; mereka sudah tidak bisa lagi tinggal di hutan terlarang ini
......................
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments