"Ayo cepat Lara, Fedrick!" panggil Rue penuh semangat. Melambaikan tangan, dia menatap Fedrick dan juga Lara yang berada tidak jauh di belakang.
Kenapa mereka bisa bersama sekarang?—itu karena Rue menawarkan Fedrick dan Lara tempat tinggal untuk sementara. Hari yang sudah gelap serta seluk-beluk hutan terlarang yang tidak mereka ketahui membuat mereka berdua menerima tawarannya dengan senang hati. Saat malam tiba, mereka tidak tahu bahaya apa saja yang bisa saja muncul.
Sepanjang perjalanan, Rue dengan penuh semangat menjelaskan pada Fedrick dan Lara hutan terlarang tempat mereka berada. Dalam waktu yang singkat saja, mereka berdua menyadari betapa polos dan lugunya gadis itu. Dari tingkah laku serta caranya berbicara, dia kelihatan seperti seorang anak kecil.
Apel yang berjalan di samping Rue tidak mengatakan apapun. Dia diam membisu tidak mempedulikan Fedrick dan juga Lara, seakan mereka berdua tidak ada di sana.
Fedrick mengamati Apel penuh kebingungan. Kain yang membalut mata pemuda berambut hitam itu pasti akan membuat siapapun yang melihatnya berpikir dia buta. Dilihat dari ketebalan jenis kain yang membalut matanya, tidak mungkin dia dapat melihat apa yang ada di depan. Namun, kenapa dia dapat dengan mudah bergerak seakan-akan matanya tidak tertutup?
Setiap langkah kaki serta gerakan pemuda bernama Apel tersebut akhirnya membuat Fedrick tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya lagi, "Maaf kalau tidak sopan," ucapnya pelan menatap pemuda berambut hitam itu. "Apakah kau buta?"
Apel tidak menjawab, dia tetap diam membisu. Fedrick langsung merasa tidak enak dalam hati. Suasana menjadi sangat canggung di antara mereka. Mungkin kah dirinya sudah keterlaluan karena menanya pertanyaan yang sensitif? Untungnya, tidak lama kemudian mereka telah sampai pada tempat tujuan.
"Sudah sampai!" tawa Rue penuh semangat. Pipinya bersemu merah karena gembira. Ini adalah pertama kalinya tempat tinggal mereka mendapatkan tamu. "Selamat datang!"
Fedick dan Lara menatap tempat tinggal di depan mereka yang tidak lain adalah sebuah Gua.
Dengan penuh semangat, Rue menarik tangan Fedrick dan Lara memasuki gua tersebut. Apel dengan perlahan mengikuti dari belakang.
Saat Rue menyalakan lampu minyak di dalam gua, Fedrick dan Lara cukup terkejut karena di dalam gua tersebut sangat bersih. Beberapa perabotan yang sangat sederhana seperti meja, kursi, lemari dan tempat tidur dari kayu menghiasi sudut-sudut gua. Gua ini memang tidak besar, namun, mereka bisa merasakan kenyamanan dan kehangatannya.
"Karena tempat tidurnya hanya ada dua, aku akan tidur bersama Apel. Fedrick dan Lara pakai saja tempat tidurku." Jelas Rue sambil tersenyum lebar.
Wajah Fedrick seketika memerah sekaligus penuh kepanikan. "Tidak, Rue! Hubunganku dengan Lara bukan seperti yang kau pikirkan. Aku akan tidur di lantai saja."
"Bukan seperti yang aku pikirkan? Apa maksudnya? Mengapa kau tidak mau tidur dengan Lara? Kalau begitu kamu tidur dengan aku saja, bagaimana?" tanya Rue lugu. Dia benar tidak mengerti apa yang dikatakan Fedrick.
Wajah Fedrick bertambah merah begitu mendengar tawaran Rue. Dirinya benar-benar kehabisan kata untuk menjelaskan apa yang seharusnya.
"Bodoh," suara Apel tiba-tiba terdengar membuat semua yang ada menatapnya. Pemuda itu tetap tenang dan dingin, namun Fedrick dan Lara bisa merasakan kejengkelan dalam nada suaranya. "Kau tidur saja dengan cewek itu di tempat tidurmu dan cowok itu akan tidur di tempat tidurku."
"Hah? Kau akan tidur dengan Fedrick?" tanya Rue terkejut.
"Aku akan tidur di luar." Jawab Apel.
"Aku akan lebih senang lagi kalau kau juga tidur di luar, Rue. Tempat tidurmu itu sepertinya sangat sempit untuk dua orang. Terlebih lagi, aku tidak suka tidur bersama orang lain." Sela Lara tiba-tiba dengan cuek.
Rue, Fedrick maupun Apel terdiam begitu mendengar ucapan Lara. Wajah Fedrick seketika memucat, dia tidak mengerti sikap gadis berambut hitam di sampingnya, bagaimana mungkin dia bisa meminta tuan rumah untuk tidur di luar?
"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu, Lara?!" wajah Rue berubah menjadi cemberut. Namun, sedetik kemudian dia tersenyum lebar. "Ya sudah! Kuputuskan, aku akan tidur dengan Lara malam ini. Akan kutunjukkan padamu serunya tidur bersama!"
Lara ingin menolak keputusan Rue. Namun, begitu melihat wajah gadis berambut emas itu, dia membatalkan niatnya. Dengan senyum lebar dan mata hijau berbinar-binar penuh kebahagiaan seperti itu, bagaimana mungkin dia mengecewakannya? Bertanya dalam hati, Lara tidak mengerti, kenapa dia sepertinya sangat lemah terhadap Rue?
"Kalian pasti lapar, kan? Aku akan mengambil makanan untuk kalian." Tawa Rue ceria. Tidak menunggu jawaban mereka, dia langsung berlari keluar meninggalkan Apel, Fedrick dan Lara.
Sepeninggalan Rue, suasana kembali menjadi hening dan canggung. Fedrick tidak tahu harus mengatakan apa untuk mencairkan suasana, sedangkan Lara dengan cueknya berjalan ke arah kursi dan duduk di atasnya.
"Apel, apaka—" Fedrick tertawa gugup berusaha memulai pembicaraan, namun Apel memotongnya. "Aku tidak tahu siapa kalian," ujarnya pelan. "Dan aku juga tidak tertarik untuk mengetahuinya. Aku ingin kalian meninggalkan tempat ini besok, secepatnya."
Tidak mempedulikan reaksi Fedrick dan Lara, Apel membalikan badan dan berjalan menuju pintu keluar. Namun, sebelum dia melangkah keluar, dia berhenti sejenak. "Ku ingatkan satu hal. Jika kalian melukai Rue seujung rambut saja, aku akan membunuh kalian."
Fedrick dan Lara hanya diam membisu mendengar peringatan Apel. Mereka tahu, pemuda itu serius dengan apa yang dikatakannya. Walau baru saja mengenalnya, mereka berdua tahu, Apel adalah orang yang sangat berbahaya. Jauh di dalam lubuk hati mereka berdua, terdapat setitik perasaan takut kepadanya.
......................
Dalam kegelapan malam dengan cahaya bulan sebagai satu-satunya penerang, Apel duduk menyandarkan tubuh pada sebatang pohon oak tidak jauh dari samping danau dalam hutan terlarang. Pohon yang sangat besar dan lebat; berdiri tegap dan kuat. Beberapa helai daun yang gugur jatuh mengenai badan sang pemuda yang ada di bawahnya. Mengakat tangan kiri menangkap salah satu daun yang gugur, Apel mengenggamnya erat. Lalu, indra penciumannya yang tajam menangkap bau harum yang sangat dikenalnya mendekat—Rue.
"Apel..." Panggil Rue. Berdiri di kejauhan, mata hijaunya menatap Apel.
"Ada apa, bodoh?" tanya Apel tanpa bergerak sedikitpun. Dia sudah menyadari kehadiran Rue sejak gadis itu berjalan keluar dari gua tempat mereka tinggal menuju danau.
"Ku bilang jangan panggil aku bodoh. Aku punya nama," protes Rue dengan wajah cemberut sambil berjalan mendekati Apel. "Namaku Rue. R-u-e."
"Iya, aku tahu. Ada apa kau kemari, bodoh?" tanya Apel lagi, intonasi suaranya yang datar tidak berubah, terlihat jelas dia tidak mempedulikan apa yang baru saja dikatakan Rue.
Rue tidak menjawab pertanyaan Apel. Mendekati pemuda berambut hitam itu, dia duduk tepat di sampingnya. Mengangkat kedua tangan menyusuri rambut pemuda tersebut, dengan pelan dia melepaskan kain yang menutup mata sang pemuda.
Kain yang menutup mata Apel terlepas. Dengan pelan, pemuda itu kemudian membuka matanya. Di bawah sinar bulan, mata hijau Rue bisa melihat jelas wajah tampan Apel. Kulit putih bersih, rahang yang kokoh, hidung yang mancung, alis yang tumbuh rapi, dan yang terpenting; sepasang mata sewarna merah darah.
"Mengapa kau selalu menutup matamu, Apel?" tanya Rue pelan.
"Karena ini adalah yang terbaik." Jawab Apel singkat.
Rue mengernyitkan dahinya. Dia memang tidak mengerti kenapa Apel selalu menutup matanya, sebab baginya sepasang mata itu jelas sangat indah. "Aku tidak mengerti maksudmu, Apel. Padahal aku suka sekali matamu."
Ucapan Rue membuat Apel menghela napas. Mungkin di dunia ini, hanya gadis ini yang akan berkata seperti itu mengenai matanya yang aneh. "Kau tidak perlu mengerti. Mengapa kau tidak tidur?"
Pertanyaan Apel segera menyadarkan Rue. Dengan cepat, dia memeluk pemuda berambut hitam itu. Badannya bergetar. "Aku bermimpi, Apel. Aku bermimpi kau meninggalkanku. Aku terus memanggil namamu dan mengejarmu. Namun, kau tidak menoleh padaku. Kau sama sekali tidak terkejar olehku."
Air mata mengalir dari mata hijau Rue saat dia teringat akan mimpinya. Dia sangat ketakutan. Selama ini, dia hidup bersama Apel, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya bisa hidup tanpa pemuda itu.
Apel mendorong Rue dengan pelan sehingga pelukannya terlepas. Menatap wajah cantik di depan, dia menghapus air mata yang terus jatuh membasahi pipi. Mata merah darah yang tidak berekspresi itu melembut. "Bodoh, aku tidak akan ke mana-mana."
"Janji?" Rue mengangkat jari kelingking kanannya.
Apel tersenyum. Senyum yang sangat jarang ditunjukannya. Dia mengaitkan jari kelingking kirinya pada jari Rue. "Janji."
Senyum lebar segera menghiasi wajah Rue, membuat wajah cantiknya semakin cantik. Tertawa lepas dengan suara tawa dentingan loncengnya, dia kembali memeluk pemuda berambut hitam itu. Dia sangat menyukai senyum Apel itu. Pandangan yang lembut serta senyum yang indah, Rue akan merasakan kehangatan dan kebahagiaan di dalam hati setiap kali melihatnya.
Apel membalas pelukan Rue dengan erat. Sedetik kemudian gadis berambut emas itu langsung merasa sangat aman, hangat, nyaman dan damai. Pelukan Apel selalu memberinya efek seperti ini. Rasa kantuk segera menyerang, matanya terasa sangat berat.
"Tidurlah, Rue," bisik Apel pelan dan lembut. "Aku ada di sampingmu. Aku tidak akan ke mana-mana.."
Rue tersenyum dan membiarkan kegelapan menguasai pandangannya. Dia tidak takut mimpi buruk akan menghampiri, sebab Apel ada disampingnya sekarang. Pemuda itu tidak akan ke mana-mana dan meninggalkannya sendiri; Apel sudah berjanji.
......................
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments