Realita

Restoran Chinese tempat Winda bekerja malam ini lebih ramai dari hari biasanya.

Maklum saja ini adalah hari Sabtu, hari di mana semua pekerja kantoran mencari hiburan setelah penat kerja selama lima hari.

Winda membawa beberapa menu makanan untuk diantar ke meja delapan.

Ditatanya semua makanan-makanan itu di atas meja yang berisi 6 orang keluarga yang sedang makan malam.

Baru saja menata makanan Ia sudah harus kembali lagi ke dapur untuk mengantarkan makanan customer yang Lain.

Restoran Koh A Liong sudah berdiri sejak 1990, itu yang membuat restoran ini menjadi terkenal dan memiliki banyak pelanggan.

Tapi walaupun begitu Koh A Liong tidak memiliki banyak karyawan.

Di dapur saja hanya ada tiga koki dan Tiga pramusaji.

" Kenapa ya Koh A Liong ga mau nambah orang? " Ucap Fitri di suatu malam ketika kami sedang mau tutup resto.

" Nggak tahu tuh Padahal restorannya Selalu ramai tapi nggak pernah mau nambah orang, gaji juga nggak ditambah pelit banget dah pokoknya"

Bukan hanya kami di pramusaji saja yang selalu capek setiap harinya, para koki di dapur juga mengeluhkan hal yang sama.

Tapi kami seperti tidak memiliki pilihan karena masih memerlukan pekerjaan ini.

Restoran buka dari jam tiga sore sampai jam sebelas malam, dan selama itu juga biasanya mereka tidak bisa beristirahat sama sekali.

Bayangkan istirahat mereka hanya untuk makan dan beribadah saja sebentar, selebihnya mereka tidak bisa duduk sama sekali karena kondisi restoran yang selalu ramai.

Mereka pernah minta karyawan baru kepada Koh A Liong, tapi tidak pernah ditanggapi katanya belum butuh.

Winda menelusuri gang yang terletak tidak jauh dari restoran tempat Ia bekerja.

Jalanan sangat becek dikarenakan hujan yang tidak berhenti semalaman.

Tidak terlihat orang lain di gang itu kecuali Winda yang baru pulang kerja di jam satu pagi.

Pintu kontrakannya macet lagi, Winda sibuk mengotak-atik lubang kunci sampai akhirnya Pintu itu terbuka.

Ia sudah bilang kepada Ibu kontrakannya untuk minta diperbaiki, tapi sampai saat ini belum juga diperbaiki.

Winda mengeluarkan ember ember yang di gunakan untuk menampung air hujan karena kamarnya yang bocor, namun walaupun di tampung tetap saja kamar Winda basah karena hujan yang cukup deras tadi malam.

Terpaksa Ia harus mengepel lantai kamarnya sebelum mandi.

Hidup sebagai kalangan menengah kebawah membuat Winda tidak ada waktu untuk mengeluh.

Ia menjadi terbiasa untuk berdamai dengan apapun. Tidak ada yang akan berubah jika Ia bersuara.

Untuk kalangan seperti Winda yang penting jangan sakit agar bisa mencari uang untuk makan.

Sekejam itu hidup sebagai kalangan menengah kebawah di kota metropolitan Jakarta.

Mereka tidak diberikan banyak pilihan untuk menjalankan hidup.

Termasuk tinggal di kontrakan kumuh yang bocor dan sekarang pintunya macet.

Winda sudah berhenti mengeluhkan hidupnya dari beberapa tahun yang lalu, semua kejadian buruk yang menimpa Winda waktu demi waktu membuat Winda terbiasa dengan semua itu.

Winda masih teringat kejadian Buruk pertama yang Ia terima sembilan belas tahun yang lalu.

Masa dimana Winda merasa hidup sangat jahat dengannya, dan Ia selalu bertanya tanya mengapa hal ini terjadi padanya.

Seolah kematian kedua orang tuanya tidak cukup untuk membuat hidup Winda hancur.

Di hari ke tujuh kepergian kedua orang tuanya, Om John kakak Papa memberitahukan jika Papa mempunyai hutang dengan nilai yang luar biasa.

Dalam kondisi terpuruknya Winda hanya bisa memandang kosong Om John yang sedang menjelaskan masalah hutang Papa.

" Lalu harus bagaimana Om ? " Tanya Winda lemas.

" Kamu harus menjual semua aset kedua orang tua kamu untuk menutupi semua hutang itu "

" Termasuk rumah? betul termasuk rumah "

" Lalu aku harus tinggal dimana Om? "

" Sementara kamu mungkin bisa tinggal dengan adik mamamu Tante Nia, karena maaf sekali Win Om juga tidak memiliki kamar lebih di rumah Om "

Di depan tunah Winda sudah langsung dipasang tulisan " Rumah ini di jual ".

Winda harus memberhentikan Pak Asep, Pak Mus security-nya dan Bu Ngatemi. Winda menjual beberapa jam tangan milik Papa untuk memberikan pesangon kepada karyawan di rumahnya itu.

Belum sampai sebulan, dua mobil keluarganya sudah laku terjual.

Dan enam bulan kemudian Winda harus merelakan rumahnya yang penuh kenangan berpindah tangan ke orang lain.

Winda keluar dari rumah dengan hanya membawa uang tidak sampai sepuluh juta, pakaian dan buku diary nya.

Tidak ada yang bisa menampung Ia saat itu, Tante Nia beralaskan akan pindah keluar kota beberapa bulan lagi, namun sampai Winda berusia tiga puluh lima tahun tantenya masih tinggal di Jakarta.

Hidup bertahun tahun sebagai anak tunggal yang di manja oleh kedua orang tuanya membuat Winda bingung apa yang harus Ia lakukan selanjutnya.

Alih alih mencari kontrakan murah, Winda malah tinggal di kontrakan sekitar kuningan yang harga sewanya masih tinggi.

David yang terus menemani masa terpuruk Winda mencoba memberikan saran untuk mencari tempat tinggal yang lebih murah, tapi Winda yang naive tidak memperdulikan itu.

Ia melanjutkan kuliahnya seperti biasa namun ketika harus membayar uang semester Ia tidak punya sisa uang lagi.

David bukannya tidak membantu, Ia yang membelikan makanan setiap hari untuk Winda.

Pulsa dan kebutuhan lainnya bahkan David masih membantu, padahal Ia juga masih belum bekerja tapi Ia tidak mau melihat pacarnya sengsara.

" Beb, apa kamu mau coba bekerja? seenggaknya untuk bayar kuliah, kalo untuk makan aku bisa bantu "

Winda yang sedang menggigit ayamnya menoleh ke arah David.

" Kamu udah capek bantuin aku beb? "

" Bukan..bukan, maksudku hanya untuk biaya kuliah saja Beb, biar kamu nggak pusing bayarnya "

Dua semester pertama Om dan Tantenya masih membantu, tapi di semester selanjutnya Mereka sudah tidak bisa membantu lagi dengan alasan sedang banyak kebutuhan.

Saat ini Winda sedang kepusingan untuk membayar biaya semester kuliahnya.

Sebenarnya apa yang di katakan David benar, Ia harus mencari pekerjaan.

Dengan di bantu David Ia bekerja menjadi penjaga counter handphone dengan gaji 1,5 juta.

" Mana cukup untuk biaya hidup aku Beb uang segitu "

" Di coba dulu sayang, nanti kalo kurang kurang aku bisa bantu "

Dengan terpaksa, Winda mencoba pekerjaan itu.

Tapi hanya satu bulan saja Ia bekerja di counter handphone karena Ia tidak kuat di counter itu tidak ada AC sehingga kulit Winda tumbuh biang keringet.

" Kamu tega beb ngeliat kulit aku jadi begini " Winda menangis ketika David tidak setuju untuk Winda berhenti dari pekerjaannya.

David yang tidak tega melihat kondisi kekasihnya itu akhirnya mengalah dan memperbolehkan Winda berhenti dari tempat kerjanya.

Jika mengingat itu sekarang rasanya Winda ingin menjewer anak perempuan manja yang tidak tahu diri itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!