"Aisyah, apa kamu bisa melihatku dari atas sana?"
"Kepergianmu sungguh membuat hatiku terasa hampa, Sayang. Namun, semua demi Hassan … aku harus kuat dalam menjalani hidup ini. Aku tau, kamu pasti tidak mau melihatku bersedih hingga melahirkan seorang anak yang begitu Sholeh dan mengerti ayahnya."
Senyum penuh wibawa itu kini tersemat di bibir berwarna kemerahan. Aiman bukanlah seorang perokok sehingga membuat bibirnya terlihat lebih menarik dibandingkan dengan mereka penyuka nikotin. Bukan bermaksud membandingkan, melainkan itu memang kenyataan.
Lisannya selalu digunakan untuk berdzikir, bertutur kata baik, mengajarkan ilmu agama kepada murid-muridnya, serta Hassan anaknya.
Lima tahun berlalu sejak kepergian Aisyah, pria itu tetap memutuskan hidup sendiri bersama dengan anaknya. Dibantu ibu dan mertua, ya, walaupun mereka tidak pernah melarang Aiman untuk berumah tangga lagi. Namun, rasa cinta yang dimiliki olehnya terhadap Aisyah masihlah tetap.
"Ais, anakmu bahkan sekarang sudah pandai mengaji. Pandai bertutur kata lembut seperti dirimu. Dia besar dengan rupa yang begitu tampan, serta memiliki alis dan hidung seperti dirimu."
"Ais," panggil Aiman sekali lagi pada langit cerah di rooftop. Seolah-olah, wanita yang diajak berbicara ada di atas sana. Memperhatikan dengan ekspresi wajah lembutnya.
Tanpa terasa, air mata yang selama ini dia simpan kembali menetes. Sudah lama sekali Aiman tidak menitikkan air matanya. Dirinya terlalu sibuk mengurus anak hingga kadang lupa memiliki waktu untuk sendiri.
Dari bangun tidur, tujuan utamanya adalah kamar mandi untuk membersihkan tubuh, lalu lanjut sholat subuh, kemudian memasak. Setelah beres, dia lanjut membangunkan Hassan dan menyuruh anak kecil itu untuk mandi. Selama menunggu anaknya selesai, pria itu dengan cekatan memasukkan keperluan anaknya selama dititipkan di rumah orang tuanya.
Usia Hassan semakin hari semakin bertambah hingga kini dia sudah berusia 5 tahun. Anak itu sudah sekolah TK A bersama dengan anak tetangga dari ibunya. Walaupun tidak memiliki figur ibu, tetapi Aiman selalu dan selalu menceritakan menghidupkan Aisyah di dalam hati anaknya.
Ibu adalah sosok yang baik dan sholehah. Itu adalah kata-kata yang sering diucapkan Aiman kepada Hassan.
Aiman menanamkan sejak kecil jika ibunya adalah figur yang sangat baik. Namun, pernah satu kali ketika Hassan baru pertama kali masuk TK. Ada anak seusianya bertanya di mana ibunya dan dengan polos anak pria tersebut mengatakan, jika ibunya sudah ada bersama dengan Allah SWT.
Mungkin sejak itu, kabar tentang Hassan anak piatu pun mulai menyebar. Dia dirundung tanpa mau membalas. Dia tidak marah, apalagi balas mengejek anak-anak yang lain. Hassan hanya diam dan tidak pernah mengeluh, atau melaporkan kejadian tersebut.
Hingga suatu ketika, waktu pengambilan raport semester pertama. Aiman melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika Hassan tengah diolok-olok oleh 3 anak seusia anaknya. Dia marah, tetapi saat melihat sinar teduh dan gelengan kepala darinya membuat pria tersebut hanya bisa mengepalkan tangan.
“Anakmu begitu kuat. Tapi, aku takut. Jika apa yang diperlihatkannya justru hanya kebohongan. Sebuah topeng agar diriku tidak cemas. Sayang, tolong awasi Hassan dari atas sana! Karena anakmu begitu pandai menutupi rahasia.”
Aiman masih berbicara seorang diri. Dia tidak takut akan dikira gila oleh orang lain karena memang tempat ini adalah tempat teraman yang selama ini dia gunakan untuk menyendiri. “Aku sangat merindukanmu, Sayang,” lirihnya sendu.
“Kenapa kamu sudah beberapa bulan ini tak pernah menyambangiku di dalam mimpi. Apa kamu tidak merindukanku, Dek? Masmu benar-benar butuh pelukanmu, Sayang. Rasanya, aku ingin menjerit, menangis, tetapi tidak bisa. Lalu, aku harus bagaimana?” Air muka Aiman sudah terlihat pasrah sekali.
Seorang ayah yang selalu memperlihatkan wibawa dan juga sangat disegani oleh orang lain. Kini, seperti bukan Aiman yang seperti biasa. Rapuh, dan begitu patut dikasihani.
“Aku butuh dirimu, Sayang. Aku butuh sosok seperti dirimu untuk menangani sifat keras kepala Hassan yang sama persis denganku. Dia selalu berlagak sok bisa, sok paling hero dalam menghadapi suatu masalah. Tapi, nyatanya …," jedanya tak bisa melanjutkan ucapannya.
Pria itu kini hanya bisa memeluk tubuhnya dan menangis di antara kedua kakinya. Aiman sungguh butuh sandaran dan yang selama ini tak pernah ia dapatkan. Mungkin, sudah lupa juga bagaimana rasanya.
"Aku rindu kepadamu, Sayang," ucapnya di antara sela tangisannya.
Seolah sosok yang selama ini jauh darinya datang bersama dengan angin sepoi yang membelai rambut si pria. Menyampaikan, jika tak boleh bersedih karena langit juga akan menangis saat melihat salah satu umatNya Allah bersedih.
Langit yang tadinya cerah, kini berubah mendung. Awan hitam mulai menyelimuti bumi. Meneteskan air sedikit demi sedikit hingga menjadi deras.
Aiman seolah masih larut dalam kesedihan hingga tak peduli dengan hujan yang tengah mengguyur bumi Pertiwi. Sampai suara seorang datang dengan wajah cemas dan payung hitam yang memayungi tubuh yang masih betah duduk di tepi tembok.
"Bangunlah, Mas! Kak Aisyah tidak akan suka melihatmu seperti ini. Hassan juga butuh dirimu yang tegas dan tegap dalam menghadapi hidup. Jadi, bangkitlah demi dia!"
"Fathimah," panggilnya lirih saat melihat siapa yang datang, lalu setelah itu tubuhnya pun lunglai di atas lantai yang basah terkena hujan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
masih nyimak
2023-06-11
0
Rinie Rahayu
Tak bisa ku banyangkan jika akulah yang ada di posisi Aiman😭😭
2023-06-08
0
Isma Ismawati
Hadir kak, 2 tangkai mawar meluncur
2023-05-30
2