Sosok seorang gadis berseragam putih abu-abu kini tengah berlarian di lorong kelas 3. Dia adalah Khumaira 18 tahun kelas 3b jurusan IPA. Deru napasnya terlihat memburu karena sedang mengejar seseorang yang tengah menggendong anak kecil di dalam dekapannya.
"Tunggu, Pak! Pak Iman ada yang mau saya tanyakan!" teriak Khumaira saat pria yang dikejar hampir pergi menaiki mobilnya.
Aiman yang berniat membuka pintu mobil segera menoleh ke arah seorang murid. "Ada apa, Mau?" tanya pria itu dengan lembut.
"Siapa, Bu?" Hassan justru bertanya kepada ayahnya.
Aiman tersenyum, lalu mengusap rambut anaknya dengan penuh cinta. "Murid abi, Nak."
Hassan pun mengangguk, lalu kembali menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Aiman. Dia sebenarnya sudah mengantuk, maka dari itu tak rewel saat sang ayah mengajaknya pulang.
"Pak Iman …."
"Pelan-pelan saja! Gak usah terlalu terburu-buru," pinta sang guru kepada muridnya.
Gadis berkerudung putih itu dengan cepat menuruti kemauan si guru. Ada setitik peluh yang membasahi dahi gadis berwajah oriental tersebut.
"Saya mau menanyakan tentang tugas Fiqihnya, Pak," jawabnya setelah bisa menguasai dirinya.
"Apa yang mau kamu tanyakan?"
"Jadi, gini, Pak," lanjutnya dengan menjelaskan apa saja yang masih membuatnya bingung kepada Aiman.
Tugas yang harus dikumpulkan Minggu depan itu memang cukup sulit hingga membuat murid teladan tersebut tidak mau hanya berpangku tangan di kelas, sedangkan dia butuh referensi ini itu.
Aiman juga menjelaskan apa-apa saja yang perlu dicari dan di mana mereka mendapatkan buku tersebut. Dia senang jika ada muridnya yang kritis seperti Khumaira. Berarti mereka memang butuh ilmu, bukan hanya sekadar berangkat sekolah, lalu pulang lagi tanpa ada ilmu yang didapatnya.
"Kalau begitu terima kasih, Pak. Dan maaf juga karena sudah membuat Anda dan anaknya menunggu lama!" Khumaira membujuk sopan kala menyadari, jika dirinya telah meminta banyak waktu si guru.
"Tak apa, Mai. Kalau begitu permisi. Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam, Pak. Hati-hati dijalan."
Setelah itu, Aiman pun tancap gas menuju gerbang sekolahnya. Namun, ketika di belokan dia melihat sosok Fathimah yang sedang berdiri di halte. Pria itu teringat akan bantuan teman dari istrinya tersebut kemarin. Dia juga belum sempat berterima kasih.
Akhirnya, mobil itu pun menepi di depan halte. Dia tidak ingin menghalangi jika ada angkutan umum yang berniat mencari penumpang. Maka dari itu dia parkirnya rada maju sedikit.
Fathimah sendiri sedang membaca sebuah buku di tangannya, seolah tak peduli dengan bisingnya murid lain yang tengah bercengkrama di samping kanan dan kirinya. Hingga saat salah satu murid perempuan mencoleknya, barulah wanita berkerudung putih tersebut mendongak.
"Iya, ada apa, Nun?" tanyanya kepada murid tersebut.
"Dicari Pak Iman, Bu," balasnya, lalu menunjuk ke arah pria yang tengah berdiri di samping minibus miliknya sendiri.
Fathimah pun tersenyum, lalu setelah itu berjalan meninggalkan bangku yang sedari tadi dipakai untuknya beristirahat. Mengabaikan siulan dari para murid yang melihat seorang Duda dan wanita single saling bertemu.
Setelah memberikan salah kepada Aiman. Fathimah pun bertanya maksud dan tujuan dari pria tersebut menemuinya.
"Saya ingin berterima kasih kepada Anda, Bu Fathimah."
"Untuk apa ya, Pak?" tanyanya bingung.
"Karena kemarin sudah menolong saya, Bu," jawab Aiman formal.
"Ah, masalah itu." Fathimah pun mengangguk mengerti. "Bukankah kita sebagai umat Allah yang baik memang harus saling menolong, Pak? Jadi, anggap saja waktu itu Allah memang sedang menugaskan saya di saat yang tepat."
Jawaban dari Fathimah mampu membuat Aiman sedikit tersenyum. Mereka memang kenal, tapi tak dekat. Selama ini pun tak pernah mereka terlibat obrolan panjangan dan hanya say hello saja. Itu pun ada Aisyah.
Maka dari itu, Aiman merasa canggung. Berbeda dengan Fathimah yang terlihat biasa saja. Bingung harus mencari topik apa, akhirnya pria itu pun menggaruk belakang kepalanya.
"Sebagai ucapan terima kasih saya kepada Anda. Bolehkan saya mengantar Anda pulang? Tapi, maaf sebelumnya. Ini bukan bermaksud untuk tidak-tidak, hanya saja saya tidak ingin ada utang Budi di antara kita." Aiman langsung menjelaskan maksud dari ucapannya agar tidak timbul fitnah.
Fathimah lagi-lagi tersenyum. Senyum yang tidak pernah lelah diumbar kepada siapa pun. "Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas niat baik Pak Iman. Tapi, saya juga tidak menganggap pertolongan itu sebagai utang Budi. Biarkan Allah saja yang membalas, Pak. Dan maaf, tapi saya biasa naik kendaraan umum. Jadi, sekali lagi maafkan saya!"
"Baiklah, jika memang seperti itu. Kalau begitu saya permisi. Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam, Pak."
Fathimah memandang punggung Aiman dengan diam. Tak ada niatan untuk memanggil, atau menarik ucapannya karena menurut dia, itu sudahlah benar. "Suamimu memang baik, Mbak."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Machacy
Mungkin maksudnya Hamba Allah ya, manusiakan umat Nabi.
2023-07-29
0