“Abi … ayo bangun Abi! Abi gak boleh tidur mulu. Nanti Hassan main sama siapa?” Suara tangisan dari seorang anak kecil di dalam ruangan kelas 1 di sebuah rumah sakit menggema. Sudah sedari tadi, semenjak dia datang 30 menit yang lalu anak tersebut menangis terus.
Kedua neneknya pun sudah berusaha untuk menenangkan, tetapi anak tersebut belum juga mau diam. “Sayang, jangan seperti ini. Nanti abi justru bersedih saat melihat kamu menangis,” bujuk si Situ–ibu dari Aiman.
“Iya, Nak. Nanti abi malah merajuk melihat anak kesayangannya bersedih. Jadi, Nak Hassan harus kuat yah dna kita doakan agar abi cepat sadar. Ok!” Rania–Ibu dari Aisyah mengusap rambut dari cucu keduanya.
“Tapi, Nek. Hassan gak mau liat abi di sini. Hassan ingin abi pulang ke rumah. Nemenin aku main dan belajar. Hassan juga janji akan berlaku lebih baik lagi. Hassan gak mau jadi yatim piatu, Nek,” ujar anak kecil itu dengan begitu pedihnya.
Rania dan Siti lalu memandang satu sama lain. Mereka seolah tahu jika sang cucu tengah ketakutan akan kehilangan sosok ayah, sekaligus ibu bagi dirinya. Tak tega melihat Hassan semakin sedih, akhirnya Siti memutuskan untuk menggendong anak tersebut ke luar ruangan.
Rania sendiri memilih mengekor. Dia tahu jika Siti bisa menangani Hassan, tetapi dia ingin melihat bagaimana cucunya tenang. Namun, saat pintu ruang rawat inap sang menantu dibuka, mereka dikejutkan dengan kehadiran dari sosok cantik berjilbab putih tengah berdiri di depan ruangan.
“Fathimah? Kaukah itu?” tanya Rania kaget.
Wanita yang bernama lengkap Fathimah Azzahra itu segera mengambil kedua tangan orang tua Aiman dan juga Aisyah. “Iya, Tante. Ini saya Fathimah. Tante gimana kabarnya?”
Raina tersenyum hangat kepada teman satu sekolah dan satu fakultas Aisyah itu dengan lembut. Sudah hampir 10 tahun mereka tak berjumpa karena sibuk dengan urusan sendiri-sendiri.
Bukan karena sombong, atau apa, melainkan karena kesibukan Fathimah yang mengajar di pulau seberang membuat mereka wajar, jika baru pertama kali bertemu. Lagipula, selama ini yang berhubungan baik dengannya adalah Aisyah dan wajar saja ketika sahabat karibnya meninggal, wanita itu juga merasa kehilangan.
“Oh, iya, kenalkan ini besan saya dan ini cucu saya juga.”Rania memperkenalkan Siti dan juga Hassan kepada sahabat baik anaknya.
“Assalamualaikum, Tante. Assalamualaikum juga dedek kecil,” sapa Fathimah ramah. Dia bahkan menangkupkan tangannya di depan Siti yang masih menenangkan anak kecil dalam gendongannya.
“Waalaikumsalam, Nak. Tante tinggal dulu, ya. Soalnya cucu saya sedang rewel,” ucap Siti pamit undur diri.
Fathimah yang memang datang untuk menjenguk suami dari sahabatnya segera membungkuk sopan kepada Siti. Dia tersenyum sopan kala Rania menatapnya sendu. “Bagaimana kabar, Tante?”
“Ya, seperti yang kamu lihat, Fat. Tante sekarang lebih sering bersama cucu dan jarang bepergian seperti dulu,” ceritanya menerawang jauh. Mungkin wanita paruh baya itu teringat akan mendiang anaknya yang kedua–Aisyah.
Fathimah yang melihat ibu dari sahabatnya bersedih segera mendekatinya. Dia usah bahu wanita paruh baya itu dengan penuh perhatian. “Maaf, ya, Tante. Gara-gara saya, tante jadi teringat Mbak Ais,” sesal wanita single tersebut.
Rania langsung menggeleng. Dia menepuk punggung tangan Fathimah agar wanita di depannya tidak merasa bersalah. “Fa, kamu itu tidak salah. Ini hanya tantenya saja yang sedang rindu pada dia. Jadi, kamu gak perlu merasa bersalah seperti itu.”
“Tapi, Tante–”
“Ssttt!” Rania menggeleng dna menaruh telunjuknya di depan bibir. “Kamu gak salah. Udah, gak usah dipikirin. Oh iya, ada apa kamu ke sini? Apa kamu mau menjenguk Aiman?” tanyanya ingin tahu.
Fathimah mengangguk sopan. “Iya, Te. Saya dan Mas Iman ini memang sudah saling mengenal sejak Almarhum menikah dengan dia. Tapi, kami gak terlalu dekat, sih. Hanya saja, beberapa bulan ini kami bekerja di satu tempat yang sama,” jelasnya.
Rania mengangguk. “Iya, tante percaya. Yuk, tante temani!” ajaknya, lalu membukakan pintu kamar rawat menantunya untuk mempersilahkan tamunya masuk.
Fathimah sendiri senang jika ditemani karena dia juga gak mau membuat orang salah paham atas kehadiran dirinya di ruang rawat seorang lelaki, apalagi hubungan mereka ini hanya teman. Nanti yang ada malah timbul fitnah dan dia tidak mau itu terjadi.
*
Setelah sehari dirawat di rumah sakit, Aiman pun pulang ke rumah. Hassan sendiri tidak mau jauh dari ayahnya. Dia terus memeluk hingga tak mau dipisahkan. Membuat kedua neneknya kewalahan.
Kini, adalah waktunya Aiman untuk berangkat mengajar di sekolah yang selama ini telah menjadi tempat pria itu menyebarkan ilmu yang telah dipelajari. Namun, Hassan seolah tidak mau jauh, anak kecil itu terus saja menggelayuti tubuhnya.
“Nak, abi mau berangkat mengajar. Apa kamu gak mengizinkan abi untuk pergi?” tanyanya lembut, sambil mengusap rambut anaknya yang seperti koala dalam gendongan.
Hassan menggeleng dalam gendongan. “Abi di rumah saja. Kalau gak, biar Hassan ikut abi mengajar. Hassan benar-benar ingin bersama abi terus!” Kedua bola mata anak kecil itu terlihat begitu memohon.
Aiman melihat ke arah ibunya, sedangkan wanita paruh baya itu tersenyum kikuk. Dia pun akhirnya kembali melihat Hassa. “Tapi, nanti abi gak bisa nemenin Hassan di sana. Abi harus ngajar kakak-kakak tentang agama dna pastinya jadi tidak bisa fokus ke Hassan.”
“Tidak apa-apa. Abi. Hassan janji tidak akan nakal dan pasti akan jadi anak yang baik buat abi!” Hassan terlihat semangat, terlihat sekali dari wajahnya yang berubah sumringah.
“Apa tidak apa, Bi?” tanya Siti mengikuti memanggil anaknya dengan panggilan yang sudah sejak 5 tahun ini diberikan kepada Aiman. Dia hanya tidak mau membuat Hassan mengikuti panggilannya ketika memanggil nama asli dari pria tersebut.
“Tidak apa, Nek. Nanti abi akan minta temen buat jaga Hassan di sana,” ucap Aiman menenangkan.
“Yaudah, terserah kamu saja, Bi. Nanti, kalau memang ada apa-apa bisa telpon nenek.”
Aiman mengangguk. “Insya Allah, Nek.”
“Bi, apa nenek boleh bertanya sesuatu?” Siti segera menahan langkah Aiman yang hendak pergi meninggalkan ruang makan bersama anaknya–Hassan.
“Apa itu, Nek?” tanya Aiman masih berdiri.
“Apa kamu tidak ingin menikah lagi?”
Aiman langsung melengos. “Maaf, Nek. Abi harus pergi ke sekolah dulu. Assalamualaikum!”
Siti menghela napas berat. “Kapan kamu akan menghindar terus, Man? Hassan butuh sosok ibu,” lirihnya, sambil menatap punggung anaknya dengan sendu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
White Rose
duh, sayang banget sama sama aisyahh.. disuurh nikah lagi malah melengos. kakak kandungku jg meninggal dua bulan lalu, suaminya sangat menyayanginya. kasihan melihat dia mengurus tiga anak laki laki seorang diri..
2024-04-27
0
Ana Johana
aiman, jangan tutup terus pintu hatimu itu. bukalah untuk Fatimah
2023-04-14
2