04| Dayang pribadi Sang Tiran

...SELAMAT MEMBACA...

Berbeda dengan dayang lain yang memakai seragam hitam putih, Gaia tetap mengenakan gaun seorang wanita bangsawan hanya saja penampilannya terlihat lebih sederhana dan tidak banyak perhiasan melekat di rambut serta tubuhnya.

"Kamu terlihat lebih baik dari sebelumnya," komentar Rahid.

Pria berkulit tan tersebut masih mengenakan piyama tidur dengan simpul yang kendur sehingga mempertontonkan dada bidang serta otot perut yang menonjol dan tak berhenti sampai situ, bahkan asap cerutu dari pipa tulang yang ada dalam tangan kekar dan besarnya menguar liar dalam kamar.

"Basen bilang, dayang yang baik adalah dayang yang mampu menjalankan tugas dengan baik dan mengarahkan tuannya untuk tidak mengalami hal buruk dan sulit." Gaia mendekati jendela kamar yang masih tertutup gorden, saat ini kamar Rahid benar-benar gelap padahal matahari sudah tinggi.

Rahid menompang dagu sembari menatap Gaia yang tanpa aba-aba menarik kasar gorden hingga dalam sekejap mata hitam pekat Rahid terpejam karena sinar matahari menyorot keji. 

"Apakah Basen tidak memberitahu bahwa seorang dayang harus lembut pada tuannya?" Rahid mencibir sembari membenarkan simpul piyama.

Gaia membuka jendela sayap satu persatu dalam kamar tersebut dan asap cerutu yang menyesakkan dada berkurang perlahan. 

"Dimana makananku?" Rahid telah duduk di sofa tak jauh dari tempat tidur. 

Gaia sedikit menggosok pangkal hidung karena asap cerutu mengusiknya walau Rahid sudah berhenti bercerutu. 

"Anda harus mandi dulu sebelum sarapan." 

"Apa?" Rahid menautkan alis.

"Setelah rapi dan harum, saya akan mengantar anda ke ruang makan. Jika anda makan dengan penampilan seperti itu, entah berapa banyak mulut yang akan bergunjing tentang penampilan Anda sebagai penguasa Retkan." 

Bibir Rahid menipis disusul sorot mata dingin dan hal itu sedikit membuat bulu kuduk Gaia berdiri namun, tindakannya ini adalah hal yang benar.

"Hanya orang bodoh berani bergunjing tentangku setelah tahu aku membunuh semua orang yang menyinggungku." Rahid mengangkat sudut bibir dengan angkuh.

Napas Gaia seolah tercekat. Baru saja kilatan membunuh terpancar dari Rahid tapi dalam sekejap pria itu tersenyum cerah dan berdiri di hadapannya. Jarak keduanya hanya sejengkal dan Gaia berpikir lehernya akan keram jika lebih lama menatap wajah Rahid karena pria yang enam tahun lebih tua darinya itu cukup tinggi.

"Kenapa diam saja? Katanya aku harus mandi sebelum makan." 

Gaia tersadar dan buru-buru menunduk. "Aku akan memanggil dayang yang biasa menyiapkan pemandian an—" 

Hendak keluar memberitahu para dayang lain, pergelangan tangan Gaia dicekal oleh Rahid. 

"Ada apa, Yang Mulia?" tanya Gaia.

"Dayangku hanya kamu jadi sekarang ini tugasmu." 

"Hah?"  

Seolah tahu apa isi pikiran Gaia dari raut keterkejutan yang ditunjukkan, Rahid langsung menanggalkan piyam tidurnya, hanya menyisakan celana hitam mengilap. 

Pupil mata Gaia sedikit bergetar melihat penampakan tubuh atas Rahid seutuhnya. Mungkin karena tadi gelap, Gaia tidak melihat dengan jelas. Tubuh pria bengis di hadapannya sangat menyedihkan. Separuh tubuh benar-benar hitam juga terlihat sangat kaku selain itu Gaia bisa lihat ada sedikit kerutan di antara alis Rahid sejak tadi, mungkin pria itu menahan rasa sakit. 

"Aku tidak pernah menyuruh dayang lain membantuku mandi atau berpakaian. Basen-lah yang mengurus semuanya. Sekarang kamu paham, kan?" 

Gaia memalingkan wajah sambil menggigit bibir bawah. Rasanya dia menjadi orang jahat setelah berpikir bahwa Rahid sengaja memintanya untuk membantu mandi karena hendak mempermainkannya.

"Hentikan itu dan cepat siapkan kebutuhanku untuk mandi." Rahid meletakkan ibu jari pada bibir Gaia yang bisa berdarah karena tergigit cukup keras setelah itu Rahid kembali ke sofa, mengabaikan Gaia yang masih tercenung menerima perlakuannya. 

Sejak percakapan itu, Gaia lebih banyak diam apalagi ketika mengeramas rambut dan membasuh tubuh Rahid, lantas beralih membantu pria tersebut mengenakan pakaian mewah khas seorang penguasa. 

Rahid terbiasa memakai sarung tangan gelap di tangan kirinya yang sudah menghitam namun, sebelum memakaikan sarung tangan, Gaia meraih tangan kiri Rahid lalu menangkupnya dengan hangat.

"Apa yang mau kamu lakukan?" Rahid sedikit bingung.

"Penyembuhan berkala." 

Rahid tidak menjawab lagi dan membiarkan Gaia membawa tangan kirinya untuk lebih dekat dan menyatu dengan dahi. Rahid bisa merasakan sedikit kehangatan dari ujung jemarinya yang bersentuhan dengan dahi Gaia. Perlahan cahaya keemasan muncul dan merasuki tangannya.

Sensasi hangat dengan sengatan kecil yang menggelitik terasa jelas lalu samar-samar Rahid merasakan kenyamanan di sebagian tubuhnya yang terkutuk.

"Sudah." 

Gaia melepas tangan Rahid lalu mengembuskan napas perlahan. Itu benar-benar gila, pikir Gaia. Entah seberapa besar kutukan yang tertanam di tubuh Rahid karena kekuatan suci yang baru saja dia berikan tidak memberi efek penyembuh yang besar padahal sebagian dari kekuatan suci sudah ia kerahkan.

"Kalau begitu mari sarapan, Yang Mulia." Gaia lantas menarik diri untuk berada di balik punggung Rahid, membiarkan tiran tersebut berjalan lebih dulu.

Rahid melirik Gaia di belakang, wanita berambut blonde tersebut baik-baik saja walau mengerahkan kekuatan suci cukup besar. Jika terus begini, Rahid semakin yakin bahwa kutukan itu akan raib selama Gaia menyalurkan kekuatan suci dengan begitu ia berencana untuk mencari tahu siapa dalang lain dari kutukan yang menyiksa ibu dan dirinya.

"Kerja bagus." 

Rahid lantas segera keluar dan mengisi salah satu kursi di ruang makan dan Gaia berdiri di sisi kanan Rahid ditemani Basen yang tak jauh di belakangnya. Sejak berpapasan menuju ruang makan, Basen terus tersenyum padanya hingga mata tua itu berbentuk bulan sabit. Di sisi lain, Gaia juga mendapat Eslan melongo seperti orang bodoh karena melihat Rahid turun untuk sarapan dengan penampilan rapi dan harum.

"Kamu sudah lihat, kan?" 

"Ya. Yang Mulia terlihat seperti penguasa yang sesungguhnya. Kamu tahu? Yang Mulia sarapan dengan penampilan yang keren, bukan piyama tidur!" 

Para dame di kamp kesatria riuh sementara para kesatria pria justru membicarakan dayang baru yang terasa familier bagi mereka.

Argio, kepala komando pasukan kesatria khusus milik Rahid tersebut mengerutkan dahi sesaat mendapati dayang pribadi yang telah mengubah salah satu kebiasaan buruk sang tiran tengah berjalan seorang diri di lorong yang terlihat jelas dari kamp pelatihan.

"Bukankah Yang Mulia sudah lengah?" Argio melirik wakil komando pasukan kesatria, yakni Dame Rasila.

"Kenapa kamu berkata begitu?" 

"Wanita itu ... kalau tidak salah bukankah dia yang berani berbicara tentang kutukan yang diderita Yang Mulia?" 

"Ck, ck, sekali lihat saja aku tahu." 

"Apa wanita itu bisa dipercaya?" 

Rasila mendengus sambil memegang kepala pedang yang tersampir di pinggang. "Jangan mencemaskan hal yang tidak perlu. Jika dia menghalangi jalan Yang Mulia, kita hanya perlu menghabisnya. Bagaimana pun, bangsawan seperti dia tidak tahu seberapa sulitnya Yang Mulia berada di posisi ini dengan menanggung semua kesalahpahaman banyak orang karena harus menjadi Tiran dengan sebuah pembantaian." 

Argio mendengus. "Bukankah kamu terlalu banyak bicara, Rasila?" 

"Maaf, Ketua." 

Argio mengembuskan napas lalu memberi perintah pada Rasila. "Mulai sekarang, awasi pergerakan dayang itu. Bisa saja dia merancang sebuah rencana buruk untuk Yang Mulia." 

Rasila angguk kepala. "Siap, Ketua." 

...***...

Di Kediaman Keluarga Agneto, pria paruh baya membanting cangkir porselen hingga pecahannya tercerai-berai di ubin. 

Surat kabar beberapa hari lalu membuat kepalanya panas ditambah muncul rumor yang melebih-lebihkan hubungan asamara tersembunyi antara anak Marquess Isra dan Rahid.

"Untuk menguasai Retkan kembali, Irian harus masuk ke istana sebagai putri mahkota!" 

Orang lain yang ada disana hanya tertawa kecil. Pemuda berambut cokelat dengan mata cokelat cerah nan jernih. "Wanita itu sudah menjadi dayang jadi tidak mungkin hubungan asmara benar adanya. Jika benar setidaknya Rahid akan menempatkan wanita itu di posisi yang lebih baik. Jangan terlalu cemas, Duke. Cukup buat Irian bergerak lebih agresif untuk menyita perhatiannya." 

"Kamu tidak tahu apapun tentang wanita itu, Haetric? Gaia Kahina Seil itu pernah menjadi calon tunangan mendiang pangeran kedua. Pangeran kedua dilantik sebagai putra mahkota di usia 16 tahun dan Gaia terpilih sebagai putri mahkota karena memiliki kekuatan suci." 

Wajah Haetric sedikit terkejut mendengar penjelasan Duke Agneto dan itu membuatnya tahu kenapa pengkhianat tua di depannya sangat gelisah. "Kekuatan suci itu pasti hanya untuk menyembuhkan luka kecil bukan kutukan." 

"Orang-orang di kuil Sanctia pun mengatakan bahwa Gaia hanya mampu menyembuhkan luka kecil. Tapi mengingat eksekusi dibatalkan secara mendadak, bukankah itu aneh?" Duke Agneto tidak mau kalah.

"Jadi apa maumu?" Haetric tidak senang melihat semyum culas Duke Agneto terulas.

"Kita hanya perlu mencari tahu dengan sihir hitammu. Lagi pula, terus menyembunyikan diri di saat Rahid sudah mendekati kematian adalah hal yang sia-sia." 

"Kamu mau aku membuat kekacauan di istana?" 

Duke Agneto angguk kepala. "Ya. Lalu aku akan menyaksikan itu secara langsung." 

...BERSAMBUNG ......

Terpopuler

Comments

Ifarim

Ifarim

wah diomongin, emang biasanya kayak gembel kah?😭🤣

2023-05-11

1

Ifarim

Ifarim

heyy tapi Gaia bakalan sakit kalo terus terusan 'kan?

2023-05-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!