Kamu bohong

Siang yang sangat menyenangkan bagi Miranda juga team promosi Multy Strada karena kehadiran sosok Adrian yang muncul dihadapannya secara tiba-tiba. Kenangan indah masa lalu itu kembali menari-nari dalam benak dua insan janda dan duda tersebut.

Tampak Miranda tengah menyuapkan makanan ke mulut Adrian dengan penuh canda tawa, membuat Sofyan selaku manager management band ternama di metropolitan, sedikit berbisik pada salah satu rekan setimnya, "Emang gadis itu siapa, sih? Kok, deket banget sama Adrian. Jangan bilang mereka sudah saling kenal dan undangan dari perusahaan mereka merupakan sepak terjang gitaris kita yang mengenal orang dalam."

Tawa Beny yang duduk bersebelahan dengan Sofyan seketika pecah, "Eh bro, Miranda itu anak pemilik perusahaan Multy Strada, dia itu anak kesayangan Pak Anderson dan Ibu Suri Tina Talisa. Jadi jangan pernah ngegosipin tentang dia, karena tidak akan ada apa-apanya sama kita."

Ketiga pria yang merupakan anak band indie tersebut saling menatap satu sama lainnya karena posisi mereka berdekatan. "Berengsek juga Adrian, bisa deket sama anak pewaris tahta," tawa salah satu dari mereka.

Sofyan menyela ucapan drummer terbaiknya itu, "Mentang-mentang statusnya duda, jadi bisa tebar pesona sama siapa saja. Lihat saja tuh, gadis itu seperti di awang-awang karena godaan gitaris kita." Ia menyeringai kecil karena perasaan iri.

Mendengar pembicaraan para musisi itu, membuat Beny semakin gerah. Ia menoleh kearah Sofyan seraya berkata, "Jangan begitu, Miranda memang gampang akrab sama sahabat sekolahnya. Setahu gue sih, begitu. Jadi jangan iri deh, kalau kalian mau, cari juga anak Pak Anderson yang lain. Kali aja ada benihnya yang tercecer seperti Miranda di kota ini!"

Mendengar sindiran Beny yang lugas, membuat ketiga pria itu tertawa terbahak-bahak, "Gue rasa emang tidak ada benih Pak Anderson yang lain. Secara kita sama-sama tahu dari media Singapura bahwa Ibu Suri Tina Talisa tidak tergantikan. Sangat beruntung pria yang berhasil menikah dengannya. Wajah cantik, badan semok, montok, agh ..." titahnya mulai membayangkan hal yang tidak-tidak.

Adrian yang sejak awal tiba di restoran itu merasa dijadikan bahan gosip terhangat mereka, menghampiri mereka ketika Miranda meminta izin ketika ke toilet.

"Pasti kalian semua ngegosipin gue, kan? Sorry bro, tadi gue sengaja bareng Miranda karena permintaan tuan putri. Jadi bukan gue nggak mau satu mobil dengan kalian," Adrian tertawa sambil menyesap kopi milik drummer bernama Awan.

Sofyan mencibirkan bibir tebalnya, "Bilang saja lo yang masukin nama kita ke perusahaan mereka, karena lo emang kenal sama bokap tuh cewek. Basa basi lo garing, bro! Jijik gue! Main sikut aja lo, tugas gue!" Sindirnya merasa tugas sebagai manager diambil alih oleh Adrian.

Tidak menanggapi serius, Adrian hanya tertawa terbahak-bahak mendengar celotehan Sofyan. "Lo susah banget semenjak kita tunjuk sebagai manager kita-kita, lebih sensitif, kayak cewek. Gue sama sekali tidak menyangka bahwa akan bertemu doi lagi. Kebetulan kita juga punya story dulunya, yang gue ciptain lagu itu lho ..."

'Kau dimana ... Apakah kau tahu aku merindukan mu, semakin tak kuasa menahan rindu ...'

Dengan cepat Awan menyambung lirik Adrian, kemudian menyanyikannya, "Kini kau telah kembali, aku takkan pernah melepaskan mu lagi ... gitu kan, ya kan? Gue tahu tendangan bebas lo anak jin!" tawanya menggoda sahabatnya.

Tidak ingin menjadi bahan bully-an satu team-nya, Adrian yang melihat Miranda telah keluar dari toilet, bergegas mendekati janda cantik itu kemudian merangkul pinggang wanitanya seraya berbisik, "Mungkin aku akan kembali nanti malam, kalau kamu free. Tapi hanya untuk malam ini. Karena jadwal ku besok lebih padat karena latihan, aku janji akan memberikan yang terbaik bagi perusahaan Pak Anderson. Bye baby." Ia mengecup lembut daun telinga Miranda yang sangat dekat di ujung bibirnya, membuat wanita cantik itu langsung mengalungkan tangannya dileher kekar Adrian.

Mata keduanya saling menatap, kedua mata itu saling bicara, "Serius ya? Aku tunggu nanti malam, hati-hati ayang, jangan nakal." Ia mengecup lembut bibir Adrian dihadapan rekan kerjanya, kemudian melepaskan tangan mulus itu dari pundak duda beranak satu tersebut.

Adrian memejamkan matanya, sebagai isyarat bahwa dirinya setuju. Sesuai janjinya, ia mentraktir Miranda juga team perusahaan janda itu tanpa keberatan.

Mereka berpisah, Miranda menoleh kearah Beny yang juga menatapnya. Kedua alis janda kembang itu naik turun, ketika melihat pria hitam manis keturunan India itu berjalan menghampirinya.

Beny menggeram menarik tangan Miranda agar duduk disebelahnya, "Lo asal ketemu sama cowok selalu buat orang-orang gerah. Bisa tidak, lo kenalan terus jangan pakai tatapan mesum itu?"

Senyuman kecil mengembang lebar didepan wajah Beny, sambil menjulurkan lidahnya yang berwarna pink, "Kenapa? Jangan bilang lo cemburu, terus mau bobo sama gue. Maaf ya, selera gue itu musisi, fotografer yang penting pecinta seni. Bukan cucunguk kayak, lo Beny sayang."

Seketika, perdebatan mereka berdua terhenti karena deringan gawai milik Miranda berdering membuyarkan emosi keduanya.

"Dean ...?" Senyuman Miranda melebar seketika, gegas ia menempelkan gawai pipih itu ketelinga sambil mengalihkan pandangan dari Beny yang masih duduk disampingnya.

[Ya halo ...]

[Miranda, kamu dimana? Lusa aku di suruh menghadap Pak Anderson ke Singapura. Kalau boleh tahu, ada apa ya ...]

Mendengar suara bariton milik Dean diseberang sana, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak, membuat hati Miranda seakan-akan tengah berbunga-bunga sesuai statusnya, janda kembang.

[Hmm, kamu dapat informasi dari siapa? Jujur aku tidak tahu tentang itu, karena aku orang promosi, Dean. Bukan dirut perusahaan. Walau aku anaknya, tapi aku juga makan gaji di sini. Ee, apakah kamu melakukan kesalahan pembayaran]

[Sepertinya aku salah menandatangani dua berkas, dan itu berdampak pada laporan pusat untuk Multy Strada, apakah permasalahan itu]

Kening Miranda mengkerut, ini merupakan hal yang tidak ia sukai jika sudah berurusan dengan bisnis. Kesalahan sedikit, justru akan berakibat fatal untuk kantor cabang mereka yang sudah berkembang pesat di tiap-tiap daerah.

[Bagaimana kalau kamu menghubungi secretaris papa. Lagian kamu juga mengenal papa, kok. Jadi tidak usah takut, Dean. Aku akan senang hati membantu mu, asal ...]

[Aku serius Mira, karena ini menyangkut karir ku. Jika aku melakukan kesalahan, maka aku juga akan mendapatkan imbasnya. Bisa jadi aku ditempatkan di pusat untuk diaudit, dan ini akan berdampak pada kandungan Tyas. Dia lagi hamil tua, aku tidak mungkin meninggalkannya lebih lama]

Entah kenapa, hati Miranda merasa senang, rasanya ingin sekali ia berteriak, melompat-lompat, namun tertahan karena tatapan mata Beny masih seperti iblis yang akan menghakiminya.

[Ya sudah, aku call papa dulu, ya. Kapan rencana kamu ke Singapura? Biar aku bisa pulang, dan bertemu dengan mu]

[Mungkin lusa Mir, oke. Nanti kamu kabari aku, ya. Terima kasih Miranda ...]

[Kembali kasih Dean, love you ...]

Miranda berteriak keras, menggenggam erat jemari Beny yang ada diatas meja dengan gemetar karena perasaan bahagianya.

"Kasih gue nafas buatan, please ... sekian lama gue menunggu telepon dari dia, baru kali ini di menghubungi gue, Ben ... agh, senengnya." Miranda meletakkan tangan Beny didadanya yang montok juga padat, agar dapat merasakan degup jantung yang berdetak kencang, namun pria itu hanya tersenyum tipis.

"Emang yang lo tunggu itu, telepon siapa sih, nyet? Heru? Gitaris tadi, atau Beno, atau siapa lagi tuh, lupa gue, A-a-aldi? Ya Aldi!" Beny memanggil waiters untuk memesan beberapa cemilan lagi, hanya untuk melanjutkan pembicaraannya dengan sahabat sekaligus rekan kerjanya.

Wajah Miranda yang dilanda bahagia, seketika menepuk keras pundak sahabatnya itu, memasang wajah garang karena tidak suka dengan uraian pria dihadapannya tersebut.  "Dean, setan! Awas lo sebutin nama selir gue itu, ya? Gue pites pala lo!" geramnya.

Mendengar nama 'Dean' disebut, Beny justru tertawa terbahak-bahak. Ia ngakak hingga tak kuasa menahan rasa keram pada perutnya, "Astaga Miranda, lo sakit jiwa, ya? Baru dihubungi lewat telepon doang sama mantan, udah kayak dapat warisan sepuluh hektar kebun sawit." Beny menggeram kesal.

"Dasar monyet galau, lo, suka lompat sana sini! Otak baling-baling, kalau lo mau, ya kejar dong ... jangan malah ngelendot sana, ngelendot sini kayak janda kesepian. Buat malu team hore-hore arisan janda bolong di komplek perumahan gue!" Tutur Beny tanpa perasaan sungkan.

Entah berapa kali Beny menerima pukulan bertubi-tubi pada lengan kekarnya, "Sopan lo kalau ngomong! Biarin deh, yang penting kalau Dean balik sama gue, mau jadiin gue yang kedua juga tidak masalah. Asal, dia jadi milik gue, nikahin gue. Ini kesempatannya anak jin. Dean di suruh papa ke Singapura lusa, jadi gue bakal pulang kampung. Tinggal lo sendiri di sini, gue ogah nemanin lo sama team promosi. Makan tuh alat berat sampe kenyang!"

Wajah Beny seketika mengkerut, ia sedikit penasaran dengan kata 'yang kedua'. "Maksud lo, yang kedua?"

Miranda mengangguk dengan tatapan bola mata yang berbinar-binar, "Ya, gitu ... mumpung Dean sudah menikah dengan kakak kelas gue yang bernama Tyas. Ya, gue mau jadi istri kedua dia, yang penting gue tidak menggangu ketenangan rumah tangganya, harta dan semua yang ada sama dia. Gue hanya mau dia jadi suami gue yang kedua!"

"Really!? Apakah lo salah minum obat? Jangan-jangan lo habis minum obat panu oplosan ni, makanya punya pikiran gila seperti ini!"

"Enak aja lo kalau ngomong!"

"Lah, lo mau jadi pelakor hanya karena perasaan penasaran Miranda Anderson. Apa kata emak, bapak, Lo! Lo cerai aja udah buat mereka malu, sekarang mau jadi istri kedua!" Beny menepuk jidatnya. "Mending lo jadian aja sama gitaris yang duda tadi, deh. Dari pada harus mengganggu rumah tangga orang lain, dosa tahu Mir, dosa."

Mendengar nasehat Beny, Miranda terdiam. Ia terbayang wajah sang mama yang sangat kecewa karena perceraiannya tiga tahun silam bersama Boni. Perselingkuhan yang dilakukan pria itu, membuat Miranda melabuhkan hatinya pada Aldi.

Pria muda yang memilih meninggalkannya, hanya karena harus kembali bekerja kenegara ginseng Korea yang ditunjuk sebagai seorang tenaga ahli dalam telekomunikasi. Membuat Miranda semakin merasa kehilangan jati dirinya sebagai wanita muda yang merasa dipermainkan oleh janji suci pernikahan, serta komitmen melibatkan perasaan.

Wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca, seketika ia mengenang sosok Tina Talisa yang sangat menginginkan putrinya menetap di Singapura. Miranda bukanlah anak yang suka dengan semua fasilitas kedua orangtuanya. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk tetap bertahan hidup dari penghasilannya sendiri, hanya untuk membuktikan bahwa dirinya dapat bertahan diluar sana tanpa bantuan dari kedua orang tua.

***

Malam yang dingin, hujan mengguyur kota metropolitan. Miranda sudah terlelap masuk ke dunia mimpinya. Selimut tebal menutupi seluruh tubuh rampingnya, seketika terdengar suara deringan gawainya berbunyi.

Miranda meraba-raba nakas yang ada disisi kirinya, mengambil benda pipih itu dengan mata tertutup.

[Hmm, halo ...]

[Mir, aku tidak tahu password apartemen kamu]

[L28MR2028]

Miranda kembali meletakkan gawai pipih itu disamping kepala kemudian melanjutkan tidurnya.

Gegas Adrian memasuki lift, kemudian menekan password kediaman janda cantik itu. Wajah lelah karena kesibukannya sebagai musisi diusia 26 tahun, membuat pria bertubuh tinggi itu tampak sedikit lelah. "Kayaknya minggu ini bakal full kegiatan ..." Ia melihat jadwal mengajarnya di salah satu kampus terkemuka di metropolitan seraya bergumam dalam hati, "Besok ternyata masuk siang. Jadi bisa istirahat dulu, semoga Miranda bisa libur untuk bercerita panjang dengannya ..."

Pintu lift terbuka lebar, untuk pertama kalinya Adrian menginjakkan kaki di apartemen wanita yang pernah menjadi kekasih selama satu tahun lebih, akan tetapi berpisah begitu saja selama lima tahun dan tidak mendapatkan kabar sama sekali.

Langkah Adrian terhenti ketika keluar dari pintu lift, menuju ruangan apartemen nan mewah. Ia tidak menyangka bahwa Miranda akan diberikan fasilitas sedemikian rupa. Senyumannya mengembang sempurna, kemudian mencari dimana keberadaan sang wanita pujaan hati.

Bak maling ditengah malam, Adrian melihat pintu kamar yang terbuka sedikit. Tidak ada seorang pun di sana, tidak ada tanda-tanda bahwa Miranda menantinya. Seketika ...

"Ehem ..."

Jantung Adrian hampir melompat keluar dari sarangnya, karena terkejut mendengar deheman yang ia pikir suara setan berwujud manusia.

Akan tetapi, Miranda justru berjalan mendekati Adrian seraya mendekatkan wajahnya pada wajah sang pria, "Ayang dari mana, kok manggung sampai jam empat subuh? Ayang tidak mabuk, kan?"

Mendengar pertanyaan Miranda yang sangat mengejutkan, Adrian sedikit menjauhkan wajahnya, "Hmm, aku dari cafe yang ada di Kuningan. Biasanya juga pulang jam empat, tadi langsung ke club' sama anak-anak, tapi aku enggak nekan, kok. Cuma minum doang, baby."

Kedua alis Miranda naik turun, menghela nafas berat kemudian menggelengkan kepalanya, "Ini yang aku tidak suka sama musisi. Kehidupannya terlalu bebas, dan aku tidak menyukainya." Ia memberikan handuk kecil kepada Adrian sambil berkata lagi, "Bersihkan dirimu, aku tidur! Night ..."

Ingin rasanya Adrian menggendong sang janda cantik itu jika sudah seperti ini. Watak Miranda yang tidak menyukai dunia malam, membuat dirinya semakin mencintai wanita masa lalu yang sangat perhatian, "Mir ... aku tidak pernah main dengan wanita malam," teriaknya semakin tersenyum senang.

"Kata siapa, kata kamu? Kamu pikir aku cewek abege, aku tahu ... karena mantan suamiku juga DJ di Singapura, Adrian!"

"Tapi aku beda dong, Mir!"

"Enggak, lo mau di apartemen gue, atau balik sana ke rumah lo! Menjawab ucapan gue aja, gue enggak suka ya ... tetap tidak suka!"

Adrian tersenyum, namun terlonjak seketika mendengar bantingan pintu kamar yang sangat keras didepan wajahnya. Dengan memelas ia mengetuk pintu kamar Miranda seraya memohon, "Jangan ngambek baby ... katanya mau peluk-peluk, come on. Aku tidak pernah menghabiskan malam bersama wanita club', sumpah deh. Aku cuma lagi deket sama mahasiswi, Mir. Tapi aku belum anu ..."

Terdengar suara Miranda dari balik pintu kamar menjawab, "Bener!"

"Bener baby ..."

"Tapi kok, aku enggak percaya. Kamu bohong aku juga bisa bohong! Dari dulu sampai sekarang aku tahu bagaimana kamu, Dri."

"Mir, Mir, itu tidak benar, itu semua fitnah! Pasti Heru yang bicara, kan sayang? Dimana dia?"

"Ada, dia lagi di Bali!"

Lagi-lagi Adrian menggeram, rahangnya mengeras, membayangkan rival pada jaman Sukarno masih abege tersebut, "Pasti karena bacotan anak sialan itu, Miranda sampai ninggalin gue waktu itu. Sialan lo, Heru! Awas saja kalau bertemu, gue sikat lo ...!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!