Kapan kamu bisa

Pagi menyingsing, suasana kota metropolitan tampak sibuk. Sama halnya dengan Miranda yang tergopoh-gopoh mengenakan seragam kerjanya disaksikan oleh Heru yang masih enggan beranjak dari ranjang peraduan mereka.

"Mir, come on ... gue masih kangen sama lo. Gue berangkat sore ini, please ..." Kembali Heru memohon karena tidak ingin jauh dari janda muda yang sangat menjaga tubuh indahnya agar selalu tampak ideal.

Terdengar suara lenguhan panjang Miranda, karena tidak suka dengan sikap Heru yang selalu menghalangi langkahnya jika sudah menghabiskan malam bersama. "Hei, dengar Heru Permadi pemilik rumah mode Klinikum. Gue itu makan gaji, kalau gue buat masalah atau bahkan tidak masuk hari ini, pasti papa akan meneror gue. Lo mau gue balik ke Singapura, terus stay di sana, enggak kan? Please ... lo juga harus tahu jadwal gue, Heru."

"Ya, ya, ya ... anak kesayangan Anderson pemilik Multy Strada, terserah deh. Gue balik aja kalau gitu. Ngapain gue sendiri di sini, kalau lo kerja." Heru masih terus merungut karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.

Ya ... Heru semakin jatuh hati pada Miranda, tapi takut ia utarakan selain sedang bercumbu di ranjang. Dengan alasan, janda cantik itu enggan menjalin komitmen serius untuk menjalin relationship sebagai pasangan kekasih. Nakal, sungguh nakal, Miranda lebih suka menjadikan Heru hanya tempat persinggahannya pelepasan hasrat sesaat nya.

Gegas Miranda merogoh kunci mobilnya, dan berlalu begitu saja meninggalkan Heru lebih dulu setelah memberikan kecupan-kecupan manis di bibir pria muda tersebut. Tidak main-main, ia akan terus bersama partner ranjangnya sampai Dean kembali dalam pelukan.

Miranda bergumam dalam hati, "Pokoknya, aku harus mencari cara agar bisa dinas di Medan atau dimana saja yang penting Sumatra agar bisa menggoda Dean kembali ..."

Tidak memakan waktu lama, jarak dari apartemen miliknya menuju perusahaan keluarga hanya butuh waktu sepuluh menit. Karena hanya memiliki jarak tempuh sekitar lima kilometer dari tempat tinggalnya saat ini.

Kedua bola mata Miranda lagi-lagi membulat sempurna, ketika berpapasan dengan seorang pria yang seperti ia kenali, tapi semua itu berlalu begitu saja, ketika team management sebagai seorang musisi yang akan mengisi acara pada louncing perdana produk alat berat mereka, lebih dulu menyapa janda cantik pemilik perusahaan keluarga tersebut.

"Hai." Sapa salah satu pihak manajemen band mereka.

Miranda menoleh kearah Beny yang sudah berdiri sejak tadi dihadapan mereka karena akan mengikuti meeting sesuai jadwal pagi itu, membuat ia berbalik. "Ya, hmm ... sorry, bisakah kita bicara di ruang meeting saja. Karena saya harus meminta randown acara yang akan kita adakan satu minggu lagi," tuturnya melangkah menuju ruangannya.

Belum sempat pihak manajemen bernama Sofyan itu menjawab, Miranda telah menghilang dari hadapan keempat orang tersebut. Akan demikian, salah satu dari pria itu hanya tersenyum tipis karena ini merupakan satu kejutan untuk dirinya pribadi.

"Sombong sekali dia, bro. Siapa sih dia? Emangnya dia anak pemilik Multy Strada? Aku rasa dia itu mendapatkan tekanan dari Pak Anderson karena terlambat masuk kantor," sesalnya kembali duduk ke sofa yang sudah tersedia di ruangan tersebut.

Beny yang mendengar ucapan dari pihak manajemen band ternama seperti itu, membuat dirinya hanya bisa tersenyum tipis, karena ia sudah sangat mengetahui bagaimana sifat Miranda yang selalu terkesan angkuh juga sombong. Pada dasarnya, janda cantik itu sama sekali sangat cepat akrab jika sudah mengenal dan sering bekerja sama dengan perusahaan mereka.

Akan tetapi, seorang gitaris mendekati Beny kemudian berbisik ketelinga pria yang menjadi orang kepercayaan Keluarga Anderson. "Bisa antarkan saya bertemu dengan Ibu Miranda? Katakan padanya, bahwa Adrian mencarinya."

Kedua alis Beny tampak seperti tengah menyelidiki pria yang mendekatinya tersebut. "Jangan bilang, kalau Anda merupakan hmm, teman lama Miranda karena saat ini terlalu banyak teman-temannya yang mengetahui dimana ia bekerja."

Adrian menganggukkan kepalanya, "Ya, saya ini teman sekolah, sekaligus teman kuliahnya," ia tertawa kecil, agar tidak terdengar oleh temannya yang lain.

Tanpa sungkan, Beny membawa Adrian keruangan Miranda tidak jauh dari tempat mereka menunggu yang terbuka sedikit, seraya berbisik pada pria yang lebih mirip artis Didi Riyadi. "Sebentar ya, mas. Miranda lagi on line, kalau mau, masuk saja dulu. Dia pasti senang jika sahabat sekolahnya datang kesini." Ia membuka pintu ruangan lebih lebar, dan memperlihatkan bahwa anak bosnya itu tengah duduk dikursi kebanggaannya ketika ngobrol melalui telepon dengan posisi membelakangi pintu ruangannya.

Cukup lama Adrian hanya duduk di sofa empuk ruangan Miranda, turut mendengarkan pembicaraan wanita cantik yang pernah mengisi hari-harinya ketika kuliah serta merintis sebagai seorang musisi. Di ruangan yang sejuk, masih terdengar suara alunan musik jazz yang menjadi lagu pilihan gedung berlantai 30 tersebut.

Usai menghubungi kerabatnya yang akan membantunya masuk dalam daftar badan narkotika negara, Miranda memutar balik kursi kebanggaannya, sudah ada sosok pria yang tadi ia lihat di pintu masuk kantor ternyata sudah duduk dihadapannya.

Miranda terlonjak kaget seketika, tidak menyangka akan dipertemukan kembali dengan sosok pria yang merebut mahkotanya pada usia 18 tahun, seraya bertanya dengan sangat gugup, "Adrian, ka-ka-kapan kamu datang keruangan aku? Kok, ka-ka-kamu tahu aku di sini?" Dirinya yang tidak pernah menyimpan rasa dendam, karena sadar bahwa perlakuannya kala itu masih remaja hanya terpaku kemudian bertanya lagi pada pria yang masih terpesona menatapnya. "I-itu band kamu? Kalau iya, aku bilang sama Beny deh, acc saja. Nanti kamu ajukan pembayarannya. Jangan mahal-mahal dong, hanya acara biasa saja."

Tawa Adrian pecah seketika, membuat Miranda langsung duduk disamping pria yang semakin tampak gagah tersebut dengan sangat akrab.

Tanpa sungkan pria yang benar-benar tampak seperti Didi Riyadi tersebut, langsung merangkul pundak Miranda yang sudah duduk berdampingan dengannya. "Apa kabar kamu, cantik? Kok tiba-tiba menghilang terus muncul lagi kayak anak jin. Oya, sudah maried belum, ni? Takutnya nanti aku pegang-pegang malah di omelin big boss!"

Miranda mencubit kecil paha Adrian karena tidak pernah berubah menggodanya sejak dulu. Ia sengaja seperti anak kecil yang tengah merajuk, enggan dipegang-pegang oleh pria yang masih terus menggodanya, "Hmm, kesel!"

Adrian mengeluarkan uneg-unegnya selama lima tahun kehilangan kontak dengan wanita yang duduk disampingnya, "Duh, segitu aja ngambek. Jangan marah dong, Mir. Sorry, aku minta maaf sama kamu. Lagian kamu pakai menghilang begitu saja, tanpa mau memberikan kabar sedikit pun sama aku. Sampai-sampai aku menikah dengan dokter karena kecewa, tapi akhirnya kandas. Apa kamu tidak prihatin atau merasa bersalah gitu telah meninggalkan aku dalam kehampaan?"

Miranda hanya tersenyum tipis, kembali menoleh kearah Adrian sambil menyodorkan minuman kaleng yang tersedia di meja ruangannya. "Lulus kuliah aku mencoba jadi tenaga kerja di Nurnberg-Jerman, tapi tidak betah karena beda cuaca. Lagian kamu tahu sendiri aku tidak bisa menetap terlalu lama disuatu daerah yang sangat dingin, terus pulang ke Singapura, nikah, pisah, jadi status aku single fighter."

Kening Adrian mengerenyit, kedua alisnya menyatu, ia menyilangkan kakinya kemudian menggoyangkannya sambil mendengarkan semua cerita wanita cantik itu dengan perasaan bahagia, karena bisa menjalin hubungan serius kembali, untuk menebus rasa bersalahnya selama ini.

Adrian bertanya sambil menyesap minuman kaleng yang di suguhkan oleh Miranda, "Terus, sekarang kamu makan gaji di kantor orang tua, gitu?"

Tanpa sungkan Miranda mengangguk, kemudian bercerita lagi, "Tadi itu aku menghubungi Om Monata, dia mau membantu aku untuk masuk ke badan narkotika, bagian nengok-nengok pun jadilah, yang penting tugas di Sumatra. Jadi kalau pulang lebih dekat ke Singapura atau ke tempat oma," jelasnya sambil mengerjabkan mata indah itu dua kali.

Mendengar penjelasan dari Miranda Adrian hanya tersenyum, kemudian berkata dengan nada lembut, "Mir, maafkan aku, ya? Karena aku, kamu jadi hancur begini. Kisah cinta kita tidak ada yang mulus, bahkan pernikahan kita berdua pun gagal total. Oya, nanya doang ni ... dimana mantan pacar kamu yang dulu, masih hidup atau sudah mati?"

Dengan keras Miranda menepuk pundak Adrian, "Sialan lo, ya masih hidup lah dia. Kebetulan dia jadi kepala cabang termuda di Anugerah Finance, tapi sudah menikah. Eh, wait ... kamu kenal Tyas, kan? Nah ... Dean itu ternyata menikah dengan Tyas. Aku kaget bukan main, kok bisa dia naksir sama cewek lebih tua. Apa kurang ya, cewek muda kayak Miranda Anderson di dunia ini." Ia mengibas-ngibas jemari lentiknya di wajah cantik itu.

Membuat Adrian yang menyaksikan tingkah Miranda hanya tertawa terbahak-bahak, "Dia suka sama tante-tante kali. Lagian usia tidak menjadi masalah, kayak kamu sama aku, kita hanya berjarak dua tahun, kan?"

Miranda mengangguk membenarkan ucapan Adrian, kemudian menerima panggilan telepon sekali lagi. "Wait ya, lagi mau masuk bulan promosi soalnya, jadi agak busy." Ia beranjak menuju meja kerjanya, kemudian melirik gawai yang ada dihadapannya. "Beny ..."

[Hmm ...]

[Bayarannya langsung atau dua puluh persen diawal, ni ...]

[Seperti biasa saja, jangan melanggar yang sudah menjadi ketentuan perusahaan. Oya, selesai urusin mereka, lo ikut gue, ya? Kita makan siang di tempat biasa. Sama temen lama gue ...]

[Temen apa temen]

Miranda tertawa kecil mendengar celotehan Beny yang berada di ruangan sebelahnya.

[Temen dong, kamu tahu sendiri aku belum bisa move on ...]

[Agh ... bete sama lo, nyet ... Dean, Dean mulu. Bosan gue, dahlah ... gue urusin pembayaran sama manajemen mereka. Deal sama gitaris berapa, nyet ...]

Kembali Miranda menoleh kearah Adrian yang masih memainkan gawainya.

[Lo lebihin lima juta saja, jangan banyak-banyak lebihnya, gue kasihan sama gitarisnya ... duda boo ...]

Keduanya tertawa kecil, walau posisinya bersebelahan.

[Hmm, terus yang kasihan sama lo siapose, Pak Anderson]

[Setan lo, papa terbaik gue, tuh ... dah agh, lo urusin sana. Gitarisnya di sini dulu, kalau sudah beres lo kabarin gue. Bye ...]

Keduanya mengakhiri panggilan telepon. Kembali Miranda menoleh kearah Adrian seraya bertanya, "Selesai dari sini kamu ada acara lain, tidak? Kita makan siang bareng, ya. Sesekali kamu traktir aku, dong. Apa enggak kasihan sama aku, janda tidak punya anak, kasihan dong, Dri." Ia tertawa kecil berjalan mendekati pria yang memiliki banyak bulu menghiasi rahang tegasnya.

Tanpa penolakan Adrian mengangguk setuju, "Iya, kamu mau makan apa? Sekitar jam dua belas sampai jam empat sore aku masih free, karena mau mengisi acara di salah satu cafe daerah Kuningan. Mungkin setelah selesai acara sama kantor kamu, aku berangkat ke Manado dan Lombok. Maklum sebagai pengamen profesional sekaligus dosen di universitas terbuka."

Mulut mungil Miranda hanya membulat berbentuk huruf 'O' menatap Adrian dengan tatapan mata berbinar-binar. Siapa sangka, selain menjadi musisi, pria yang sejak dulu sangat menyukai dunia kesenian juga ilmu hukum itu, dapat membagi waktunya mengabdikan diri sebagai pengajar.

"Hmm, aku salut sama kamu. Sejak dulu kamu pria yang pintar, tidak mengandalkan orang tua. Sangat berbeda dengan aku," sungutnya masih menekukkan wajah cantiknya.

Adrian tertawa terbahak-bahak setelah mendengar celotehan Miranda, "Kamu kenapa sih? Kok sensitif banget, lagi datang bulan ya?"

"Enggak! Udah agh ... aku bakal ngomong sama papa, kalau aku mau berhenti dari sini. Aku mau melanglang buana kayak kamu."

Entah mengapa, Adrian langsung meraih tubuh ramping Miranda kemudian memeluknya dengan penuh kasih sayang, "Sini, cup, cup, cup ... kamu tidak perlu keluar dari perusahaan ini, masih bisa kok melakukan apapun diluar sana. Bagaimanapun, kamu itu anak kebanggaan Pak Anderson yang paling sempurna. Senang bertemu dengan kamu, tapi hari ini jadwal aku memang lagi padat banget. Kita atur waktu lagi, ya? Untuk makan siang, aku traktir kamu." Tangan kekar nan bersih itu mengusap lembut kepala wanita cantik tersebut, membuat Miranda semakin mendekap erat tubuh gagah yang memiliki aroma wangi khas sejak dulu.

"Makan siang saja, terus ... kapan kamu bisa, hmm ...?"

"Bisa apa?"

"Bisa peluk-peluk begini lagi, Adrian."

Terpopuler

Comments

Soraya

Soraya

peran utama nya siapa thor Miranda si janda jalang apa Tias

2024-08-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!