"Mau ngapain, Mbak?" tanya Rangga menyela. Bahkan lelaki itu sampai bangkit berdiri. Lalu menatap sang kakak dengan begitu menuntut.
"Kerja jadi pembantu. Mbak baru inget pas hari Rabu kemarin, Lik Marni ngajak mbak kerja di tempat bosnya karena ada satu pembantu yang barusan keluar," sahut Deana.
"Mbak, kamu sudah bilang sama ibu?" tanya Rangga lagi, tetapi Deana menggeleng lemah.
"Mungkin nanti sore atau malam. Kalau sekarang pasti ibu sudah berangkat ke sawah." Deana bangkit berdiri dan diikuti oleh Rangga.
"Aku berat kalau harus jauh dari kamu, Mbak. Pasti bakalan kesepian karena cuma sama ibu di rumah." Rangga sedikit merengek. Bibir Deana tersenyum simpul, dan dia mengacak-acak rambut adiknya dengan gemas.
"Cukup rindu milik Dylan aja yang berat, kamu jangan," seloroh Deana, sedangkan Rangga menghentakkan kaki dengan kencang. Tawa Deana terdengar menggelegar sebelum akhirnya dia mengajak adiknya pulang karena hari sudah mulai siang.
Setibanya di rumah, mereka tidak lagi melihat keberadaan sang ibu, keranjang kecil milik Tinah pun sudah tidak berada di tempatnya. Rangga rebahan di depan televisi kecil yang hanya berukuran empat belas inchi, sedangkan Deana masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rencananya, setelah ini dia akan segera menemui Lik Marni sebelum wanita itu berangkat kembali ke kota.
***
Deana duduk bersama ibu dan adiknya di depan televisi. Raut kebingungan tampak memenuhi wajah cantiknya. Tinah yang sedari tadi melihat pun menjadi begitu curiga, apalagi beberapa kali dia memergoki Deana mencuri pandang padanya. Ia yakin, pasti ada hal yang sedang mengusik pikiran putrinya.
"Apa ada sesuatu yang akan katakan pada ibu, De?" tanya Tinah pada akhirnya.
Deana semakin terlihat begitu gugup. Namun, dia harus memberanikan diri untuk mengatakan semuanya dan meminta izin pada wanita itu. Sementara Rangga berpura-pura fokus pada layar karena dia tahu apa yang akan dibicarakan oleh kakaknya.
"Bu, kalau Dea ikut kerja sama Lik Marni di Jakarta, apa boleh?" tanya Deana ragu. Tatapan mata Tinah ke arah putrinya begitu lekat. Namun, ada gurat kesedihan dari wajahnya yang kulitnya sudah tidak sekencang dulu.
"Dea janji tidak akan macam-macam di sana. Lagian ada Lik Marni yang nantinya akan menjaga Dea. Bu, Dea mohon." Deana menangkup tangan di depan dada dengan sorot mata yang begitu memohon. Namun, Tinah masih saja belum menjawab ataupun memberi izin kepada putrinya. Ia harus mempertimbangkan semuanya dengan baik sebelum memberi keputusan.
***
Dua hari setelahnya, Deana jadi berangkat ke kota bersama dengan Marni setelah mendapat izin dari Tinah. Tidak banyak bekal yang dibawa oleh gadis itu, hanya uang dua ratus ribu beserta pakaian ganti yang dimasukkan dalam tas gendong. Sementara untuk urusan uang transportasi sudah dibayarkan oleh bos barunya.
Selama dalam perjalanan, Deana lebih banyak diam dan hanya menanggapi dengan senyuman ketika Marni melontarkan pertanyaan. Ini masih terasa sangat berat untuk Deana karena baru pertama kali gadis itu harus berpisah jauh dari Tinah dan Rangga. Bagaimana lagi? Keadaan seolah memaksanya untuk melakukan semua itu. Ia hanya ingin membantu ibunya terbebas dari rentenir.
"Lik, Dea belum ada pengalaman menjadi pembantu." Akhirnya, Deana membuka suara memecah keheningan yang cukup lama mengiringi perjalanan mereka.
"Tidak apa, De. Nanti kamu juga lama-lama akan terbiasa. Pekerjaanmu nanti seperti saat di rumah kalau sedang bantu-bantu ibumu." Marni berbicara dengan lembut. Memberi ketenangan untuk Deana.
"Nanti ajari Dea kalau di sana ya, Lik. Bosnya galak tidak?" Deana merasa ragu.
"Yang penting kamu nurut saja apa kata nyonya sama tuan, mereka baik selama kamu tidak bikin masalah. Lebih baik sekarang kamu tidur dan jangan terlalu dipikirkan." Marni pun memberikan beberapa nasihat kepada Deana tentang hal apa saja yang harus dilakukan selama bekerja di sana. Deana mendengarkan dengan seksama dan hanya mengangguk mengiyakan setiap nasehat Marni.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments