Deana-3

"Mbak Dea, bangun!"

Deana mengerjapkan mata saat mendengar suara pintu diketuk dengan keras. Dia terkejut saat melihat langit dari sebagian jendela yang tidak tertutup tirai sudah terlihat terang. Matanya melirik jam yang sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi.

"Mbak Dea!" Suara Rangga kembali mengejutkan gadis itu. Dengan bergegas gadis tersebut turun dari ranjang dan membuka pintu sebelum Rangga mendobraknya seperti kejadian dua bulan silam.

"Mbak sudah bangun, Ngga." Saat pintu terbuka, Deana bisa melihat raut wajah Rangga yang tampak kesal.

"Telat! Ini jam berapa, Mbak?" Rangga bertanya dengan bibir mengerucut.

"Telat dikit kok, Ngga. Lagian mbak lagi tidak sholat." Deana menjawab dengan menunjukkan senyum simpulnya.

"Ya udah kalau begitu tidur lagi aja. Aku mau lari pagi mumpung hari Minggu." Rangga berbalik dan hendak pergi, tetapi Deana segera menahan langkah adiknya.

"Mbak ikut, ya." Deana menaik-turunkan alisnya sembari memohon agar Rangga mengizinkan dirinya ikut.

"Ya udah sana cuci muka, gosok gigi dulu. Muka bantal gitu malu-maluin, Mbak." Rangga terkekeh, dengan gemas Deana memukul lengan adiknya sebelum masuk kembali ke kamar dan bersiap untuk ikut lari pagi.

***

Udara pagi masih terasa begitu sejuk apalagi wilayah itu masih jarang ada polusi dari asap kendaraan. Rangga dan Deana berlari bersama dengan kecepatan sedang dan diselingi beberapa obrolan ringan. Tinggi badan Deana hampir sejajar dengan Rangga, jika baru pertama kali melihat mereka pasti akan mengira jika Deana adalah adik Rangga. Apalagi wajah Deana yang kelihatan lebih muda daripada umurnya.

Setelah merasa lelah, mereka duduk di tepi lapangan dengan meluruskan kaki supaya tidak terkena varises, begitu yang mereka tahu. Deana menghela napas panjang saat teringat kedatangan Togar kemarin. Raut wajahnya penuh kebimbangan bahkan tidak ada sedikit pun senyum yang terlihat dari wajahnya. Hal itu pun membuat Tangga mendadak curiga.

"Mbak Dea, kenapa?" tanya Rangga, menyadarkan Deana dari lamunannya.

"Tidak kenapa-napa, Ngga." Deana menjawab dengan tenang karena tidak ingin jika adiknya tahu apa yang sedang mengusik pikirannya saat ini.

"Jangan bohong deh, Mbak. Aku bukan lagi anak kecil yang bisa Mbak bohongi." Rangga mendecakkan lidah. Ia tahu kalau ada sesuatu hal sedang disembunyikan oleh wanita itu. Deana pun hanya menanggapi dengan senyuman paksa.

"Kapan Mbak bohong sama kamu? Kamu ini masih kecil, Ngga. KTP aja belum punya," ledek Rangga. 

Rangga merebahkan tubuh di atas rumput dan menjadikan dua lengannya sebagai bantalan. Lelaki itu membiarkan cahaya matahari menerpa wajahnya. "Mbak, setelah lulus SMP aku mau nyari kerja. Ikut Lik Agus jadi kuli bangunan."

Deana menoleh, menatap Rangga dengan tatapan yang sedikit menajam. "Tidak boleh! Kamu harus melanjutkan pendidikanmu, Ngga! Bahkan kalau bisa sampai kamu menyandang gelar sarjana supaya kamu bisa mencapai cita-citamu menjadi guru."

"Aku tidak mau membebani ibu, Mbak. Aku kasihan sama ibu harus kerja banting tulang seperti itu. Lagian, kerja jadi kuli bangunan hasilnya lumayan Mbak. Lebih tinggi sedikit dari bayaran ibu sebagai buruh tandur." Rangga masih bersikukuh. Keputusan anak muda itu sudah sangat bulat. Bahkan, tanpa diketahui Rangga sudah memikirkan itu dengan matang-matang.

"Kalau mbak bilang tidak berarti tidak, Ngga. Kamu ini anak laki-laki yang nantinya akan menjadi seorang tulang punggung keluarga saat sudah menikah. Setidaknya, kamu harus punya modal untuk bisa hidup lebih baik lagi. Selain untuk dirimu sendiri, tapi juga demi keluargamu nanti," nasehat Deana. Rangga tidak menjawab, hanya desah*n kasar yang terdengar darinya.

"Ngga, mungkin sebentar lagi mbak akan merantau ke Jakarta."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!