Tinah mendongak, menatap Togar dengan sedikit tajam. "Aku tidak akan menjadikan putriku sebagai gadis penebus hutang!" tegasnya penuh berani.
"Kalau begitu segera lunasi hutangmu!" Togar pun tak kalah tegas. Ia merasa geram karena Tinah berani membantahnya.
"Beri aku waktu sebulan, aku pasti akan melunasi hutang-hutang itu." Tinah berusaha menawar. Togar terdiam, tangannya mengusap dagu dengan perlahan seolah sedang menimang-nimang. Satu menit setelahnya sebelah sudut bibir lelaki itu terangkat.
"Baiklah. Kalau bulan depan kamu belum bisa membayar maka aku akan memberi dua pilihan. Biarkan putrimu menjadi istriku yang ketujuh atau rumah ini menjadi milikku dan kalian silakan pergi dari sini."
Tinah kembali terdiam, sedangkan Deana semakin memegang pundak ibunya dengan erat. Togar bangkit berdiri dan segera pergi dari rumah itu tanpa menunggu jawaban Tinah. Bahkan, lelaki itu pergi begitu saja tanpa permisi.
Setelah bayangan Togar tidak lagi terlihat, Deana beralih duduk di samping ibunya. Dia menatap wajah Tinah yang mulai keriput termakan usia. Rasa tidak tega dirasakan oleh gadis itu apalagi saat melihat sang ibu yang sedang berusaha menutupi rasa bingungnya.
"Bu, bagaimana ini?" tanya Deana tanpa memutus pandangannya kepada sang ibu.
"Nanti ibu pikirkan, De. Semoga saja ada rezeki tidak terduga." Tinah berusaha menenangkan hati Deana meskipun ia sadar kalau itu hanyalah sebatas kalimat penenang.
"Bu, hutang ibu bukan hanya satu dua juta, tapi sepuluh juta. Kita tidak mungkin mendapat uang sebanyak itu dalam waktu sebulan. Apalagi Dea baru berhenti kerja." Deana terlihat begitu frustasi saking bingungnya. Tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Pikirannya benar-benar buntu. "Biarkan Deana menjadi istri Bang Togar, Bu, dan hutang kita akan lunas," pungkasnya.
"Tidak! Ibu tidak rela kamu menikah dengan Bang Togar apalagi untuk melunasi hutang. Kamu ini wanita baik-baik dan punya harga diri, De!" Tinah menolak tegas, bahkan suara wanita itu sedikit meninggi. Ia tidak rela jika Deana benar-benar menikah dengan lelaki yang sudah ia ketahui keburukannya.
"Tapi, Bu, kalau Dea tidak menikah dengan Bang Togar, rumah ini akan disita. Nanti kita akan tinggal di mana? Kasihan Rangga, Bu." Kedua mata Deana mulai terlihat berkaca-kaca. Bahkan, bulir-bulir bening seperti memaksa untuk keluar dari setiap sudut mata gadis itu.
"De, kalau dipikirkan sekarang kita tidak akan pernah bisa menemukan solusi. Lebih baik jangan bahas ini dulu, kita bahas nanti saat pikiran dan suasana sudah dingin. Ibu tidak mau kalau sampai Rangga mendengarnya." Tinah berusaha menutup pembicaraan itu. Deana menanggapi dengan anggukan lemah lalu berpamitan ke kamar untuk beristirahat. Bukan hanya tubuhnya yang butuh istirahat, tetapi pikirannya juga.
Selepas kepergian putrinya, Tinah memijat pelipisnya untuk mengurangi rasa sakit kepala yang datang tiba-tiba. Wanita paruh baya itu merasa begitu menyesal sudah meminjam uang pada Togar, tetapi waktu itu dia begitu terdesak dengan keadaan. Dia harus membayar uang sekolah Rangga, sedangkan Deana dilarikan ke rumah sakit karena terkena typus.
***
Hampir semalaman Deana tidak bisa tertidur karena kepikiran tagihan hutang kepada Togar. Dia hanya menatap langit-langit kamar dengan pikiran menerawang jauh. Tiba-tiba air mata menetes dari kedua sudut matanya saat sekelebat bayangan sang ayah yang kini pergi entah ke mana, datang menghampiri. Dia tidak akan pernah lupa meski saat itu dirinya baru berumur sepuluh tahun.
"De, bapak mau cari uang di kota. Kamu di rumah sama ibu dan harus janji jadi anak baik, ya."
"Kapan Bapak akan pulang?"
"Kalau bapak sudah punya uang, bapak pasti pulang."
Air mata Deana semakin mengalir deras saat rasa rindu untuk melihat wajah sang ayah begitu mengusik hatinya. "Apa bapak belum punya banyak uang? Kenapa bapak tidak pulang-pulang?" gumam Deana disela isakannya.
Gadis itu melipat bibir berusaha untuk meredam tangisnya supaya tidak mengeras. Dia tidak mau kalau sampai Tinah ataupun Rangga mendengar isakan itu.
Namun, tangisan itu seketika mereda dan Deana mendadak gugup saat pintu kamar diketuk dan terdengar suara Tinah yang memanggil namanya. Deana tidak sedikit pun menyahut apalagi membuka pintu itu. Membiarkan sang ibu terus memanggil dan jika sudah lelah nanti, pasti wanita itu akan menganggap kalau dia sudah tertidur.
Benar saja, ketukan itu berhenti dan terdengar derap langkah yang perlahan menjauh. Deana mengusap dada sembari mengembuskan napas lega. Dia pun kembali menghapus air mata sampai benar-benar kering lalu membalik badan dan memeluk guling dengan erat. Dalam hati dia sangat berharap semoga esok ada solusi untuk masalahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
titissusilo
hmmmm bpk mu udah kecantol hanger deana....msihhhh ada ya para rentenir
2023-04-11
2