Senja menyapa, mentari hampir tenggelam, kicauan burung terdengar saling bersahutan, sore ini setelah pekerjaanku selesai, aku segera bersiap-siap untuk pulang. Bukan pulang kerumah, tapi pulang kerumah sakit untuk menemui Ibu. Bagiku, rumah sakit sudah seperti rumah keduaku. Di rumah aku hanya tinggal sendirian, jadi aku lebih suka jika berada dirumah sakit menemani Ibu. Jika kebetulan aku sedang tidak bekerja part time.
“Kamu baru datang El??” Ibu mendongakkan kepalanya, menatapku sambil tersenyum, aku menghampiri Ibu, lalu menciumi kedua pipinya dengan sayang.
“Emmhh ... aku baru datang Bu” aku mengangguk sambil meletakkan sebuah papper bag, berisi satu boks makanan kesukaan Ibu.
“Kau membawa makanan kesukaan Ibu??” tanyanya dengan mata berbinar.
“Tentu saja, ayo kita makan” aku menggiring tubuh ringkih Ibu untuk duduk di sebuah kursi, yang di sediakan oleh pihak rumah sakit.
Aku mulai membuka boks makanan itu, Ibu langsung berjingkrak karena saking senangnya,
“Aaaaaa ... ini makanan pavorite Ibu” ucapnya sambil melahap ayam bagian pahanya.
“Makan ya Bu, awas hati-hati” aku tersenyum, sambil sesekali mengusap bibir Ibu yang tengah sibuk mengunyah.
“El, kapan kamu akan menikah??” tanya Ibu tiba-tiba, dengan mulut masih mengunyah.
“Nanti, kalau Ibu sudah sembuh” jawabku pelan.
“Ibu sudah sembuh, Ibu sudah tidak sakit lagi” Ibu berusaha tersenyum, meski aku tahu kondisi Ibu tidaklah baik.
“Di sini, ada Dokter dan perawat yang mau menjaga Ibu dengan baik” ucapnya sambil celingukan.
“O ya???” aku menatap Ibu dengan mata berkaca-kaca.
“Hmmhhttt ...” Ibu mengangguk.
“El, bisa bicara sebentar??” tiba-tiba Dokter Andi datang.
“Iya bisa” aku mengangguk, lalu keluar dari dalam ruangan Ibu, berjalan perlahan melewati koridor rumah sakit bersama Dokter Andi.
“El, kondisi jantung Ibumu tidak baik, kondisinya semakin memburuk”
Deg ...
Aku menghentikan langkahku, seketika ada rasa sesak di dalam dada, kenapa rasanya begitu sakit??.
“Maksud Dokter??” aku menatap Dokter Andi, meminta sebuah jawaban yang sebaliknya. Berharap pernyataannya tadi adalah sebuah kesalahan.
“Jantung Ibumu semakin parah, tadi siang dia mengalami anpal, tapi untungnya aku bisa mengatasinya dengan segera, jika tidak ... kau tahu apa yang akan terjadi” Dokter Andi menghentikan langkahnya, lalu dia menatap langit malam yang kian pekat.
“Ba bagaimana mungkin??” aku terbata, ujian macam apalagi ini??.
“El, penyakit Ibumu semakin parah saja, dari waktu ke waktu kondisi jantungnya kian melemah, meski aku dan Dokter yang lainnya sudah berusaha keras, mungkin hanya kehendak Tuhan saja yang akan menakdirkan seberapa lama lagi jantung Ibumu akan berdetak” Dokter Andi menundukan wajahnya dalam.
“Hahaha ... Dokter bukan Tuhan yang bisa menentukan usia seseorang, aku hanya minta Dokter untuk menyembuhkan penyakit Ibuku, bukan malah memprediksi usianya” mulutku tertawa, tapi mataku tidak bisa berbohong, lelehannya sudah menetes sedari tadi.
“Aku harap, jika Ibumu memiliki permintaan, tolong ikuti saja keinginannya, bisa jadi ini adalah permintaan terakhir Ibumu. Ini hanya saran dariku El, agar kau tidak menyesal nantinya” Dokter Andi pergi meninggalkan aku yang tengah bingung sendirian. Lambat, akhirnya aku menangis sejadi-jadinya, dengan di temani kerlipan bintang dan cahaya remang-remang dari bulan.
‘aku tidak sanggup’
Kenapa ujian ini seolah tidak pernah surut dari hidupku???
Lambat, aku berjalan mengitari rumah sakit ini, rasanya begitu penat, begitu sesak. Aku butuh oksigen tambahan.
Satu jam aku berjalan, hingga akhirnya aku tiba di tempat yang begitu sunyi. Entah di mana, kenapa juga kakiku membawaku ke tempat ini??.
Ah ... iya, ini tempat menuju makam Ayah, haruskah ku keluhkan segala kesahku pada Ayah?? Ayah sudah damai di alamnya, kenapa aku harus bercerita pada gundukan tanah?? Kaki-ku masih saja berjalan. Melewati pepohonan yang berjajar rapi di pinggir jalan.
“Ayah ... Ibu sakit, aku harus apa?? Jika Ibu tidak ada, apa yang harus ku lakukan?? Kemana aku harus pulang?? Sungguhkah? Aku akan di tinggalkan sendirian??” air mataku menetes begitu saja.
Aku duduk menekuk lutut di hadapan makam Ayah, tidak terlalu banyak kenangan yang Ayah berikan untukku, yang ku tahu, hari itu usiaku baru sepuluh tahun, dan Ayah meninggal karena sebuah insiden yang terjadi di sebuah tempat Ayah bekerja.
Aku hanya tahu setiap cerita tentang Ayah dari Ibu, Ibu bilang Ayah adalah pria yang sangat baik, Ibu juga sering bilang, jika suatu hari nanti aku akan menikah, maka carilah pendamping yang seperti Ayah, hangat, lembut, setia, penyayang, dan sangat mencintai Ibu dan aku pastinya. Hingga sampai saat ini, bayangan Ayah tidak pernah hilang dari benak Ibu, hingga Ibu memutuskan untuk tidak menikah lagi, dan lebih memilih untuk hidup berdua denganku. Kisah cinta Ayah dan Ibu sungguh mengharukan.
Lama aku terpekur seorang diri, ku raba batu nisan Ayah, ku tatap lama batu itu. Hingga setelah hampir satu jam melepas rasa rindu pada Ayah, akhirnya aku memutuskan untuk segera bergegas meninggalkan makam ini, suasana semakin gelap. Aku berjalan sendirian menuju rumah sakit.
***
“Paman! Kenapa kau tidak membelikanku coklat yang lebih banyak?? Ini hanya sedikit! Aku ingin coklat!” terdengar rengekan dari seorang anak kecil dari arah supermarket, yang terletak tidak terlalu jauh dariku. Aku menatap anak kecil itu dari jauh.
“Heh Nak, kenapa kamu rakus sekali??” lelaki dengan rambut klimis itu terus merayu anak laki-laki dengan pipi gembul di hadapannya. Aku terus berdiri mematung memperhatikan gerak geriknya.
“Aku mau coklat! Mau coklat! Mau coklaaaattttt!!!!” teriaknya lagi semakin keras.
“Heh!!! Kenapa kau cerewet sekali??!!!” terlihat pria itu agak sedikit jengkel, terlihat dari caranya mengatur napas.
“Aku mau coklaaaatttt ...” anak itu menunduk ketakutan, setelah agak di bentak.
“Baiklah, nanti paman akan memberikanmu coklat, tapi kamu harus mau menjawab beberapa pertanyaan mengenai Ayahmu, bagaimana??” pria itu mengusap kepala anak kecil tadi dengan pelan, sambil tersenyum menyeringai, sementara itu sebuah camera sudah menyala di hadapannya.
“Tentang apa??? Eemmmhhh ... apa tentang seberapa banyak uang Ayahku?” tanya-nya polos.
“Tentu saja, apa Ayahmu memiliki banyak uang? Di mana saja dia menyimpan uangnya?” pria itu kembali menelisik anak kecil itu, sambil membukakan sebatang coklat, dan menyodorkannya.
Huh ... setelah kuperhatikan aku yakin, jika pria itu bukanlah orang baik. Dari penampilannya saja sudah terlihat, jika pria itu sedang memanfaatkan anak itu. Mungkinkah pria itu sedang berusaha menculik anak itu? Segera aku menghampiri mereka.
“Hey ... berani sekali kau mengorek informasi pada anak kecil!” teriakku mencoba menggertaknya.
Pria itu menoleh ke arahku, sementara anak kecil itu masih fokus pada coklatnya, memakannya terus menerus hingga pipinya mengembung.
“Heh! Siapa dirimu??” pria itu terlihat sangat marah, karena merasa kegiatannya di ganggu.
“Aku????”
Bersambung ....
Jangan lupa follow akun Ig-ku yaaaa ...
Teteh_neng2020
Makasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments