Namaku Eliana Pramesti. Saat ini usiaku menginjak angka dua puluh lima, aku terlahir dari seorang Ibu yang cantik, kuat, tegar, dan tangguh. Ibu membesarkan aku seorang diri, karena dari usiaku sepuluh tahun, Ayah sudah meninggal dunia.
Terlahir dari pasangan yang bisa di bilang sudah tua, kini usia Ibuku sudah enam puluh lima tahun. Saat ini, Ibu mengidap penyakit jantung yang sudah akut. Oleh karenanya, Ibu harus tinggal di sebuah rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang intensive.
Untuk memenuhi seluruh biaya pengobatan Ibu, aku bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang finance. Gajinya tidak cukup besar, hanya cukup untuk biaya rawat inap Ibu dalam waktu kurang dari satu bulan saja, sementara untuk memenuhi kebutuhanku, dan kebutuhan Ibu yang lainnya, aku harus bekerja keras dengan bekerja part time dari jam tujuh malam hingga jam sepuluh malam sebagai SPG di sebuah perusahaan mobil. Berdiri dengan tegak di sebuah mall, atau di setiap acara pameran lainnya. Tanpa malu menawarkan produk yang aku jual pada orang yang lalu lalang. Hasilnya lumayan, jika aku mampu mencapai target penjualan. Bahkan kadang, penghasilan sampinganku ini lebih banyak menghasilkan uang daripada gaji pokokku.
Sulit memang, tapi aku harus bisa melakukan semuanya, biaya pengobatan Ibu semakin hari semakin terus bertambah. Hingga kadang aku harus mencari lemburan, agar bisa mendapatkan pendapatan lebih.
Bekerja keras siang dan malam, sibuk mengurus Ibu, membuatku lupa diri, aku lupa jika usiaku terus bertambah.
Teman-teman sebayaku rata-rata sudah menikah, bahkan beberapa di antaranya sudah memiliki anak, di tempatku, hanya tinggal aku yang belum menikah, cemoohan mulai terlontar dari bibir orang di sekelilingku, pertanyaan yang membuat kupingku panas, rasanya tidak pernah terlewatkan “Kapan menikah?” itu pertanyaannya. Ingin rasanya aku menjawab “Kapan kamu mati??” tapi tidak aku katakan, karena mengingat rasa hormatku pada orang yang bertanya padaku, aku lebih memilih untuk diam, lalu nyengir saja. Bahkan tak jarang dari mereka berbisik-bisik, dan mengataiku sebagai perawan tua.
Perawan tua? Seriusly? Aku ini baru dua puluh lima tahun, sungguh pantaskah di panggil perawan tua?
Hari ini, hari senin dan biasanya pada hari senin, nasabah di tempatku bekerja sangat membludak, antrian cukup panjang, baru pukul sepuluh pagi, tapi sudah ada seratus lima puluh antrian, dengan sabar aku melayani mereka satu persatu. Karena itulah tuntutan bekerja di tempat ini, harus sabar, lembut, mampu menjelaskan kepada nasabah jika ada keluhan, harus selalu tersenyum meskipun enggan, menyapa mereka dengan suka cita, dan harus selalu menjaga penampilan pastinya.
“Mbak! Kenapa antriannya lama sekali?!” tiba-tiba seorang bapak-bapak menggebrak mejaku. Aku mengerjap lalu mendongakkan kepala. Sambil tersenyum seramah mungkin, aku menjawab
“Maaf pak, silahkan antri ...” ucapku dengan tangan menunjuk tempat duduk.
“Tapi saya buru-buru Mbak! Saya gak bisa ngantri! Saya nasabah lama di sini! Kenapa saya harus ngantri???” tanyanya tanpa rasa malu, meskipun nasabah lain tengah memperhatikannya. Dan otomatis sikapku pun menjadi pusat perhatian mereka.
“Mohon maaf pak, tidak bisa, bapak harus mengikuti peraturan untuk mengantri” ucapku lagi, mencoba selembut mungkin.
“Ah! Tidak profesional!” si Bapak mendengus kesal, lalu pergi begitu saja keluar kantor. Aku mengurut dadaku, membuang nafas, lalu kembali tersenyum. Sambil mengedarkan pandangan, biasanya akan ada satpam yang mengamankan orang-orang aneh ini, setelah kuperhatikan ternyata satpam pun tengah mengamankan Ibu-ibu rese’ di luaran sana.
‘Apa susahnya sih antri??’ hatiku bergumam.
“Mbak!” seorang Ibu-ibu bertubuh kurus menggebrak mejaku. Lagi-lagi aku mengerjap, kenapa hari ini banyak sekali orang yang menggebrak mejaku?
“Iya Bu, ada yang bisa di bantu??” aku menelungkupkan tanganku sambil tersenyum lagi.
“Mbak! Coba jelaskan pada saya! Kenapa tagihan untuk cicilan mobil saya begitu besar?? Saya hanya nunggak tiga bulan lho! Kenapa tagihannya bisa lebih dari angsuran??” teriaknya tak terima, sambil menyodorkan surat peringatan yang di kirim pihak kantor kepadanya.
“Oh, ini karena ibu telat selama tiga bulan, jadi Ibu kena denda” jelasku lagi-lagi sambil tersenyum, meski hati sudah gondok, karena terus di bentak-bentak.
“Gak bisa gitu dong Mbak! Ini bunganya saja sudah terlalu besar! Kenapa saya juga harus kena denda??” tanyanya semakin nyolot.
“Karena Ibu telat dalam melakukan pembayaran” jelasku lagi dengan malas, banyaknya orang dalam ruangan ini, membuat kepalaku semakin panas.
“Gak bisa! Saya gak mau bayar! Lagian sudah bunga besar, kenapa harus ada dendanya juga?? Jangan-jangan denda itu hanya akal-akalan kamu saja ya?? Kamu mau memakan uang denda itu ya??” si Ibu makin nyolot.
‘Astaga!’
“Kalau Ibu tahu mencicil mobil di bank kami bunganya besar, kenapa Ibu ajukan?? Kenapa Ibu menyicil mobil jika Ibu tidak mampu membayar, hingga harus nunggak selama tiga bulan?? Kenapa waktu ngambil mobil keluaran terbaru itu, Ibu gak protes? Kenapa Ibu malah maksa pihak kami untuk meng acc mobil itu?? Kenapa???? Kenapaaaaaaa?????!!!!!”
Suasana hening ...
Semua mata tertuju padaku, termasuk Ibu kurus yang dari tadi membentakku hanya melongo di hadapanku, mungkin tidak menyangka jika aku akan berkacak pinggang sambil membentaknya juga.
“Huuuuhhhh ... “ kutiup ujung poni rambutku, seolah menantangnya.
“A apa?? Kamu tidak sopan!!” tunjuknya tepat pada wajahku.
“Ibu yang tidak sopan! Kenapa Ibu datang membentak saya, tanpa mau mengantri dulu???” jawabku lagi tak kalah ganas.
“Katanya kenyamanan nasabah adalah segalanya, tapi kenapa begini??” si Ibu memundurkan langkahnya, aku tahu itu jurus pamungkasnya. Karena kebanyakan nasabah jika sudah merasa kalah pasti akan melontarkan kata itu.
“Tapi Ibu juga harusnya bisa menghargai saya dong” bentakku lagi semakin ganas, membuat si Ibu kian takut,
“Eliana! Ada apa ini?? Kenapa ribut-ribut??” tiba-tiba suara tegas dari seorang laki-laki membuatku menoleh ke belakang.
‘Matilah aku!’
“Ikut saya!” tegasnya sambil berjalan mendahuluiku. Aku mengikutinya dari belakang, memasuki ruangannya.
“Ini sudah yang keberapa kali kamu melakukan hal semacam ini El??” Pak Yanto sebagai kepala devisiku mendongakkan kepalanya, menatap mataku dari kursi goyangnya. Aku menunduk, sadar hari ini aku tidak bisa mengendalikan amarahku.
“Kamu sudah tidak betah bekerja di sini El??” pak Yanto berdiri, kemudian mengitari tubuhku, dengan hati yang masih emosi aku menarik napasku kasar hingga hidungku menjadi kembang kempis.
“Iya! Aku sudah tidak sanggup lagi bekerja disini! Aku sudah bekerja sebaik mungkin! Tapi kenapa aku di fitnah! Kenapaaaa???!!!” teriakku kalap.
“Ooooohhh kau mau keluar dari kantor ini El??”
Jleb ....
Aku mengerjap berkali-kali ...
“Ehhheee ... Pak, jangan begitulah, mari kita berdamai, aku akan bekerja lebih keras lagi, aku berjanji” aku tersenyum kaku, sambil menjentikkan jari kelingkingku.
“Kau tahu El, jika bagian pelayanan adalah wajah dan harga diri dari kantor ini??” Pak Yanto mengabaikanku, lalu kembali duduk di kursinya.
“Tahu pak” aku mengangguk, lalu menunduk.
“Ok, siap-siap saja, mungkin minggu depan kau akan di pindahkan ke kantor cabang lain”
“Whhhaaaatttt??? Hhuuuaaaa ... sial!”
Bersambung ............
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Ririn Nursisminingsih
a udah baca neh critanya yg dulu
2023-07-10
0
Roni Roni
kok engga ada yg komentar padahal cerita nya seru banget.
2023-06-05
0