Keluarga Junius adalah yang pertama kali sampai di lokasi. Junius meminta mereka menunggu dan tidak berkeliaran agar Jovan dan Jevan tidak bingung saling mencari. Mereka masih menunggu di parkiran hingga keluarga Jovan sampai beberapa menit setelahnya disusul keluarga Jevan. Begitu melihat Nafiza sampai, Abi langsung menghampiri mobilnya lalu memeluk kembar beda orang tuanya itu. Beda ketika mereka bertemu Tirta dan Genta. Karena jarang ketemu akhirnya agak canggung juga padahal hampir setiap hari mereka telponan.
“Hi Tirta udah gede aja. Apa kabar?” sapa Rere pada keponakannya itu bermaksud memecahkan kecanggungan di antara anak-anaknya.
“Baik tante,” jawab bocah itu.
Setelah saling menyapa, mereka berjalan ke bagian ticketing untuk membeli tiket. Dibagian ini biar Triple J kesayangan Papa Jeff saja yang maju sedangkan anak-anak dan ibunya menunggu di belakang. Jovan, Jevan, dan Junius membeli tiket untuk masing-masing keluarga mereka baru mereka kembali untuk bergabung bersama keluarga mereka untuk masuk ke dalam. Setelah mereka masuk, Tirta yang langsung heboh. Pasalnya dia melihat ada 2 badut yang menggunakan pakaian robot favoritnya.
“Ayah mau foto sama Ilon Man…,” kata Tirta sambil menyeret tangan Jovan.
“Kamu berdiri sana biar om yang fotoin. Yang lain ikut sekalian sini anak-anak, Genta, Nafiza, sama Abi juga,” kata Jevan pada keponakan-keponakannya.
Ketika yang lainnya semua mulai berlari mendekat dan memeluk robot-robota itu, di luar dugaan, ternyata Abi takut sama badut. Dari tadi dia bersembunyi di balik kaki Ayahnya. Baru deh setelah digendong oleh Ayah Junius Abi mau bergabung dan ikut foto. Jevan jelas fokus dengan kameranya mengabadikan setiap moment yang ada. Semuanya dia foto sih, dia juga terima request tapi tetap saja isi kameranya didominasi oleh senyum kedua cantiknya.
Anak-anak heboh berlari ke sana kemari dengan ayahnya mengawasi tepat di belakang. Sedangkan Rere dan Monik kalem saja berjalan sembari mengikuti polah tingkah mereka dari belakang sambil menemani Lia yang tidak bisa berjalan cepat. Nafiza yang biasanya cenderung diam saja bisa begitu cerewet dan heboh kalau sudah membicarakan tentang hewan-hewan begini. Apalagi bersama dengan saudara-saudaranya.
Kecanggungan yang tadi terbentuk juga dengan cepat bisa hilang. Mereka berempat bisa larut dalam dunia anak-anak mereka yang kadang Papa dan Mamanya tidak tahu apa yang mereka maksud. Mereka seolah-olah tidak mengingat kecanggungan yang mereka hadapi belum lama tadi. Nafiza saja sudah mau dipeluk kakaknya.
“Itu kudanilnya tidur mulu kaya ayah,” ceplos Abi jelas membawa tawa untuk semuanya.
“Heh, kalo ayah kudanil berarti kamu anak kudanil dong, sama aja sukanya berendem doang merem-merem nggak jelas, persis mas kalo di rumah. Kerjaannya cuma diem nonton tv sama makan. Badan Abi juga udah mirip Kudanil tuh gendut. Bulet lagi.”
Mendengar penuturan ayahnya membuat Abimanyu tidak terima. Dia menggembungkan pipinya kemudian berjalan menjauh dari ayahnya sembari menjejak-jejakkan kakinya ke tanah tanda bahwa dia sedang marah, “Bubun…., Ayah jahat. Masa Mas dibilang gendut kaya kudanil,” teriak Abi kepada ibunya yang berjalan agak jauh di belakangnya.
“Cepu banget sih mas,” kata Junius karena melihat anaknya yang tengil itu tidak bisa meninggalkan sifatnya yang satu itu. Dia selalu mengadukan segalanya kepada kedua orang tuanya.
“Biarin. Ayah sih jahat. Pokoknya Abi nggak mau main sama ayah lagi titik,” kata Abi yang menyilangkan tangan dan membuang muka tanda dia marah.
“Yahh malah ngambek. Mas, nanti nggak Ayah beliin ice cream lo. Nafiza kak Tirta sama Genta aja yang ayah beliin ya mas nggak usah,” bujuk Iyus.
“Nggak mau. Ayah harus beliin Mas juga. Kalo nggak nanti Mas bilangin Bubun lho biar ayah dimarahin sama Bubun,” tuh kan dia mengadu lagi.
Di samping perdebatan tidak berkelas Abi dan ayahnya, ada Jevan yang sedang asik berduaan dengan Nafiza. Dia meminta ayahnya menggendongnya biar dia bisa melihat kudanil itu dengan lebih jelas. Dia banyak bertanya tentang ini itu sampai Jevan kewalahan menjawab. Untung Rere di sebelahnya membantu menjawab. Kalau Jovan saat ini justru berjalan dan mencari tempat untuk duduk dan makan snack bersama si bungsu sedangkan bunda sedang ke toilet menemani Tirta.
Setelah selesai melihat kudanil, anak-anak mulai berlarian kembali. Mereka senang sekali melihat ini dan itu. Ada yang berlarian dan tertawa bersama, ada juga yang kalem berjalan menggandeng tangan Papanya di belakang sembari berteriak minta ditunggu, "Abi sama Genta tunggu...," kata Nafiza.
"Kalau mau nyusul ikut nyusul aja sana, nggak usah gandengan sama Papa," kata Jevan yang gemas.
Nafiza inginnya dia bisa terus berlarian bersama Gentala dan Abi tapi juga tidak mau melepaskan tangan Papanya. Dia sepertinya masih merindukan Papanya yang akhir-akhir ini jadi sibuk sekali. Ditambah lagi Mama Rere sama sibuknya. Walaupun Nafiza sering ikut ke tempat Papa dan Mamanya bekerja, tapi dia bosan karena tidak memiliki teman yang bisa diajak bermain. Sedangkan kalau dia pergi ke rumah pamannya dan bermain dengan Abi, dia akan merindukan kedua orang tuanya karena jauh. Nafiza jadi bimbang.
Beberapa saat kemudian, merasa sudah kelelahan mengikuti tingkah anaknya yang licin seperti belut Junius meminta mereka berhenti barang sejenak, "anak-anak sini dulu istirahat. Nanti kita keliling lagi ya,” perintah Junius yang sudah ngos-ngosan langsung diiyakan oleh anak-anak.
Mereka saat ini sedang duduk berjejer di salah satu gazebo dekat kandang reptil. Berhubung mereka ingat kalau salah satu di antara mereka ada yang sedang hamil, jadi mereka akhirnya agak lama duduk di sana sembari memberi Lia kesempatan untuk beristirahat juga untuk Junius mengambil nafas karena setelah ini dia pasti harus berlarian lagi. Rere juga mengeluhkan perutnya agak sakit sejak berangkat tadi jadi biarlah ibu-ibu muda kita ini istirahat, dan anak-anak bermain bersama ayahnya sampai puas.
“Mamaa hueee…,” baru Rere mau minum, sudah urung karena mendengar tangisan putrinya.
“Kok nangis kenapa cantik?” tanya Rere.
“Abi injek sepatu Nafiza. Sepatu putihnya jadi kotor Ma, padahal ini kan sepatu hadiah dari Papa,” rengeknya.
Tidak jauh dari tempat Nafiza memeluk ibunya, Abi dan ayahnya berdiri menatap satu-satunya cucu perempuan kakek Jeff itu, “heh. Siapa yang ngajarin bikin anak cewek nangis gitu? Minta maaf sana Mas,” kata Junius pada putranya. Dia sengaja berjongkok agar bisa melihat ekspresi bersalah di wajah putranya yang menurut dia lucu dari jarak yang lebih dekat.
“Udah ayah, tapi Nafiza belum mau ngomong sama Mas. Terus Mas harus gimana nih?” tanya Abi pada ayahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments