Seminggu kemudian, seperti yang sudah dia janjikan kepada saudara-saudaranya Jovando dan keluarga kecilnya datang ke Indonesia. Papa dan Mama sendiri yang menjemput mereka ke bandara dan mengajak kedua cucunya ini untuk jalan-jalan sejenak di area malioboro sekalian untuk cari makan malam.
"Mas, sudah ngabari kembaranmu?" tanya Papa Jeff.
"Sudah. Tapi dia masih sibuk terus si Rere sakit makanya belum bisa ke sini sekarang. Kalau Junius baru pulang dari Surabaya dan langsung tepar habis dikerokin sama istrinya. Yaudah lah nggak papa besok kan sudah janjian mau ngajak anak-anak jalan juga. Besok pasti ketemu kok," kata Jovan.
"Mama sama Papa beneran nggak mau ikut?" tanya Monik.
"Kayanya nggak bisa deh, soalnya Papa sama Mama ada undangan. Nggak enak kalau nggak datang wong pas nikahan kalian bertiga beliaunya dateng terus kok," kata Mama.
"Undangan dari siapa sih Ma?"
"Dari Pak Bejo."
"Oh pantes," kata Jovan yang tahu siapa orang yang telah memberikan undangan pada kedua orang tuanya hingga menolak ajakan anak-anaknya.
"Lagian kamu lama di sini Mas, Jevan sama Junius juga bilang mau nginep di rumah selama ada kamu. Buat Papa lihat kalian semua bisa kumpul lagi aja udah seneng," kata Papa.
...***...
Pagi ini Rere bangun dalam kondisi seluruh tubuhnya sakit semua. Bagaimana tidak sakit, dia tertidur masih dalam posisi memangku buku design dengan pensil tetap berada ditangannya. Dia tidur setengah duduk menyender pada Jevan yang tidak jauh berbeda posisinya, tidur dengan memangku iPadnya. Gambarnya jadi rusak karena pergerakan e-pen yang ada di genggamannya ketika dia tidak sengaja tertidur.
“Ah tau gini nggak aku lembur semalem,” kata Jevan berusaha memperbaikinya tanpa ada niat turun dari tempat tidurnya terlebih dulu.
“Mas mau sarapan pake apa?” tanya Rere.
“Apa aja. Terserah Mama deh, kalau capek nggak usah masak.”
Rere kemudian melangkah masuk ke kamar mandi untuk mandi. Tidak butuh waktu lama dia langsung menuju ke dapur menyiapkan sarapan untuk Jevan dan Nafiza. Sepertinya Nafiza masih tidur dengan tenang di kamarnya. Selesai menyiapkan sarapan, dia masuk ke kamar putrinya itu, membuka jendela membuat si pemilik protes karena sinar matahari pagi langsung mengenai matanya.
“Hei cantiknya Papa Jevan bangun yuk, katanya mau main sama kak Tirta sama Abi.”
“Besok aja Ma, capek.”
“Ayo dong sayang, katanya mau nginep tempat nenek juga.”
Setelah mendengar neneknya disebut dia langsung bangun. Walau masih dengan separuh nyawanya tertinggal di tempat tidur, tapi dia mampu berjalan ke kamar mandi untuk mandi. Usianya belum genap 5 tahun, tapi dia sudah terbiasa melakukan kegiatan paginya sendiri. Terkadang masih butuh bantuan Mama Papa tapi setidaknya dia sudah memiliki niat untuk melakukannya sendiri jadi Rere tidak perlu tarik urat setiap pagi seperti Lia.
Jadi satu-satunya cucu perempuan di keluarga Kusuma jelas membuatnya jadi kesayangan semua orang. Kei Nafiza Rhea, yang lahir prematur dan harus menginap di inkubator selama beberapa hari itu bisa bertahan dan tumbuh jadi seorang anak yang sehat dan cerdas. Jelas Papa Mama juga semua saudaranya selalu menjaganya bak tuan putri yang tidak boleh tergores sedikitpun. Apalagi Tirta. Dia ingin sekali punya adik perempuan, tapi yang lahir malah adik laki-laki. Tidak apa-apa sih setidaknya dia jadi punya teman main robot-robotan. Dia jadi monsternya dan si adik jadi pahlawannya.
“Sini Papa bantu ikat talinya,” kata Jevan yang kini berlutut di hadapan Nafiza yang terlihat kesulitan mengikat tali sepatunya.
“Nafiza yakin mau pakai sepatu itu? Katanya sudah kekecilan?” tanya Rere pada putrinya.
“Tapi nggak mau pakai yang putih Ma, takut kotor.”
“Kalau kotor kan bisa dicuci. Papa kan beliin sepatu itu buat dipakai. Pakai aja ya, daripada kaki Nafiza sakit karena pakai sepatu kekecilan,” kata Jevan.
“Yaudah deh, aku pake ya Pa,” kata Nafiza diangguki Jevan.
Rere melihat gadis kecilnya berjalan mengambil sepatu yang dimaksud tadi di rak. Tapi Rere tidak kunjung melihat dia memakainya. Kalau kebanyakan anak dibelikan barang baru pasti tidak sabar akan memakainya maka Nafiza tidak, dia lebih suka menyimpannya karena takut rusak atau kotor. Apalagi kalau barang itu pemberian dari orang-orang kesayangannya.
“Sayang, kalau rusak atau kotor kan bisa minta belikan yang baru sama Papa. Bahkan belum sampai sepatu Nafiza rusak Papa juga sudah belikan yang baru kan? Cantik, kalau punya barang bagus dijaga boleh, tapi jangan terus hanya disimpan begitu. Kasihan sepatunya nangis, kan dia dibeli buat dipakai bukan buat disimpan,” kata Rere pengertian.
“Benar ya, kalau sepatu yang ini rusak Papa belikan yang baru?” tanya Nafiza pada Papanya.
“Iya cantik, udah sini sarapan dulu. Keburu ditinggal sama yang lain lo nanti,” ajak Jevan membuat gadis kecil itu segera berlari menuju meja makan untuk duduk di sebelah Papanya.
Keduanya makan dengan lahap, walau sedikit belepotan tapi Nafiza mampu menghabiskan sarapannya sendiri tanpa bantuan dari orang tuanya lagi. Setelah selesai membantu Nafiza membersihkan sisa makannya, Jevan kembali melangkah ke dalam kamar. Di dalam kamar dia melihat Rere baru selesai berganti baju dan sedang duduk merias wajahnya.
“Ma, lensa kameraku dimana ya?” tanya Jevan yang tidak menemukan barang yang dicarinya di dalam laci meja kerjanya.
“Dalem laci sini. Kamu kalau udah capek kan suka ditaruh sembarang tempat,” Rere menjawab tanpa menoleh sebab dia sedang memakai eyeliner dan tidak mau diinterupsi.
“Nggak ada Ma,” kata Jevan yang tidak menemukannya walau sudah mencarinya ke segala laci.
Rere kemudian menghentikan kegiatannya karena tidak sengaja disenggol oleh Jevan membuat make upnya berantakan. Dengan wajah yang sangat-sangat datar Rere membuka satu laci paling atas yang ada di samping kanannya dan langsung memperlihatkan lensa yang dimaksud Jevan tadi. Dengan wajah tanpa dosa Jevan tersenyum, mencuri satu kecupan di bibir Rere sebelum cantiknya ini mengamuk.
“Udah? Males ih sama Papa. Udah sana keluar ahh, ganggu aja,” Rere berusaha mendorong Jevan menjauh pasalnya dia bukannya minta maaf malah menggodanya.
“Pundung nih ceritanya?” tanya Jevan yang sedang sibuk menata kameranya ke dalam tas.
“Hmm, jadi jangan sentuh atau kamu pulang tinggal nama.”
“Aww serem. Yaudah maaf, Papa sama Nafiza tunggu di luar ya,” kata Jevan kemudian keluar meninggalkan Rere seorang diri di kamarnya.
Setelah Jevan keluar, Rere membuka sebuah kotak kecil yang terletak di pojok kiri mejanya. Dia mengambil sebutir obat lalu meminumnya sebelum melangkah keluar dari kamar untuk menyusul Jevan dan Nafiza yang sudah siap. Beberapa menit lalu Lia menelponnya mengatakan jika mereka sudah berangkat. Selesai menata bawaan mereka di bagasi belakang, Jevan kembali memastikan jika Nafiza dan Rere memakai sabuk pengaman mereka. Rere terlihat sedang menelpon seseorang ketika Jevan mulai melajukan mobilnya keluar dari gang perumahan mereka menuju ke tempat tujuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments