Di tempat yang lain di waktu yang sama, Monik sedang menyuapi si kecil Genta sambil memastikan si sulung Tirta menghabiskan sarapannya. Jovan belum bangun ketika itu. Maklum dia pasti lelah, menempuh perjalanan panjang setelah lembur hampir seminggu penuh. Sebenarnya Jovan agak nekat juga memutuskan untuk pulang ke Indonesia tiba-tiba begini. Toh sudah lama juga mereka tidak pulang ke rumah Mama Papa, terhitung sudah 2 kali lebaran terlewat tanpa mudik. Alasannya ya pekerjaan Jovan yang benar-benar tidak bisa ditinggal. Jabatan Jovan di kantor saat ini sudah tinggi jadi dia tidak bisa main-main, bayangkan saja, sebagai seorang executive manager di salah satu perusahaan besar Indonesia-Singapura jelas pekerjaannya sangat-sangat banyak.
“Nenek, Tilta bantu cuci piring ya,” kata Tirta pada neneknya yang sedang bersiap mencuci piring di depan wastafel.
“Udah nggak usah. Tirta bantu nenek bawakan ini saja ke kakek yang sedang duduk di depan ya, setelah itu siap-siap mandi katanya mau main sama adik-adik ke kebun binatang.”
“Oiya kakak lupa. Nenek ikut kan?”
“Maaf ya nenek nggak bisa. Nenek sama kakek ada acara. Karena Nenek sama Kakek nggak ikut, nanti kakak sama adik-adik wajib cerita ya sama kakek sama nenek biar bisa ngerasain gimana rasanya.”
“Siap nek.”
Selesai menyuapi Genta, Monik membantu ibu mertuanya mencuci piring. Sedangkan Jovan yang baru bangun saat ini sedang duduk memakan sarapan paginya dengan tenang, efek nyawa yang baru terkumpul setengah. Ayahnya sedang berusaha makan dengan tenang ketika Tirta menarik-narik pakaiannya.
“Ayah ayo jangan lama-lama. Kasian dek Nafiza sama dek Abi udah nungguin Yah,” kata Tirta sambil menarik-narik pakaian Ayahnya.
“Kak, ini masih jam 8. Kakak kan janjian sama adek-adek pergi jam 10.”
“Tapi kan kakak mau jemput adek-adek dulu,” kata Tirta.
Mendengar kalimat anak sulungnya membuat Jovan tersedak. Bagaimana dia tidak kaget, “menjemput adiknya” sama saja dia meminta ayahnya menyusuri kota jogja dari sudut ke sudut. Bayangkan, rumah nenek Tiwi, tempat Tirta menginap ini ada di daerah Godean, rumah Nafiza ada di Jakal, kalau rumah Abi ada di Blok O daerah Banguntapan. Padahal mereka mau ke Gembira Loka.
“Kak, kan udah janji sama Bunda nggak rewel. Iya nanti berangkat jalan-jalan sama adek tapi nggak pake jemput. Kita ketemu langsung di sana ya,” kata Monik berusaha memberi pengertian.
“Bener tuh kata Bunda. Ayah mandi dulu ya kakak temenin dek Genta main dulu sana,” kata Jovan sambil mengusak rambut putranya.
Selesai mandi dan bersiap, Jovan membantu Genta untuk memasang sabuk pengaman di kursinya. Sedangkan di samping Tirta sudah otomatis duduk tenang menunggu Ayah dan Bundanya yang sedang bersiap. Monik masih di dalam rumah, menata bawaan Genta juga pakaian ganti untuk kedua putranya. Baru setelah semuanya siap dan tidak lupa berpamitan dengan kakek dan nenek mereka berangkat.
***
Kondisi yang sungguh jauh berbeda sedang terjadi di kediaman Junius, atau dia biasa menyebutnya sebagai istana Candra. Lia masih pagi sudah dibuat emosi oleh sulungnya. Bagaimana dia tidak emosi, semalam sudah diberi tahu mereka akan menginap di rumah nenek Tiwi dan akan pergi sejak pagi tapi Abimanyu sekarang ini malah menyebar legonya di lantai dan fokus bermain membuat seluruh ruang tengah kembali berantakan.
“Abimanyu…, Jangan diberantakin lagi dong kan Bunda udah bilang kita mau pergi Mas,” kata Lia.
“Ya kan perginya masih lama Bunda, mas main dulu nggak papa kan? Ayah juga belum bangun, Mas jadi bosan nunggunya,” kata Abi dengan gaya cueknya.
“Abimanyu Candra Putra, kamu beresin sekarang atau kita nggak jadi pergi,” Lia bicara lagi. Baru begitu dia mengiyakan kata-kata bundanya dan langsung membenahi lagi mainannya. Kata Abimanyu Bunda Lia seram kalau sudah marah padahal Bunda hampir setiap hari marah-marah saja.
“Mas, bangunin Ayah sana,” kata Lia.
“Ayah belum bangun juga? Dih kebiasaan kebo kok dipelihara.”
Lagi-lagi Lia hanya mampu menghela nafasnya. Sudah biasa paginya dihabiskan dengan tingkah tengil putranya. Ini baru Abi, kalau sudah sama Ayahnya bisa lebih naik darah dia. Mereka seakan-akan lupa jika mereka sudah seharusnya jaga Bunda sebaik mungkin malah suka banget bikin Bunda marah-marah dan naik darah.
“Pagi Bubun, pagi adek bayi,” kata Junius yang terang-terangan mencium pipi dan mengelus perut Lia yang sedang memasak tepat di depan mata Abi.
“Ayah mau Bubun pukul pakai centong sayur atau mau dirajang aja bibirnya?” tanya Lia dengan senyuman manis tapi menakutkan.
“Galak banget si Bun, nggak baik pengaruhnya buat adek bayi,” kata Junius.
Ya tapi Lia sudah kehabisan akal harus bagaimana menghadapi tingkah ajaib anak dan suaminya ini. Dia hanya bisa berdoa, kalau si kembar yang masih di perut ini tidak akan menuruni tingkah ajaib itu. Bisa mati muda dia kalau begini caranya. Padahal dia pernah berekspektasi punya anak sepintar Tirta. Bukan, bukannya dia tidak sayang tapi dia cuma penasaran saja kenapa anaknya bisa begitu berbeda.
“Bubun duduk sini sarapan sama mas Abi. Itu biar Ayah aja yang cuci nanti,” kata Iyus sambil menarik Lia untuk duduk di meja makan menghabiskan sarapannya.
“Bubun nanti kalau waktu jalan adek capek gimana?” tanya Abi.
“Nggak Papa Mas, yakali adek mau ditinggal terus mas jalan-jalan sendiri,” jawab Lia.
“Nanti kalau Bubun capek bilang sama mas ya, biar ayah gendong Bubun,” kata Abi lagi yang membuat Lia tertawa karena sesaat setelah Abi menyelesaikan kalimatnya, dia langsung mendapatkan lemparan serbet dari ayahnya membuat keduanya bertengkar layaknya anak TK yang berebut ayunan.
Walaupun sering membuatnya emosi dan marah-marah, tapi Lia sayang sekali pada suami dan anak-anaknya. Apalagi setelah Rere bilang dia bersyukur karena Abi sering main ke rumah menemani Nafiza yang sangat pendiam dan agak tertutup. Lia bangga pada Abimanyu jagoannya.
“Ayah mandi duluan sana gantian sama mas Abi,” kata Lia.
“Mandi bareng yuk Bun,” belum sampai Junius sempurna menutup mulutnya, bibirnya sudah kena pukul.
“Ayah seneng banget mandi bareng Bubun kenapa sih yah?” tanya Abi.
Habis kau Junius. Mau jawab apa hayo? Lia dengan langkah penuh kemenangan meninggalkan Junius yang masih kebingungan mau menjawab pertanyaan putranya itu dengan cara bagaimana. Dia hanya bisa tergagap dan ketika merasa tidak mampu menjawab dia lari masuk ke dalam kamar mandi. Abimanyu sok-sokan geleng-geleng dan berkata, "ayah aneh. Ada-ada saja tingkahnya," katanya membuat Bunda Lia tertawa dengan tingkah anak ajaibnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments